Takdir yang Dipilih

"Keadaannya sudah sedikit membaik, tapi dia harus di opname," jawab dokter Anton.

"Sebetulnya Nurhayati kenapa?"

"Tidak, dia hanya mengalami tekanan dan setelah keguguran itu, jadi harus banyak istirahat."

"Sabar Fur, istrimu akan baik-baik saja."

Furqon tidak bisa menahan dukanya, spontan ia memeluk Anton. Sebelum ini, dia diberikan kabar baik oleh Anton mengenai kehamilan Nurhayati dan kini dia juga mendapat kabar keguguran dari Anton.

"Ada apa?"

"Saya baik-baik saja, Ton. Doakan agar keadaannya bisa kembali seperti semula."

"Iya, saya permisi."

Mereka masuk ke ruangan Nurhayati, dia melihat Nurhayati yang terbaring lemas di kamar rumah sakit. Saat melihat Furqon, Nurhayati memalingkan wajahnya dari Furqon. Dia juga meminta Furqon untuk beranjak dan enggan menemuinya.

"Nur, maafkan aku. Aku..."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, pergilah! Aku tidak ingin melihatmu."

"Fur, pulanglah! Nanti, aku akan mengurusi Nurhayati. Biarkan dia istirahat."

Fahmi berusaha menenangkan keadaan. Dia ingin Nurhayati agar pulih terlebih dulu sebelum akhirnya menyelesaikan masalah mereka. Furqon keluar dari ruangan, bersamaan dengan itu Fatimah ibunya datang.

"Furqor," ujar ibunya.

"Ibu," Furqon memeluk ibunya dan menangis dipelukannya.

"Ada apa denganmu?"

"Ibu, tolong dengarkan Furqon dulu. Cukup Nurhayati dan Kak Azzam yang tidak mau mendengarkan Furqon, jika bukan Ibu lantas pada siapa Furqon akan bercerita?"

"Katakan, mengapa kamu menikah dengan wanita lain?" tanya Fatimah.

"Bu, saat itu Furqon bingung dan putus asa. Ibu masih ingat orang yang menolong Furqon pada saat terjatuh di pendakian waktu itu? Anak dari merekalah yang Furqon nikahi, Furqon tidak bisa menjelaskan apapun pada Nurhayati," jawab Furqon dengan isak tangis.

"Setidaknya kamu cerita, kamu hubungi keluarga," ucap Fatimah.

Meskipun Furqon berusaha menjelaskan duduk masalahnya, tetap saja dia melakukan kesalahan. Memang semua ini tidak seharusnya terjadi, Furqon tidak seharusnya mengambil keputusan sendiri tanpa membicarakan dengan keluarganya.

"Saat itu ponsel Furqon mat dan Furqon tidak memiliki uang sepeserpun. Furqon juga kecopetan di bis, memutuskan menikahi Hanum bukan hal yang mudah. Itu membutuhkan pemikiran yang luar biasa sulit, tapi Furqon tidak dapat memberikan pemahaman pada Nurhayati dan keluarga. Mereka marah dan tidak menerima semua kejadian ini," jelas Furqon.

"Bahkan Ibu pun tidak bisa berbuat apapun untuk membantumu, hanya sedikit. Agar kamu bisa berkomunikasi dengan Nurhayati, bawalah Hanum ke rumah Ibu. Biarkan ia tinggal bersama Ibu untuk sementara waktu, agar kamu dapat merawat Nurhayati," jawab Fatimah menyesal.

"Baiklah, Bu!" ucap Furqon.

"Ibu masuk dulu, ingin melihat keadaan Nurhayati," ucap Fatimah seraya melangkah masuk ke kamar Nurhayati.

Fatimah masuk ke ruangan Nurhayati, wajahnya telihat pucat dan badannya kurus. Sudah lama ia tak bertemu menantunya itu, dan Nurhayati pun tidak memberitahu tentang kegugurannya. Sementara itu, Azzam dan yang lain keluar dari ruangan Nurhayati.

"Ibu," ujar seraya Nurhayati memeluk Fatimah dengan deraian air mata.

"Nur, ada apa denganmu?"

"Hati Nur terluka, Bu. Setega itukah bang Furqon, padahal selama ini Nur berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Tapi apa yang Nur dapatkan darinya, hanyalah kesakitan atas pengkhiantannya."

