Tahun Kesedihan (1)

Furqon mencari Nurhayati di perpustakaan pribadi rumahnya, ia kembali memanggil Nurhayati. Tak ada jawabaan, samar-samar ia menengar suara isak tangis. Didapati Nurhayati sedang duduk dibangku yang berada di sudut ruangan.

"Sayang," panggil Furqon.

Furqon mencoba mendekatinya, tapi tangisnya tidak terhenti. Nurhayati enggan melihat ke arah Furqon, dia hanya tertunduk dengan isak tangisnya. Furqon mendekap tubuh Nurhayati, dipeluknya dengan lembut.

"Maafkan aku sayang, kamu pasti marah karena aku pulang terlambat dan tidak mengabarimu."

"Harusnya ini tidak terjadi, aku tahu ini kesalahan yang besar. Tapi tolong, dengarkanlah terlebih dulu, biar aku jelaskan permasalahannya," lanjutnya.

Nurhayati masih diam tidak mengatakan apapun, ia tetap menangis dalam dekapan Furqon. Sebenarnya yang dia tangisi bukan kesalahan Furqon, melainkan dirinya sendiri yang tidak bisa berusaha memahami suaminya. Dia terbakar amarah dan menunjukkan sikap tidak pantas kepada suaminya.

"Kamu marah padaku, aku tahu. Tapi jangan begini, aku mencintaimu. Sungguh aku tidak sanggup melihat istriku menangis," ucap Furqon kembali.

"Cinta tidak menjelaskan semuanya, Bang. Setidaknya, kamu mengabari keterlambatamu. Aku tidak ingin marah, tapi ketakutan menciptakan emosi dihatiku. Aku khawatir, hujan di luar deras dengan angin kencang. Bagaiamana kalau terjadi apa-apa? Siapa yang akan mengabarkan keadaanmu?"

"Aku tahu aku salah, tapi tolong dengarkan aku dulu."

"Aku hanya khawatir denganmu, Bang."

"Abang mengerti dengan kekhawatiranmu. Berdirilah, kita bicarakan ini di kamar." Mereka bedua pun berjalan menuju kamar.

"Jadi, kemana saja hingga pulang selarut ini?"

"Selepas dari toko buku tadi Abang menemui donatur rumah singgah yang kamu kelola itu, tadinya beliau akan menyurvei. Berhubung Abang memiliki video aktivitas anak-anak, beliau melihat kondisi anak-anak lewat video tersebut."

"Lantas, apa yang dikatakan donatur tersebut?"

"Mereka sangat senang dengan kegiatan anak-anak, dan beliau membelikan beberapa keperluan mereka. Jadi, Abang dan beliau belanja, barangnya Abang simpan di bagasi depan. Abang pikir, supaya kamu tidak payah memasukannya dan besok harus dikeluarkan. Abang pulang membawa motor menerjang hujan, karena Abang tahu kamu pasti khawatir menunggu kepulangan Abang. Kamu tahu Jakarta, macetnya luar bisaa. Dan menemui seorang donatur itu sulit, bagaimana kita harus menjelaskan agar mereka memberikan kepercayaannya kepada kita."

"Iya Bang, Nur mengerti. Maafkan Nur, Bang."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Abang memang salah. Seharusnya Abang mengabarimu agar tidak menjadi pikiran. Abang tahu kamu marah, dan kamu hanya bisa menangis untuk menjelaskan kekesalanmu."

"Nur akan selalu mencintaimu."

"Iya, Abang tahu. Sekarang kita harus istirahat. Besok kita harus beraktivitas lagi." Furqon mengecup kening Nurhayati.

***

Pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian, sakit Abu Thalib semakin bertambah parah. Ia hanya tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan akhirnya ia meninggal, tepat enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Ada yang berpendapat, dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah. Di dalam Ash-Shahih disebutan dari Al-Musayyab, bahwa di saat ajal hampir menghampiri Abu Thailib, Nabi Saw. menemuinya, yang saat itu di sisinya ada Abu Jahal.

"Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah." Sabda Rasulullah saw.

Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela.

"Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul-Muththalib?" Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini.

Hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, "Tetap berada pada agama Abdul-Muththalib."

Beliau bersabda, "Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya." Lalu turun ayat, surah At-Taubah ayat 113.

Nurhayati kembali melantunkan ayat tersebut dengan merdunya dan air matanya kembali mengalir seperti biasanya. Ia tak kuasa menahan duka, mengingat kecintaan Rasulullah kepada umat manusia baik yang beriman maupun yang kafir. Sebab, beliau ingin seluruhnya menyembah Allah dan bersama di surganya Allah kelak.

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang Musyrik, walaupun orang-orang Musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang Musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (At-Taubah: 113).

Kemudian, Nurhayati melantunkan ayat selanjutnya dari surah Al-Qasas yang turun pada saat itu.

"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (Al-Qasas: 59).

Tidak dapat dibayangkan apa saja perlindungan yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah Saw. Dia benar-benar menjadi benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang-orang yang sombong dan bodoh. Namun sayang, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Hanya sekitar dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul-Mukminin Khadijah Al-Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh tahun.

Khadijah adalah salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Saw. Dia mendampingi beliau selama dua puluh lima tahun, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam berdakwah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerah diri dan hartanya kepada beliau.

Rasulullah Saw. bersabda tentang dirinya, "Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya padaku."

Dari Abu Hurairah Ra, dia berkata, "Jibril mendatangi Nabi Saw., seraya berkata, Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan."

Persitiwa ini terjadi dalam jangka waktu tidak terpaut lama, sehingga beliau dirundung duka dan lara Rasulullah Saw., belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau. Kesedihanpun kian bertambah. Sehingga belau hampir putus asa menghadapi mereka.

Untuk itu beliau pergi ke Tha'if, dengan secercah harapan mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat seseorang yang bisa memberikan perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya. Apa yang beliau alami di Makkah jua dialami para sahabat. Hingga sahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughunnah.

Setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasulullah Saw. daripada saat dia masih hidup. Sehingga ada di antara mereka yang tiba-tiba mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepala beliau. Beliau masuk rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala. Lalu salah satu putri beliau bangkit untuk membersihkan debu-debu itu sambil menangis.

Beliau bersabda kepadanya, "Tak perlu menangis wahai putriku, karena Allah akan melindungi bapakmu." Pada saat-saat seperti itu beliau juga bersabda, "Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy, hingga Abu Thalib meninggal dunia."

Karena penderitaan yang bertubi-tubi pada tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai 'Amul-huzn' atau tahun kesedihan, sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah.

Nurhayati menyeka air matanya setelah menyelesaikan bagian terakhir ceritanya. Ia bersedih, seakan merasakan penderitaan Rasulullah pada saat itu. Tiba-tiba, bunyi ponsel Furqon berdering, mencairkan suasana yang semula hening. Ia kemudian mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum Furqon," suara dari seberang sana terdengar parau.

"Wa'alaikum salam, kenapa, Bu? Suara Ibu terdengar khawatir," ujar Furqon ikut panik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top