Tahun Kesedihan (2)
"Fur, pulanglah! Ayahmu menanyakan kabarmu. Sudah dua minggu ini kamu juga belum main ke rumah," pinta ibunya dengan nada sedikit tenang.
"Ayah kenapa, Bu?" tanya Furqon.
"Tidak apa-apa Fur, ayahmu hanya ingin bertemu saja," jawaban ibunya terdengar seperti menyembunyikan sesuatu.
"Ibu, Furqon tahu Ibu menyembunyikan sesuatu. Katakan saja, Bu. Apa yang terjadi?" tcap Furqon mendesak ibunya.
Fatimah terdiam seketika, tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya kepada Furqon. Tiba-tiba, pertanyaan itu dijawab oleh Fatimah dengan isak tangis. Dia tak kuasa menahan kesedihan menjelaskan keadaan suaminya kepada Furqon.
"Ayahmu Fur," jawab Fatimah sambil terisak tangis.
"Ayah kenapa?" tanya Furqon semakin penasaran.
"Ayahmu sakit parah, dokter bilang ayahmu terkena serangan jantung. Ini sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir ini," jawab ibunya.
"Bagaimana mungkin ibu tidak tahu, Ibu selama ini bersamanya," ujap Furqon heran.
"Ayahmu menyembunyikan semua ini dari kita. Sekarang pulanglah! Keadaan ayahmu tidak bisa Ibu gambarkan lewat percakapan ini. Kamu harus melihat sendiri bagaimana keadaannya," pinta Fatimah sedikit mendesak.
Furqon berpikir mempertimbangkan permintaan ibunya. Dia juga tidak bisa meninggalkan Nurhayati yang sedang hamil. Akhirnya,, Furqon memilih untuk membicarakan hal ini dengan istrinya sebelum memutuskan pulang.
"Baiklah, Bu. Furqon akan membicarakan ini dengan Nurhayati. Assalamu'alaikum." Furqon menutup telepon.
"Ada apa, Bang?" tanya Nurhayati penasaran.
"Ayah sakit, Nur," jawab Furqon terdengar lemas.
"Ayah sakit? Kamu menunggu apa? Ayo kita harus segera pulang!"
Nurhayati menarik tangan Furqon tanpa meminta persetujuannya. Namun tiba-tiba ia berhenti melangkah sambil menahan sakit di perutnya. Dia merasakan keram yang lebih parah dari seharusnya.
"Kamu kenapa Nur?" tanya Furqon khawatir seraya memeganginya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," jawab Nurhayati terdengar menahan sakit.
"Tapi aku khawatir dengan kandunganmu," ucap Furqon mencemaskan Nurhayati.
"Tidak, aku baik-baik saja."
Namun tubuh Nurhayati ambruk, ia terjatuh dari atas surau. Darah mengalir di bagian kakinya. Melihat hal itu, tentu saja Furqon panic khawatir terjadi sesuatu dengan kandungan istrinya.
"Nur, kita harus ke rumah sakit," ujar Furqon dengan nada cemas.
"Tidak, ayahmu jauh lebih penting. Berbakti kepadanya lebih utama dari pada aku yang hanya sekadar istrimu," pinta Nurhayati, suaranya sedikit melemah sambil menahan sakit.
"Aku tahu ayah penting, tapi masih ada ibu yang menjaganya. Sedangkan kondisimu saat ini, aku tidak akan membiarkan terjadi apa-apa padamu ataupun calon anak kita," ucap Furqon.
Tanpa mengatakan apapun, Furqon langsung membawa Nurhayati menaiki taxi. Sesampainya di rumah sakit dokter langsung menangani keadaan Nurhayati. Dia tidak bisa membayangkan jika terjadi hal buruk kepada salah satu ataupun keduanya.
"Bang, temui ayah. Aku akan baik-baik saja, dokter yang akan menangani kondisiku," pinta Nurhayati sekali lagi meyakinkan Furqon.
"Tapi Nur," ucap Furqon ragu.
"Bang, insyaallah aku akan baik-baik saja." Nurhayati kembali meyakinkan.
"Baiklah," jawab Furqon sambil berlalu dengan berat hati meninggalkan Nurhayati.
Furqon meninggalkan Nurhayati dalam kondisi yang sangat membutuhkannya, meski begitu ia juga ingin Furqon tetap melihat kondisi ayahnya karena baginya itu jauh lebih penting. Ia pun pergi dengan menaiki taxi, ia tidak sempat membawa motor saat menyelamatkan keadaan Nurhayati.