"Ibu tidak bisa menyalahakan Furqon, tapi Ibu juga tidak bisa membenarkannya. Bagaimana pun juga, Ibu yakin di balik semua ini pasti ada alasannya."

"Ibu, wanita mana yang ingin dimadu? padahal ia sama sekali tidak melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah. Salah Nur apa, Bu? Kenapa Allah menguji Nur begini?"

"Sayang, sabarkan hatimu. Ikhlaskan semua yang terjadi, kamu harus segera sembuh. Ibu ingin melihat Nurhayati yang dulu, ceria dan selalu memberikan senyuman. Jika kamu belum ingin bertemu Furqon, anggap saja dia tidak melakukan apapun yang menyakiti hatimu."

Fatimah tidak bermaksud membela Furqon, dia hanya ingin menantunya lebih kuat menghadapi ujiannya. Lagi pula, Fatimah sudah mendengar langsung penjelasan dari anak lelakinya. Dia hanya berusaha mencarikan solusi agar anak dan menantunya tetap bersama seperti sebelumnya.

"Bagaimana itu bisa terjadi, sementara wanita itu ada di rumah. Semakin lama dia di rumah maka selama itu pula hati Nur sakit karenanya."

"Biarkan Hanum tinggal bersama Ibu."

"Bu..."

"Kenapa? Ibu hanya sedang mencari solusi dari masalah ini, Nak. Ibu tidak berharap pernikahan kalian berantakan karena ini."

"Ibu baik dan tidak pernah menyakiti siapapun, tapi kenapa Allah memilih bang Furqon sebagai anak ibu?"

"Karena dia istimewa, Nur."

"Nur pikir juga begitu, tapi kenyataannya dia sudah berubah setelah memiliki segalanya. Dia memiliki uang dan perusahaan besar, dia sudah tidak seistikamah dulu."

"Nur, kamu salah menilainya. Kamu tidak tahu banyak darinya."

"Dua tahun pernikahan bukan waktu yang sebentar Bu, jadi Nur hafal bang Furqon yang dulu dan sekarang. Bahkan dia sudah sering pergi tanpa memberikan kabar, dan malam itu telah menjadi bukti bahwa dia benar-benar berubah. Katakan padaku, apa itu salah?"

Fatimah terdiam sejenak, dia membenarkan apa yang dikatakan menantunya. Akan tetapi, apa yang dirasakan oleh Nurhayati saat ini pernah dia rasakan juga sebelumnya. Hanya saja, Fatimah tidak terlalu mempermasalahkan hal ini dan memercayakan suaminya mengenai apa yang dilakukan di luar sana.

"Kamu benar, Furqon salah telah melakukan ini. Tapi kamu juga harus tahu alasannya."

"Nur tidak ingin mendengarkan apapun, bolehkah Nur istirahat?"

"Baiklah, istirahatlah. Ibu akan kembali nanti, jaga dirimu baik-baik."

Fatimah meninggalkan Nurhayati, sementara itu dokter Anton masuk dan memeriksa keadaan Nurhayati. Seperti sebelumnya, kondisi Nurhayati juga belum membaik. Semakin banyak beban pikirannya, itulah yang menjadi penghambat Nurhayati pulih.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Sedikit lebih baik, tapi pusingnya enggan hilang."

"Saya sudah lelah menyembunyikan semua ini, sudah saatnya kamu bicarakan ini dengan keluargamu."

"Maksudmu?"

"Maksudku, sampai kapan kamu menyembunyikan ini dari keluargamu terutama Furqon."

"Tahu atau pun tidak kondisi saat ini, itu tidak berpengaruh apapun pada bang Furqon."

"Kenapa?"

"Tidak ada, sudahlah lupakan."

"Baiklah, besok sudah bisa pulang. Ingat pesanku, jangan terlalu banyak aktivitas. Kondisimu belum benar-benar pulih, ini berakibat fatal bila diabaikan. Dan juga buang segala pikiran burukmu, ini sangat berpengaruh dengan kesehatanmu."

