Permata yang Hilang

"Di mana Furqon, apa dia tidak bersamamu?" tanya dokter Anton

"Bang Furqon pergi ke Surabaya."

"Seharusnya dia di sini saat kondismu sedang tidak sehat, saya khawatir dengan keadaanmu. Tapi, saya tidak bisa memastikan. Hanya saja, kita memerlukan pemeriksaan. Nanti akan saya bantu urus ke dokter specialis bagian dalam."

"Jika memang harus seperti itu laksanakan saja, saya siap dengan segala resikonya."

"Baiklah, kita akan laksanakan sekarang."

Setelah melakukan pemeriksaan, Nurhayati diminta datang besok siang. Hasil lab akan keluar besok setelah dilakukan beberapa rangkaian pemeriksaan.

***

Siang itu seperti biasanya, jalanan kota Jakarta macet oleh lalu lalang pengendara motor dan mobil pribadi ditambah angkutan umum. Belum lagi, sekarang sudah banyak aplikasi ojek dan taxi online yang lebih mudah di pesan. Semua akses jalan padat oleh aktivitas lalu lalang mahasiswa, anak sekolah dan pegawai baik yang pulang maupun yang berangkat.

Kemacetan dan juga polusi udara di mana-mana, belum lagi panas matahari yang menyengat kulit. Meski cuaca tidak di harapkan, Nurhayati tetap melajukan mobilnya menuju rumah sakit untuk mengambil hasil laboratorium kemarin. Ada banyak pertimbangan, meski ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang akan terungkapkan. Akan tetapi, ia tetap optimis bahwa keadaannya baik-baik saja seperti sebelumnya.

Setelah hampir dua jam ia bergelut dengan kemacetan, Nurhayati memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Kemudian, ia masuk ke dalam ruangan dokter Anton sesuai perjanjian hari sebelumnya.

"Apa yang harus saya katakan?" tanya dokter Anton pada Nurhayati, yang sebetulnya pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban.

"Katakan, apa yang terjadi?" tanya Nurhayati penasaran.

"Saya tidak sanggup mengatakan hal ini," jawab dokter Anton ragu sambil sesekali melihat hasil laboratorium di tangannya yang dia dapatkan dari dokter penyakit dalam.

"Tolong, jangan membuat saya penasaran. Katakan saja, saya mohon," desak Nurhayati.

"Baiklah!" Dokter Anton menghela napas, dia terdiam sejenak.

"Ini hasil scan lab kemarin, ada benjolan dibagian otak. Setelah diperiksa kembali dan mengacu pada gejala-gejala yang dialami, kamu dinyatakan terkena menengitis atau kanker getah bening," jelasnya.

"Tidak, itu tidak mungkin. Ini pasti salah, tolong cek lagi dengan baik," pinta Nurhayati.

"Hasil lab tidak pernah salah, ini benar. Kami sudah mengujinya tiga kali," ucap dokter Anton meyakinkan.

"Tolong cek lagi!" pinta Nurhayati.

"Bahkan saya sudah melakukannya, tapi hasilnya tetap sama," jawab dokter Anton.

Nurhayati terdiam, dia tertunduk sambil memegang hasil scan tersebut. Tangannya bergetar, air matanya tak terasa mengalir. Tak ada sepatah kata yang dapat dikatakannya, dia tak menyangka akan mengalami hal ini. Dia bingung apa yang akan dikatakannya kepada Furqon, dan entah bagaimana mempertahankan kehamilanya.

"Nurhayati," dokter Anton menegur.

"Ya, Dok." Jawab Nurhayati.

"Tabahkan hatimu, dan bicarakalah ini pada Furqon," ucap dokter Anton.

"Tidak, itu tidak akan terjadi," ucap Nurhayati.

"Maksudmu?" tanya dokter Anton heran.

"Dokter, tolong jangan katakan apapun pada keluarga saya, terutama Furqon. Biarkan ini menjadi rahasia, saya tidak sanggup jika mereka mengetahui saya sakit," pinta Nurhayati.

"Tidak, Nur. Kamu membutuhkan mereka, mereka harus ada dan menjagamu," jawab dokter Anton.

"Saya mohon!" pinta Nurhayati sekali lagi.

Dokter Anton terdengar ragu menyetujui permintaan Nurhayati. Akan tetapi, Nurhayati terus mendesak hal ini, dia berjanji akan bicara dengan keluarga di waktu yang tepat. Namun tidak dia lakukan saat ini juga.

"Bagaimana saya akan menjelaskan pada mereka?" tanya dokter Anton.

"Katakan saya baik-baik saja," jawab Nurhayati.

"Baiklah, saya akan berusaha. Tapi ingat, kamu harus datang untuk pemeriksaan," jelas dokter Anton.

"Tapi ada hal lain yang ingin saya sampaikan," lanjut dokter Anton kemudian.

"Apa?" tanya Nurhayati.

"Penyakitmu berdampak pada kehamilanmu, kemungkinan kecil akan bertahan. Selain tubuhmu yang melemah, kandunganmu juga ikut melemah," jawab dokter Anton.

"Kalau begitu lakukan sesuatu untuk menyelematkan anak ini," pinta Nurhayati.

"Saya tidak bisa melakukan apapun, kita tunggu sampai pemeriksaan lanjutan," jelas dokter Anton.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Terima kasih," ucap Nurhayati seraya melangkah meninggalkan ruangan dokter Anton.

