Pelan-pelan, Sayang...
Dadanya berdetak dengan kencang, ada desiran aneh yang mengitari tubuhnya saat tanpa sadar jari jemari Furqon menyentuh bagian tubuhnya. Piama tipis yang dikenakan menambah suasana menjadi lebih syahdu, setiap sentuhan langsung menyentuh bagian tubuhnya.
Furqon menyingkapkan rambut Nurhayati ke sebelah kiri, dan bibirnya mulai mengecup. Kening, leher, dan bagian belakang telinga kanannya. Nurhayati berusaha menepis jemari Furqon, namun genggamannya cukup kencang. Mereka mulai terbawa suasana, Furqon membimbing istrinya itu ke tempat tidur dan satu persatu pakaian yang dikenakan terlepas dari tubuhnya. Mereka mulai menikmati ritual khusus itu dalam desahan syahdu yang telah Allah halalkan.
"Terima kasih, aku mencintaimu."
Furqon mengucapkan itu di tengah pertarungan dengan dinginnya malam, sedangkan Nurhayati tak mampu berbuat apapun. Dia masih terhipnotis dengan belaian dan kecupan mesra suaminya. Ini adalah untuk yang pertama kalinya, penyatuan hati dengan penuh cinta. Impian malam pengantin yang indah, kini sedang dirasakannya.
"Sayang... sungguh, ini indah sekali. Ternyata, keindahan yang sudah halal itu jauh lebih nikmat," ucap Nurhayati dalam dekapan Furqon.
"Ya, sangat disayangkan bagi anak muda yang melakukannya hanya karena cinta yang palsu. Padahal, ikatan pernikahan itu jauh lebih mulia daripada hubungan tanpa ikatan," timpal Furqon.
Mereka masih melanjutkan rutinitasnya, tiba-tiba pintu kamar diketuk. Awalnya ereka enggan membukanya. Tapi ada ketukan kedua, mereka masih sibuk dengan aktivitasnya dan enggan membuka pintu. Suara pintu diketuk yang ketiga kalinya, dan Nurhayati beranjak dari tempat tidur.
"Siapa sih, mengganggu kesenangan orang saja," gerutunya sambil merapikan beberapa pakaian.
Sedangkan Furqon tidak beranjak dari tempat tidur dan masih bergumul dengan selimutnya. Nurhayati membuka pintu kamar, dari ambang pintu Azzam berdiri seraya menyeringai penuh curiga. Setelah sah menjadi suami, lampu kamar dimatikan bukan hal tabu baginya, tentu saja Azzam tahu apa yang dilakukan adiknya.
"Ada apa, Kak?"
"Maaf mengganggu." Azzam cengengesan, seolah tahu apa yang terjadi.
"Hmm,, kenapa?"
"Sudah tidur ya?"
"Ahm, belum. Kami masih asik berbicang-bincang."
Nurhayati berusaha menutupi kebenaran, tentu saja dia juga malu jika harus jujur kepada Azzam apa yang tengah dilakukannya bersama Furqon. Meskipun tidak dijelaskan, tentu saja Azzam mengetahui hal itu bukan sekadar curiga saja.
"Oh, tapi kok lampunya sudah mati."
"Mau tahu banget sih urusan orang," ucap Nurhayati sambil mencubit lengan Azzam setengah kesal.
"Apalagi kalau sudah nyubit, ehm..."
"Enggak, Bang Furqon tidak suka dengan silau lampu, makanya lampunya dimatikan."
"Oh begitu, yakin cuma itu?"
"Ikh, apaan sih kak Azzam."
Nurhayati merasa malu, meskipun berusaha menutupi kebenaran. Akan tetapi, Azzam bukan anak usia lima tahun yang bisa dialihkan. Apalagi Azzam sudah menikah dan mengetahui apa yang bisa dilakukan sepasang suami istri di kamar.
"Tenang saja, aku tidak akan mengganggu."
"Ini sudah mengganggu, mengetuk pintu kamar sampai tiga kali."
"Hehe, maaf. Salma sudah mempersiapkan makan malam, ayo turun!" ujar Azzam seraya mengajak adiknya agar segera turun dan makan malam bersama keluarga.
"Baiklah, tunggu sebentar."
Tanpa berucap apapun, Azzam meninggalkan kamar. Dia hanya memberikan senyuman penuh curiga kepada Nurhayati. Dari cara Nurhayati berbicara, barulah Azzam mengerti bahwa adiknya tidak mau dikenal hal privasinya.
"Diminta turun oleh kak Azzam, makan malam."
"Oh, aku malas bangun. Lelah sekali, aku tidur saja di sini. Kamu turun saja, yang tertunda akan kita lanjutkan nanti malam sehabis shalat isya'."
"Bangunlah, kamu belum makan."
"Aku malas mengenakan pakaian, sudah tanggung. Nanti aku akan turun sehabis mandi."
"Apa perlu kupakaikan? Sudahlah, usaplah wajahmu dengan air wudhu' dan kita akan sama-sama turun."
"Hmm... baiklah, terpaksa." "Tapi.. nanti malam akan tetap berlanjutkan?" lanjutnya sambil melingkarkan tangannya di pinggang Nurhayati.
"Hmm, iya."
Jam menunjukan pukul sepuluh malam, sehabis makan malam mereka sedikit berbincang-bincang. Setelah itu, Nurhayati dengan Furqon masuk ke dalam kamar. Seolah yang terjadi itu terlupa sesaat, akibat perbincangan panjang diselingi tawa.
"Bang, aku mandi terlebih dulu ya. Sudah jam sepuluh malam, kita belum shalat isya'."
"Tidak-tidak, aku lebih dulu. Aku juga ingin segera shalat isya'."
"Bang, dalam segala hal kita diperbolehkan mendahulukan orang lain, kecuali satu hal. Dalam permasalahan ibadah, itu harus menjadi yang pertama. Aku tidak mau. Kamu sih mendahulukan keinginan, bagaimana Allah akan memberikan keberkahan bagi hubungan ini kalau dalam ibadah saja kita lalai."
"Lho, kok menyalahkan aku? Bukankah kamu juga menikmatinya? Kita satu sama, sayang."
"Oke, baiklah. Sulitkah itu? Tidak. Ayo masuk, kita akan mandi bersama dan kita sama-sama bisa melakukan shalat isya' bersama. Bukankah Rasullullah juga pernah melakukan ini dengan Aisyah, istrinya," lanjutnya seolah mempraktekkan apa yang diketahuinya, ini yang dinamakan suami romantis.
Nurhayati terdiam, tidak ada pilihan lain. Mandi bersama, mungkin itu akan lebih romantis, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Memang benar, romantis. Setelah mandi bersama, mereka shalat isya' berjamaah.
"Ahh, rasanya aku ngantuk sekali. Aku ingin tidur saja," ucap Nurhayati sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Lho, kok tidur?"
"Aku ngantuk, Bang."
"Katanya masih mau berlanjut, kita masih akan melanjutkannya 'kan?"
"Hmm.. baiklah."
Terpaksa yang menyenangkan. Tanpa meminta persetujuan dari Nurhayati, Furqon menariknya dan dekap tubuhnya.
"Slowly," bisik Nurhayati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top