***

Pagi-pagi sekali Furqon berangkat ke kantor untuk rapat dengan karyawan. Ada banyak proyek yang beberapa hari ini dia tinggalkan karena urusan keluarga yang sulit ditinggalkan. Bersyukur ia memiliki banyak karyawan yang mampu menghandle pekerjaannya sampai ia masuk kembali ke kantor.

Hari ini, setelah Nurhayati diperbolehkan pulang kemarin pagi, ia bergegas ke kantor seperti biasanya. Berpamitan pada Hanum yang sibuk dengan pekerjaan rumah menggantikan Nurhayati yang masih dalam kondisi pemulihan. Tapi, pagi ini ia tidak sempat melihat kondisi Nurhayati, sejak subuh tadi ia tertidur.

"Sudahlah, mungkin kondisinya belum benar-benar sehat. Baiknya tak usah diganggu terlebih dulu. Nanti siang aku pulang cepat untuk melihat kondisinya," ucap Furqon sambil menutup kembali pintu kamar Nurhayati.

Ya, sejak kejadian itu Furqon tidak lagi tidur dalam satu kamar dengan istrinya. Ia memilih tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar Nurhayati di lantai dua. Sementara Hanum tidur di kamar tamu lantai bawah rumah mereka.

Keduanya tidak saling menyapa meski dua hari ini satu rumah, hanya Hanum yang sesekali menyapa Nurhayati ketika terlihat sedang duduk di taman belakang rumahnya. Nurhayati yang terlihat lebih banyak menghindari Hanum, ia sering kali mengurung diri di kamarnya.

"Han, saya berangkat dulu ke kantor. Nurhayati masih tidur, tolong nanti kalau sudah bangun sediakan makanan. Kamu tidak keberatankan?" pinta Furqon setelah meneguk susu putih hangat yang ia buat sendiri.

"Baik Mas, tentu saya tidak keberatan. Saya sudah menganggap mbak Nur seperti saudari perempuan saya sendiri," jawab Hanum seraya tersenyum menyambut kepergian Furqon.

"Oh iya, nanti malam jangan lupa, ya. Kita akan kedatangan tamu, saya minta tolong kamu untuk mempersiapkan segala keperluannya. Nanti saya kirimkan pesan list yang perlu disiapkan. Saya juga kurang paham, saya akan tanyakan ini kepada sekretaris di kantor. Biasanya yang membantu urusan kantor Nurhayati, tapi kondisi sedang sakit. Jadi, saya minta tolong kamu saja."

"Saya berharap, Mas mau selalu melibatkan saya dalam urusan kantor maupun urusan rumah."

"Ya, kalau diperlukan. Oh iya saya lupa, nanti tolong telepon saja perusahaan chatering langganan saya untuk mempersiapkan makanan. Alamatnya akan saya kirimkan nanti. Saya harus berangkat, Assalamu'alaikum," ujarnya seraya melangkah meninggalkan ruang makan.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatu."

Furqon berangkat mengendarai mobilnya, tidak lupa ia melambaikan tangan dan meninggalkan senyuman pada Hanum. Ia berusaha untuk menjadi sosok suami terbaik, apapun yang menjadi alasan ia menikahi Hanum. Meski baginya, tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan nama Nurhayati dalam hatinya.

Seperti pagi ini yang berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Ia tidak melihat senyuman manis Nurhayati di ambang pintu rumah melepas ia berangkat kerja. Tidak ada rentengan kotak nasi di dalam mobil yang biasa disediakan Nurhayati untuk makan siangnya. Tidak ada yang mencium tangan kanannya sebelum ia pergi, meski ia sempat mencium kening Nurhayati ketika ia masuk ke dalam kamar diam-dian tadi subuh.

Nurhayati dan Hanum berbeda, sangat jauh berbeda. Meski keduanya sama-sama perempuan shalihah yang taat beragama dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi, keduanya memiliki karakter yang berbeda, seperti serupa tapi tak sama.

"Kupikir, malam itu menjadi kisah terindah dalam hidupku. Tanpa sebuah paksaan engkau menyentuhku, dan aku menyerahkan kehormatanku kepadamu sebagai suamiku. Kupikir setelah malam itu, engkau bisa mencintaku seperti engkau mencintai kekasihmu. Nyatanya tidak, aku orang lain bagimu. Bahkan lebih daripada itu engkau perlakukanku," lirih Hanum, tangisnya pecah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top