Nurhayati keluar dari ruangan dokter, langkahnya goyah. Dia tak sanggup jika harus mengatakan yang sejujurnya pada Furqon, sebab tak ingin Furqon merasa khawatir dengan keadaannya. Belum lagi saat ini dia sedang ada pekerjaan, akan mengkhawatirkan jika dia bercerita disaat suaminya sedang terbebani oleh masalah pekerjaan.

***

Pagi itu seperti biasanya, Nurhayati pergi ke rumah singgah untuk mengunjungi anak-anak. Meski kondisi kesehatannya tidak baik, ia tetap bersikeras untuk bertemu anak-anaknya. Ia tidak melanjutkan ceritanya, melainkan mengsajarkan pelsajaran yang lain untuk mereka. Namun tiba-tiba, ia berhenti beraktivitas dan memegang pertutnya dan merintih kesakitan. Maudy kemudian mendekatinya.

"Nur, kamu kenapa?" tanya Maudy.

"Tidak, aku baik-baik saja," jawabnya sambil menahan sakit.

"Tapi, aku melihatmu merintih kesakitan."

"Tidak Maudy, aku baik-baik saja."

"Ya, sudah! Aku permisi pulang lebih dulu. Kasihan Fatih, tadi kutinggal dengan mas Fahmi."

"Iya, hati-hati saja."

Sepeninggal Maudy, Nurhayati berjalan ke taman belakang rumah singgah. Dia berjalan dengan sempoyongan, berusaha menahan sakit di kepalanya. Seketika keadaan bumi seperti berputar, pandangannya buram dan langkahnya mulai rapuh. Dia tersandung batu besar dekat pohon dan tubuhnya ambruk ke tanah. Anak-anak yang melihat segera berlari ke arah Nurhayati, dan mereka segera menghubungi Maudy. Mendapatkan kabar tersebut, Maudy segera kembali dengan Fahmi ke rumah singgah dan membawa Nurhayati ke rumah sakit.

"Ayo dong, Fur angkat," gerutu Maudy saat berusaha menghubungi Furqon.

"Sayang, kamu sedang apa dari tadi menggerutu?" tanya Fahmi.

"Aku menghubungi Furqon, keadaan Nurhayati sangat mengkhawatirkan."

"Iya, tapi tenanglah dulu. Mungkin Furqon masih bekerja, coba hubungi nanti."

"Gak bisa Mas, tolonglah."

"Maaf, saya menggangu kalian." Dokter Anton mengejutkan keduanya..

"Iya Dok, bagaimana dengan Nurhayati?" tanya Maudy.

Dokter Anton diam, kemudian dia menggelengkan kepala dan berkata, "Maaf, saya sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkannya, tapi Allah berkata lain."

"Maksudnya apa, Dok?"

"Akibat dari pendarahan yang dialami Nurhayati, ia mengalami keguguran."

"Innalillahi." Spontan Fahmi dan Maudy bersamaan.

"Kalian boleh masuk, saya permisi."

Sepeninggalnya dokter Anton, keduanya masuk ke ruangan Nurhayati dan bersamaan dengan itu Azzam dan Fatimah datang ke rumah sakit. Mereka juga sangat khawatir dengan keadaan Nurhayati, apalagi saat ini Furqon tidak bersama mereka.

"Nak, bagaiamana semuanya bisa begini?"

"Nur hanya ceroboh Bu, maafkan Nur yang telah gagal kembali memberikan cucu untuk Ibu."

"Tidak Nak, ini bukan salahmu. Bersabarlah sayang, Allah selalu bersamamu." Fatimah memeluk Nurhayati yang terisak tangis.

"Nur, ke mana suamimu. Kakak menelponnya berulang kali tidak diangkatnya juga."

"Tidak Kak, tolong jangan hubungi bang Furqon. Bang Furqon sedang sibuk dengan pekerjaannya, aku tidak ingin mengganggunya. Biarkan bang Furqon bekerja, akan ada waktunya dia pulang."

"Tapi Nur, suamimu harus tahu keadaanmu."

"Maudy, sudahlah. Tolong biarkan bang Furqon bekerja, jangan ganggu pekerjaannya."

"Wanita mana yang bisa bertahan ditinggal suaminya pergi, padahal keadaannya sedang sakit. Hanya kamu Nur."

"Tidak, bukan hanya aku yang membiarkan suaminya bekerja ketika anaknya meninggal. Pada zaman Rasulullah, ada salah satu shabiayah yang membiarkan suaminya pergi berperang dalam kondisi anaknya yang sakit parah. Hingga ia kembali, istrinya mengatakan anaknya sudah sehat dari sakitnya dan sedang beristirahat. Namun, setelah suaminya rehat dan memenuhi hajatnya, ia baru mengatakan bahwa anaknya sudah memenuhi panggilan Allah. Ia salah satu wanita yang tegar ditinggal pergi anaknya, dan taat untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Aku hanya ingin Bang Furqon bekerja dengan tenang, dan itu tidak sebanding dengan shabiyah kita. Nanti pada saat ia pulang, biarkan aku sendiri yang memberitahukannya."

"Nur, Ibu rasa Azzam dan Maudy benar, lebih baik kamu hubungi Furqon. Menunggunya pulang masih lama, baru tiga hari dia pergi dan masih lama menunggu dua minggu."

"Semua akan baik-baik saja, Nur akan istirahat."

"Baiklah terserah kamu."

Mereka menuruti keinginan Nurhayati, tidak ingin mencampuri rumah tangga keduanya. Meyakini bahwa Nurhayati akan mengatasi ini dan bisa meembicarakan dengan Furqon, setelah ia kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top