"Assalamu'alaikum, Ibu," Ucap Fuqon usai tiba di rumah.
"Wa'alaikum salam, Nak. Kamu ke mana saja baru datang? Di mana Nurhayati?" tanya Fatimah seraya mencari sosok yang dinantikannya.
"Nur masuk rumah sakit, Bu," jawab Furqon.
"Innalillah, ada apa?" tanya Fatimah khawatir.
"Nur mengalami pendarahan," jawab Furqon sambil menahan tangis.
Mendengar hal itu, tentu saja Fatimah sangat takut jika hal buruk kepada menantunya. Fatimah tampak khawatir, tetapi dia juga ingin anak lelakinya bertemu ayahnya. Khawatir jika ini akan menjadi hari terakhir bagi keduanya.
"Sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Fatimah.
"Furqon tidak tahu, tapi tadi sedang ditanganin dokter. Insyaallah semuanya baik-baik saja," jawab Furqon.
"Ibu ingin melihatnya, tapi Ibu khawatir dengan kondisi ayahmu."
"Furqon akan menemui ayah, doakan saja semoga Nurhayati baik-baik saja."
Dihampirinya sosok lelaki paruh baya yang sedang terbaring di tempat tidur, napasnya terdengar sesak dan kemudian normal kembali. Furqon mendekat ke araha ayahnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya melihat sang ayah terbaring lemah.
"Innalillah, Ayah. Bagaimana keadaan Ayah sampai begini?" tanya Furqon pada ayahnya.
"Ayah baik-baik saja Fur, bagaimana keadaanmu?" ujar ayahnya memberikan jawaban sekaligus pertanyaan kepada anak semata wayangnya.
"Furqon juga baik Ayah, tapi kenapa ayah tidak mengatakan hal ini sebelumnya?" ucap Furqon sambi duduk di sisi ayahnya.
"Ini hanyalah takdir Allah, Nak. Di mana Nurhayati? Ayah ingin melihatnya, ia seorang istri yang baik dan patuh terhadap suaminya," tanya sang ayah.
"Nur sedang cek kandungan Ayah, Furqon meninggalkannya di rumah sakit," jawab Furqon.
"Suami macam apa kamu Fur, membiarkan istrimu pergi sendirian."
"Tidak Ayah, kondisi Ayah lebih penting saat ini. Nurhayati juga yang meminta aku menemui Ayah."
Furqon mencoba menutupi kegelisahaannya kepada sang istri. Tentu saja dia juga tidak ingin melewatkan semua ini, sebelum akhirnya dia memutuskan menemui sang ayah atas perintah istrinya. Antara orang tua dan istri bukan sebuah pilihan, jika boleh tentu saja Furqon ingin mendampingi keduanya.
"Fur, kondisi Ayah tidaklah penting. Sebab Ayah tidak akan lama lagi."
"Tidak Ayah, Ayah akan baik-baik saja."
"Siapa yang akan menjamin itu? Ayah bukan Allah yang berhak menentukan semuanya."
"Tapi ayah,"
"Dengarkan Ayah, Nak. Allah yang menakdirkan ayah sakit, sebab itu kita harus ikhlas dengan ketentuannya."
"Kenapa ayah berbicara seperti itu?"
"Fur, sekarang sudah saatnya Ayah berbicara serius denganmu. Nak, anak Ayah hanya kamu satu-satunya. Jika bukan kamu maka siapa yang akan melanjutkan usaha Ayah yang sudah dibangun dari nol. Sekarang perusahaan ini sudah terbilang sukses, jika Ayah pergi sayang, sekali jika perusahaan itu ditutup. Untuk itu, Ayah mengharapkan kamu yang akan melanjutkan perusahaan Ayah."
"Ayah, Furqon tidak memiliki jiwa itu, itu semua hanya Ayah yang dapat melakukannya."
"Belajar, Nak! Belajarlah untuk menjadi pengusaha yang baik, insyaallah semua akan berjalan sesuai dengan kondisi."
Furqon tidak bisa memberikan jawaban atas permintaan sang ayah. Selama ini dia tidak mau terlibat dalam urusan perusahaan. Dalam benaknya, Furqon hanya ingin mandiri dan dikenal sebagai dirinya bukan sebab image sang ayah.
"Tapi ayah..."
"Tidak ada alasan untuk menolak, kamu harapan Ayah satu-satunya."
"Bismillah, jika ini yang ayah ingin."
"Baiklah, Ayah sudah menyampaikan amanah terakhir Ayah, jaga dirimu baik-baik. Sampaikan pada Nur, bahwa Ayah merindukannya. Jika hari ini tidak bisa bertemu dengannya lagi."
