Menanti Kepulangan

"Nur, tunggu besok saja. Jangan dulu pulang, malam ini istirahat di rumah." Pnta Azzam.

"Tidak kak, Nur pulang sekarang saja. Kalau bang Furqon pulang, lantas aku tidak ada di rumah kasihan." Ucap Nurhayati.

"Mintalah Furqon pulang ke rumah kakak, disana kamu dengan siapa? Salma tidak ada di rumah."

"Tidak apa-apa kak, bang Furqon pulang malam ini."

"Kakak antar ke rumah, ya."

"Tidak perlu, Nur bisa membawa mobil sendiri. Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikum salam."

***

Sementara itu, Furqon berdiri memandang rumput nan hijau dari bilik pesantren tempat ia belsajar ketika duduk di bangku SMP dulu. Ia bermaksud menginap dan meminta bantuan kiayi Kholidi atas masalah yang menimpanya. Ia begitu mempercayai Kiayi yang selama ini selalu memberikan nasehat kepadanya, termasuk keputusan menikahi Nurhayati waktu itu.

"Fur," kiayi Kholidi menyapa.

"Pak Kiayi, mari silakan duduk!" ujar Furqon tidak lupa memberikan senyum.

"Ada apa denganmu, Fur?"

"Furqon bingung Kiayi, orang tua Hanum bermasalah dengan seorang renternir. Furqon tidak bisa mengeluarkan uang sebanyak itu saat ini, tadi pun pada saat perjalanan ke rumah pakle Harun kecopetan di bis."

"Innalillahi, lantas apa yang membuatmu bingung?"

Furqon terdiam sejenak, dia terlihat mempertimbangan untuk membicarakan masalah besar ini dengan kiayi. Jauh dalam hatinya, dia tidak ingin menerima permintaan Harun untuk menikahi Hanum. Akan tetapi, dia juga tidak mau memberikan Hanum dalam masalah besar. Apalagi, gadis baik seperti dirinya harus jatuh ke tangan seorang bajingan.

"Pakle minta Furqon menikahi Hanum, Kiayi."

"Bukankah kamu sudah menikah?"

"Itu yang menjadi masalah Furqon, bagaimana mungkin Furqon mengkhianati janji suci pernikahan. Furqon sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selama pernikahan bersama Nurhayati. Sementara itu, Hanum dalam bahaya. Renternir itu meminta Hanum sebagai ganti rugi hutang-hutang pakle."

"Jika itu permasalahannya, sebetulnya aku juga tidak bisa mengatakan apapun. Terkait janji ente, dan hutang budimu tiga tahun yang lalu kepada Harun."

"Tolong Furqon, Kiayi. Berikanlah jalan keluar dari masalah ini, hal ini juga yang membuat Furqon melangkah datang ke pesantren menemui Kiayi."

Kiayi Kholidi tersenyum, tetapi itu bukanlah sebuah jawaban dari pertanyaan Furqon. Dia berharap kiayi akan membantunya keluar permasalahan yang sedang di hadapinya. Dia tidak ingin karena masalah ini akhirnya menghancurkan pernikahannya dengan Nurhayati yang berjalan dua tahun terakhir.

"Nak, duduklah! Akan aku ceritakan tentang sesuatu padamu."

"Monggo, Kiayi."

"Nak ada cerita dari seorang pemuda beberapa tahun yang lali, ini kisah nyata. Seorang pemuda yang baru menyelesaikan kuliahnya di Cairo, dia menikahi seorang gadis cantik yang hanya lulusan pondok Madani Gontor. Selain cantik, dia juga lembut dan fasih berbahasa arab juga seorang hafizhah. Tidak diragukan lagi banyak pemuda yang antri meminangnya, termasuk pemuda tersebut. Akhirnya, pemuda itu yang beruntung meminang gadis cantik itu dan memperistrinya. Semua keluarga sangat bahagia atas pernikahan mereka, tidak terkecuali."

"Kemudian?"

"Kemudian, suatu hari pemuda itu bertemu dengan seorang perempuan yang sedang hamil tua. Posisinya, perempuan tersebut ingin melakukan bunuh diri. Melihat itu, pemuda tadi bermaksud menolong perempuan tersebut. Akan tetapi, perempuan itu tetap ingin bunuh diri." Kiayi Khalidi menghela napas, air matanya menetes seketika.

"Apa yang terjadi dengan perempuan itu Kiayi, sehingga ia tetap ingin bunuh diri?"

"Karena ia tidak percaya dengan seorang laki-laki, dia tidak perduli sesalih apapun lelaki itu. Yang ia ketahui, bahwa seorang lelaki hanya menginginkan perempuan berdasarkan hawa nafsu, setelah itu dia meninggalkanya begitu saja."

"Kenapa dia berpikir demikian?"

"Sebab, perempuan yang sedang hamil itu telah dihamili oleh kekasihnya. Dia seorang lelaki yang baik, akan tetapi dia hanya menikmati perempuannya saja lalu meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, dia menikah dengan wanita lain."

"Lalu, apa yang dilakukan oleh pemuda itu untuk menyelamatkan perempuan tersebut?"

"Awalnya, pemuda itu ingin menolong dengan jalan yang baik. Ternyata, perempuan itu tidak bisa dikendalikan. Tanpa berpikir panjang, spontan dia mengatakan akan menikahi perempuan itu."

