Setangkah Mawar dari Sebuah Taman Bunga
Tetapi terlambat, motor itu melaju dengan cepat. Akan tetapi, kecepatannya membawa dua orang di atas motor tersebut mengalami kecelakaan maut. Warga berkerumun melihat mereka dan salah satu dari mereka meninggal di tempat.
"Bu, ini tasnya," ujar Nurhayati setelah bergelut dengan kerumunan orang yang ingin melihat kondisi pencopet tersebut.
Sementara itu, Maudy melaporkan mereka ke pihak kepolisian agar diselesaikan sesuai jalur hukum yang berlaku. Wanita paruh baya itu tersenyum bahagia melihat tasnya kembali, dia segera mengambilnya dari tangan Nurhayati.
"Terima kasih, Nak," ucap sang ibu sambil melayangkan senyuman pada kedu gadis di hadapannya.
"Berterima kasihlah kepada Allah, Bu. Sebab Allah yang telah menyelamatkan Ibu dan mengembalikan apa yang Allah titipkan. Rupanya, Allah masih mempercayai Ibu menjaga apa yang menjadi milikNya," ucap Nurhayati dengan nada lembut.
"Kamu benar, Nak. Alhamdulillah masih rezeki Ibu," jawab ibu itu sambil menyisakan senyumannya kembali.
"Mari, biar kami antarkan Ibu ke rumah," ucap Nurhayati kembali seraya menawarkan diri.
Wanita paruh baya tadi mengangguk menyetujui tawaran dari Nurhayati. Kemudian, Nurhayati mencoba mencari taxi yang melintas sekitar lokasi mereka berdiri. Setelah menghentikan taxi, mereka bertiga manaikinya dan mengantarkan sang ibu ke rumahnya.
Selama perjalanan, wanita paruh baya itu tidak hentinya mengucapkan terima kasih kepada Nurhayati maupun Maudy. Bagaimanapun juga, atas bantuan mereka dengan kekuatan dari Allah wanita paruh baya itu selamat dari sang pecopet. Hal yang lebih membagiakan tentu saja tasnya bisa kembali.
"Kenapa Ibu tidak menaiki angkot atau ojek saja tadi? Ibu tidak perlu jalan kaki, bukan? Jarak dari pasar ke rumah cukup jauh."
"Tidak, Nak. Ibu hanya ingin olahrga saja agar tubuh yang semakin rapuh bisa bergerak, selama beberapa hari ini Ibu di rumah saja. Anak Ibu tidak pernah mengizinkan keluar, biasanya dia mengantarkan Ibu ke manapun pergi."
"Lalu, kenapa hari ini dia biarkan Ibu seorang diri?"
"Ibu sengaja, agar tidak merepotkannya."
Nurhayati hanya membalas jawaban sang ibu dengan senyuman khasnya. Dia mengerti alasan sang ibu tidak mau menyulitkan anaknya. Hampir semua orang tua akan bersikap yang sama, begitu juga orang tuanya. Rumah sang ibu tidak begitu jauh dari tempat terjadinya pencopetan tersebut.
Melihat sang ibu keluar dari taxi diantar oleh dua orang gadis, seorang lelaki tampan keluar dari rumahnya menyambut sang ibu. Senyum sang ibu menjelaskan, tentu saja itu anak lelaki semata wayangnya. Anak yang selalu dia harapkan segera memiliki pendamping dan hingga kini masih juga melajang dengan segala prinsip yang tidak mau dipahami keduanya.
"Masyaallah, Bu. Maafkan Furqon karena lalai, kenapa Ibu tidak menghubungi Furqon agar menjemput Ibu dari mini market?"
Seorang lelaki yang bernama Furqon dan merupakan anak dari ibu tersebut datang menghampiri, lalu membantu membawakan beberapa barang.
"Iya, Ibu lupa membawa ponsel tadi. Alhamdulillah Ibu di tolong oleh dua gadis cantik ini, siapa namamu Nak?"
"Nurhayati, Bu."
"Nama yang cantik, seperti pemiliknya."
Furqon menoleh ketika ibunya mengatakan hal tersebut, samar-samar dia melihat seorang gadis cantik dengan balutan jilbab warna ungu dan baju gamis corak bunga-bunga yang sedang menundukkan wajahnya. Namun, saat tersenyum, senyuman itu tidak dapat bersembunyi dari tundukan kepalanya.
"Ibu bisa saja, Alhamdulilla kalau begitu. Semoga Nur tidak tergolong wanita yang menyombongkan diri atas pujian Ibu. Ini Maudy, sahabat sekaligus saudara saya. Ibu sendiri siapa?"
"Ibu Fatimah, kamu sudah menikah Nak?"
Pertanyaan itu membuat Nurhayati terkejut, seolah jantungnya akan terlepas dari tubuhnya. Ia terdiam sejenak, lalu menjawab pertanyaan Fatimah.
"Belum Bu, belum bertemu jodohnya," jawab Nurhayati masih dengan senyumannya.