Tangan keduanya saling menggenggam, perlahan matanya mulai terpejam. Furqon mendengar sang ayah membacakan dua kalimay syahadat. Hingga ayahnya menghembusan napas terakhir.
"Ayah... Ayah... Ayah... Ayah bangunlah! Bagaimana Furqon bisa belajar jika Ayah pergi? Ayah, astaghfirullahaladzim, innalillahi wa innailaihi raji'un."
"Ada apa, Fur?" Fatimah segera masuk saat mendengar suara Furqon.
"Ayah sudah pergi meninggalkan kita, Bu."
"Kita harus ikhlas melepaskan kepergian ayahmu, biar Ibu yang mengurus ayahmu. Pergilah ke rumah sakit, istrimu pasti sangat membutuhkan dirimu saat ini."
Fatimah mencoba terlihat tenang, meskipun hatinya rapuh menerima kenyataan itu. Dia meminta Furqon pergi mengurusi istrinya. Sementara Fatimah menjamin akan mengurusi jenazah suaminya.
Dengan berat hati, Furqon meninggalkan rumahnya. Ia pun sangat khawatir dengan keadaan Nurhayati, mengingat Nurhayati mengalami pendarahan. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju ruang bersalin tempat Nurhayati dirujuk.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Furqon segera ingin mengetahui kondisi istrinya.
"Istri Anda baik-baik saja, hanya saja ia masih tertekan atas kehilangan yang dialami," jawab dokter Faris.
"Maksudnya, Dok?" tanya Furqon penasaran.
"Istri Anda mengalami keguguran," jawab dokter.
"Innalillahi wa innaillaih raji'au, bagaimana ini terjadi?" tanya Furqon lemah, hingga tubuhnya hampir terjatuh.
"Sebelumnya ia pernah terjatuh, sehingga kondisi calon bayi yang ada dalam kandungannya lemah. Baiklah, saya permisi dulu," jelas dokter, kemudian berlalu meninggalkan Furqon.
Furqon kemudian masuk ke ruangan tempat Nurhayati terbaring lemah. Dia melihat istrinya terpukul atas kehilangan anak pertama mereka.
"Sayang, maafkan aku baru datang menemuimu. Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Furqon panik sambil memeluk Nurhayati
"Bagaimana aku akan baik-baik saja, sedangkan aku gagal menjadi seorang ibu," ucap Nurhayati sambil terisak tangis.
"Tidak sayang, kamu sudah memberikan yang terbaik untukku, ini hanya bagian dari kekuasaan Allah," ucap Furqon sambil menghapus air mata Nurhayati, kembali ia memeluknya seraya menguatkan sang istri.
"Maafkan Nur, Bang. Nur sudah mengecewakanmu, aku siap jika kamu marah padaku," tangis Nurhayati menyesal
"Sayang, dengarkan! Ada atau pun tanpa seorang anak, aku akan selalu mencintaimu dan rumah tangga yang kita bangun bersama," ucap Furqon berusaha menenangkan Nurhayati.
Mereka saling berpelukan, hari ini menjadi hari terburuk dalam kehidupan Furqon, bukannya hanya kepedihan atas kepergian ayahnya pun juga kesedihan akibat kehilangan calon anak pertamanya. Keduanya berusaha memupuk cinta, meski Nurhayati tahu Furqon sangat kecewa.
"Sayang, maafkan aku harus mengabarkan ini padamu, Ayah pun telah berpulang kehadapan Allah," ucap Furqon sambil menundukan kepala menahan air matanya.
"Apa!! Innalillah wainna illaihi raaji'un," tangis Nurhayati.
Nurhayati teringat pada cerita yang disampaikannya kepada anak-anak di rumah singgah. Tahun di mana Rasulullah harus kehilangan paman dan istri tercintanya pun juga tekanan serta penderitaan yang lebih tragis, tahun yang beliau namakan dengan tahun kesedihan. Hari ini pun menjadi tahun terpedih bagi Furqon dan Nurhayati, hari di mana ia akan mengenang wafat anak dan ayahnya.
Nurhayati mengalami tekanan yang sangat berat, sehingga ia tak sadarkan diri setelah mendengar kabar ini. Tubuhnya semakin melemah terkurai di ranjang rumah sakit.
"Betapa beratnya cobaan ini, ya Allah. Aku tidak sanggup memikulnya, bahkan lebih menyakitkan daripada hal apa pun di dunia ini," lirih Nurhayati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top