"Menikahi perempuan lain? Apa dia sudah tidak mencintai istrinya?"

"Bukan itu alasannya, menyelamatkan seseorang dari keputusasaan dengan jalan menikahinya."

"Lalu, bangaimana dengan istrinya?"

"Nak, jika ditanya pasti jawaban seorang wanita sama. Tidak ada seorang wanita yang ingin di duakan hatinya selain dengan Allah. Akan tetapi, perempuan itu melalui istikharah yang panjang dan ikhlas karena Allah akhirnya bisa menerima madunya." Bu Nyai menimpali jawaban Furqon.

"Lantas, apa hubungan cerita itu dengan saya?"

"Hubungannya, ketika saat ini kamu berada dalam posisi seperti pemuda itu."

"Bu Nyai, mungkin Ibu lebih tahu bagaimana perasaan seorang wanita, dan saya tidak ingin mengingkari janji saya untuk tidak menikah dengan wanita lain selain dirinya."

"Nak, menikahi dua wanita dalam satu rumah tangga itu bukan sebuah pilihan, tetapi ketika manfaatnya lebih banyak daripada madharat-nya atau bahkan dalam kondisi darurat itu bisa saja terjadi."

"Saya tidak ingin menyakiti istri, Kiayi."

"Keputusan ada ditanganmu, pikirkanlah dan libatkanlah Allah dalam urusan ini. Insyaallah akan diberikan jalan terbaik dari-Nya. Sekarang, istirahatlah."

"Baik, pak Kiayi."

***

Sementara pagi itu, Nurhayati masih harap-harap cemas menunggu kepulangan Furqon. Akan tetapi, Furqon belum juga datang dan tidak memberikan kabar kepadnya. Belum lagi, nomor kontaknya tidak bisa dihubungi. Hal itu, semakin menambah khawatir Nurhayati.

"Nur.." sapa Azzam yang tiba-tiba datang dari balik pintu.

"Kak Azzam.. kenapa?" jawab dan tanya Nurhayati sedikit kaget.

"Lho, mana Furqon?" tanya Azzam heran.

"Belum pulang Kak, sudah kuhubungi nomor kontaknya, tapi tidak aktif," jawab Nurhayati.

"Masyaallah, Nur. Kenapa tidak menunggu di rumah kakak saja, disini kamu sendiri. Kesehatanmu belum benar-benar pulih Nur, Salma juga tidak ada," ucap Azzam khawatir.

"Nur baik-baik saja, mungkin siang ini bang Furqon pulang."

"Nur, tolonglah jangan membuat Kakak khawatir."

"Iya kak, Nur baik-baik ssaja, sudah pulang saja."

***

Seminggu kemudian...

Seminggu kemudian setelah istikhorah panjang, akhirnya Furqon mengambil keputusan. Meski sangat berat, tapi dengan penuh pertimbangan ia berusaha untuk menguatkan hatinya. Keputusan besar yang ia ambil dan akan menjadi konflik baru dalam rumah tangganya. Dengan mengucapkan bismilah dan mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, ia menemui Kiayi Kholidi.

"Assalamu'alaikum, Kiayi."

"Wa'alaikum salam, Furqon. Masuklah, duduklah disini. Bu nyai sedang di dalam menemani Hanum."

"Kiayi, sebetulnya Furqon tidak bisa memutuskan dalam waktu yang secepat ini, tapi keputusan harus segera diambil. Sudah hampir dua minggu lamanya di Surabaya."

"Jadi, keputusanmu apa?"

"Insyaallah, Furqon akan menikahinya."

"Syukurlah, insyaallah ini jalan terbaik yang dipilihkan-Nya untukmu. Siang ini, ba'da dzuhur kalian akan melakukan akad dan saksinya jama'ah masjid."

"Secepat ini kiayi?"

"Iya, tentu saja. Akan lebih baik kamu segera pergi dari Surabaya, agar renternir itu tidak mengejar kalian."

"Maharnya bagaiamana? Sementara saya tidak memiliki apapun."

"Jam tanganmu ini bisa jadi mahar jika kamu mau."

"Boleh kiayi?"

"Tentu saja."

"Baiklah, jam tangan ini sebagai maharnya."

"Baik, sekarang bersiaplah. Saya akan menyampaikan hal ini kepada Hanum."

Furqon meninggalkan ruangan Kiayi Kholidi, kemudian Bu nyai menyampaikan keputusan ini kepada Hanum. Siangnya, mereka langsung melaksanakan akad nikah.

"Mas," sapa Hanum saat keduanya berada di kamar.

"Iya, ada apa?"

"Aku tidak berharap kita akan pulang ke Jakarta dalam keadaan ini. Seharusnya, kamu tidak perlu melakukan ini."

"Maksudnya apa? Lagi pula, aku sudah mempertimbangkan ini baik-baik."

"Aku tidak sanggup satu atap bersama istrimu, tentu dia sangat kecewa."

"Lalu, aku harus bagaiman lagi, Hanum? Membawamu ke Jakarta tanpa ada ikatan apapun? Itu lebih menyakitkan lagi, kita tidak mungkin satu rumah tanpa ikatan apapun. Bagaimana tetangga akan menilai? Pikirkan itu juga, Hanum."

"Aku hanya..."

"Sudahlah, lupakan hal itu sejenak. Aku akan istirahat, jadi lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top