"Gadis secantik kamu tidak mungkin kalau tidak ada yang melamar."
"Ibu bisa saja, kecantikan fisik tidak menjamin segalanya. Hal yang paling penting dalam pernikahan kesiapan lahir dan batin, insya allah akan menjadi qurratu'ayun. Dalam pernikahan membutuhkan sakinah, bukan kecantikan lahirnya melainkan batinnya juga."
"Tapi bagi Ibu, kamu sudah memiliki keduanya. Kecantikan lahiriyah dan batiniyanya."
"Ibu benar, Nurhayati memang punya keduanya. Nur saja yang masih banyak memilih dan menimbang-nimbang lelaki yang datang melamarnya." Maudy nimbrung.
"Hus, kamu bicara apa?" cegah Nurhayati.
Maudy membenarkan yang dikatakan oleh Fatimah, tetapi Nurhayati tidak mau mengakui hal itu. Dia memiliki apa yang diinginkan seorang lelaki dari seorang perempuan. Nurhayati juga memiliki banyak keunggulan yang bagi setiap lelaki akan sulit mencari letak kekurangannya.
"Tidak apa-apa, itu memang sangat penting. Semoga Nurhayati maupun Maudy mendapatkan lelaki shalih sebagai pendaping hidupunya kelak."
"Aamiin, insyaallah. Oh iya, Bu. Sepertinya Nur harus segera pulang, sebentar lagi adzan dzhuhur."
"Lho, kok buru-buru. Kenapa tidak shalat di sini saja?"
"Tidak terima kasih, nanti habis dzhuhur kami ada agenda lagi. Tidak enak dengan orang tua di rumah, takut mereka khawatir," jawab Nurhayati.
"Oh begitu, baiklah. Ibu senang bertemu dengan kalian, terutama Nurhayati. Kapan-kapan main lagi ke rumah ya, ngobrol-ngobrol dengan Ibu. Anak Ibu yang bernama Furqon itu belum menikah lho, kalau saja kalian berjodoh."
"Insyaallah, Bu."
Nurhayati hanya menanggapinya dengan senyuman. Seperginya Nurhayati dan Maudy, Fatimah juga masuk ke dalam rumah. Namun, beberapa langkah sebelum masuk ke dalam taxi, Furqon keluar.
"Hmm, Mbak Nurhayati." Furqon memanggil.
"Ya, kenapa?"
"Terima kasih sudah mengantarkan Ibu saya pulang."
"Ya, sama-sama. Tapi tidak perlu berterima kasih, sebab sudah menjadi kewajiban manusia saling membantu."
Kembali Nurhayati tersenyum sambil menundukan pandangannya, lalu masuk ke dalam taxi. Furqon hanya membalas senyuman Nurhayati, lalu kembali ke dalam rumahnya. Pesona gadis itu memang tidak mampu dipungkiri.
Furqon dan Nurhayati dua manusia berbeda dengan prinsip yang sama. Keduanya tidak segera menikah bukan karena tak seorang pun yang berniat, tetapi sebab prinsip yang mereka pegang sendiri. Baik Nurhayati maupun Furqon tidak ingin bahwa pernikahan impian mereka hancur di tengah jalan hanya kerena hal yang tidak bisa diselesaikannya.
"Kamu kenapa, Fur?"
"Ibu, seharusnya tidak mengatakan hal seperti tadi kepada orang asing. Furqon malu, Bu."
"Apa yang Ibu katakana salah? Anak Ibu memang belum menikah dan terus saja berpegang teguh dengan prinsipnya. Mau sampai kapan seperti itu, Fur?"
"Sudahlah, Bu. Berhenti mempertanyakan hal itu lagi, akan ada waktunya Furqon menikah, Bu."
Furqon berlalu meninggalkan ibunya di ruang tengah dan bergegas masuk kamar. Hal yang paling dihindari oleh Furqon tentu saja percakapan tentang pernikahan. Sebab bagi Furqon, pernikahan bukan satu-satunya akhir dari tujuan hidup seseorang.
"Sudahlah, Bu. Jangan mendesak Furqon terus, biarkan saja dia memilih jalannya sendiri. Lagi pula, selama ini dia masih tetap baik-baik saja dengan kesendiriannya."
"Bapak ini ya, selalu saja bicara begitu. Jangan terus membelanya, Pak. Dia sudah semakin dewasa, mau sampai terus melajang. Usianya hampir menginjak tiga puluh tahun."
"Bu, menjadi kepala keluarga itu tidak mudah. Jangan terlalu memaksa Furqon."
"Tapi, Pak!"
Sementara itu, Furqon terdiam di kamarnya merenungkan ucapan kedua orang tuanya. Semua perkataan kedua orang tuanya benar, sudah waktunya Furqon menikah. Akan tetapi, dia tidak ingin salah langkah, apalagi sebagai kepala keluarga yang memiliki banyak tanggung jawab penting.
"Gadis itu..." Furqon bergumam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top