Kepulangan Tak Diharapkan
Dua hari kemudian, setelah dinyatakan keguguran Nurhayati mulai beraktivitas seperti biasanya. Ia kembali ke rumah singgah mengajak anak-anaknya bermain dan memberikan pelajaran-pelajaran baru untuk mereka. Maudy menyapanya dengan hangat.
"Bagaimana keadaanmu, Nur?" tanya Maudy.
"Alhamdulillah baik, aku menyempatkan untuk menemui anak-anak meski masih terasa sakit," jawab Nurhayati seraya memberikan senyuma kepada Maudy.
"Harusnya kamu istirahat dulu, Nur." pinta Maudy dengan rasa khawatir.
"Maudy, sakitku akan sembuh setelah melihat anak-anak. Lagi pula aku tinggal dengan kak Azzam, jadi masih bisa dikontrol," jawab Nurhayati tenang.
"Tapi Nur," cegah Maudy.
"Sudahlah, yang penting aku sudah sehat. Kak Azzam mau mengantarku ke rumah singgah, jadi tenang saja," ucap Nurhayati.
Nurhayati yang dikenal Maudy masih sama, sosoknya yang keras kepala dan tidak peduli pada kondisi tubuhnya. Padahal, dari kerjadian ini Allah sudah memberikan isyarat bahwa tubuhnya membutuhkan waktu rehat.
"Bagaimana dengan Furqon?" tanya Maudy.
"Belum memberikan kabar, tapi kemarin Bang Furqon masih sibuk," jawab Nurhayati.
"Ya, baiklah! Aku tinggal ke belakang sebentar."
Sepeninggalnya Maudy, suara dering teleponnya berbunyi. Rupanya dari Furqon. Tentu saja Nurhayati menyambut panggilan itu dengan bahagia. Dia sudah lama menantikan ini.
"Assalamu'alaiki salam, sayang."
Suara merdu seorang lelaki dari sebrang sana yang tidak lain Furqon terdengar nyaring dan bahagia. Padahal dia tidak tahu kekasihnya ini sedang tidak baik-baik saja semenjak keguguran tersebut
"'Alaika wa 'alaikum salam."
"Bagaimana kabarmu di sana?"
"B-baik," jawab Nurhayati sedikit ragu.
"Nur, suaramu terdengar parau. Kamu baik-baik saja?"
"Ya tentu saja, aku baik-baik saja."
Nurhayati terdiam, rasanya ingin menangis karena membohongi Furqon dan mengingat apa yang dialaminya saat ini. Akan tetapi, Nurhayati juga tidak mau Furqon terganggu pekerjaanya, sehingga memilih menunggu kepulangannya untuk mengabari keadaan sebenarnya.
"Nur, kenapa diam?"
"Tidak Bang, tidak apa-apa."
"Syukurlah, kalau begitu. Aku hanya ingin memberi tahu kalau besok aku pulang."
"Lho, katanya masih lama?"
"Tidak, ternyata seminggu ini sudah bisa ditinggalkan. Insyaallah aku pulang, besok pagi sudah ada di rumah."
"Oh, alhamdulillah. Syukurlah kalau pulang, aku mengharapkan ini."
Furqon tersenyum mendengar jawaban istrinya, rasanya sangat bahagia di tengah kesibukan selalu ada wanita setia menunggu kepulangannya. Wanita yang begitu besar cinta kepada suami, rindu untuk selalu bersama. Namun, Furqon tidak menyadari bahwa Nurhayati jauh lebih bahagia sebelum suaminya disibukkan dengan urusan pekerjaan dan tidak ada lagi waktu menemaninya.
"Iya sayang, aku juga rindu padamu."
"Sepanjang waktu, aku tidak pernah meninggalkan rinduku padamu."
"Sayang, bagaimana kandunganmu?"
"Kandunganku,.." Nurhayati mengghentikan ucapannya.
"Nur, apa yang terjadi?"
"Iya, kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Tiba-tiba diam lagi,"
"Tidak, aku hanya ingin memberitahu keadaan kandunganku baik dan bahkan ia lebih baik, insyaallah selalu dalam penjagaan Allah."
"Alhamdululillah, sudah dulu ya, aku akan siap-siap. Nanti kuhubungi lagi."
Furqon mematikan telepon, sementara Nurhayati terdiam sambil menangis. Ia bingung jika Furqon kembali, karena sampai saat ini Furqon belum diberitahu atas keguguran yang menimpanya.
Sementara, Furqon merasa ada yang aneh pada Nurhayati. Meski ia berkata baik-baik saja, ia merasa ada yang tidak baik. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh istrinya. Namun ia tidak mengetahui apa itu yang di sembunyikan, dan seberapa besar masalahnya.
"Aku harap semuanya baik-baik ssaja," gumam Furqon dalam hati.
***
Malam itu, Furqon bersiap-siap membawa barangnya. Dia ingin menemui Harun dan Inah, keluarga yang pernah menyelamatkannya ketika kecelakaan empat tahun yang lalu saat pendakian gunung. Saat sampai di rumah keduanya, dia tak mendapati dompetnya di saku celana. Barulah ia menyadari, bahwa dirinya dicopet pada saat perjalanan naik bis ke rumah Harun. Beruntungnya, dia tiket pesawat ada di dalam koper beserta barang dan berkas-berkas penting. Akan tetapi, sesampainya di sana Furqon mendapati rumah kecil dan sederhana itu berantakan.
"Bule, Pakle, ini ada apa? Kenapa semuanya berantakan? Siapa yang telah melakukan ini?"
Furqon penasaran saat masuk ke rumah Harun dan Inah, tampak seperti telah terjadi penjarahan. Furqon berpikir bahwa keduanya orang baik, baginya mustahil mereka berusan dengan penjahat.
"Mereka datang kembali,"
"Siapa?"
"Renternir itu."
"Baru saja Furqon ingin pamit kembali ke Jakarta, lalu apa yang mereka minta?"
"Mereka menginginkan Hanum."
"Bagaimana bisa?"
"Mereka mengancam, jika malam ini Pakle tidak membayar hutang maka Hanum harus diserahkan untuk diperistri Darwin."
Furqon hanya terdiam, dia menyesal tidak bisa membantu Harun. Bukan tidak memiliki uang, dompet beserta isinya sudah raib entah kapan hilangnya. Semua atm, ktp dan beberapa uang di sana tidak tersisa apa pun kecuali beberapa lembar rupiah di saku jaketnya.
"Maaf Pakle, Furqon tidak bisa membantu. Tadi siang Furqon kehilangan dompet, untung saja berkas dan ponsel ada di tas."
"Tidak apa-apa Fur, Pakle hanya bingung."
"Lalu, apa yang akan dilakukan Pakle?"
"Pakle tidak tahu Fur, tidak mungkin pakle membiarkan Hanum menikah dengan seorang renternir, dia anak Pakle satu-satunya. Orang tua mana yang ingin menghancurkan masa depan anaknya, padahal ini kesalahan kedua orang tuanya."
Harun kembali terdiam, kemudian menatap Furqon. Dia pikir, sekarang saatnya Harun meminta bantuan kepada Furqon. Permintaannya memang sangat sulit, tetapi ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Hanum dan menghindari fitnah.
"Fur, maukah kamu menolong Pakle?"
"Insyaallah, pakle. Jika Furqon bisa membantu, tentu saja akan Furqon lakukan."
"Nikahlah dengan Hanum, bawalah ia bersamamu. Pakle yakin dia aman bersama denganmu, sekarang tinggalkan kota ini dan menikahlah. Katakanlah pada wali hakim, Pakle melepas Hanum dan minta digantikan wali hakim."
"Tidak pakle, maafkan Furqon tidak bisa membantu perihal ini. Pakle tahu 'kan Furqon sudah menikah?"
"Jadikanlah Hanum istri keduamu, Pakle percaya padamu. Ini pasti berat, tapi Pakle mohon."
"Maaf Pakle, Furqon tidak bisa melakukannya. Furqon tidak bisa mengkhianati Nurhayati dengan pernikahan ini, maafkan Furqon untuk kali ini tidak bisa membantu Pakle."
Harun menjatuhkan tubuhnya di kaki Furqon, dia memohon agar Furqon mau membantunya dan menyelamatkan Hanum. Dia tidak peduli akan keselamatan dirinya, tetapi dia tidak akan membiarkan seseorang menyakiti anak gadisnya.
"Kali ini, Pakle mohon. Bukan Pakle ingin menagih balas budimu atas pertolongan Pakle empat tahun yang lalu, tapi Pakle hanya ingin menyelamatkan Hanum."
Furqon terdiam, dia masih belum memberikan jawaban. Hanum menyaksikan itu di balik pintu kamarnya. Hatinya hancur dan terisir menyaksikan ayahnya memohon kepada seseorang hanya untuk menyelamatkan dirinya. Sementar itu, Furqon mempertimbangkan banyak hal dan tentu saja perasaan Nurhayati akan sangat hancur jika harus menerima madu suaminya.
"Furqon, sebentar lagi mereka akan datang. Tolong bawalah Hanum bersamamu," desak Harun.
"Furqon akan membawa Hanum, tapi tidak berjanji akan menikahinya."
Harun mengizinkan Furqon dan Hanum pergi, dan mereka pun pergi meninggalkan rumah itu. Dalam kebimbangan, dia tetap melangkah membawa Hanum. Saat ini dia hanya ingin menyelamatkan Hanum, padahal dia sudah berjanji akan pulang malam ini.
Satu tiket tidak cukup untuk berangkat ke Jakarta, dompetnya hilang dan tidak ada simpanan lain selain uang lima puluh ribu di saku kemejanya. Uang ini akan digunakan untuk berangkat ke salah satu pesantren di Surabaya tempatnya dulu dirinya pernah mengaji. Hanum mengikutinya dari belakang, tanpa sepatah katapun dia tetap berjalan mengikuti langkah Furqon. Malam yang semakin sunyi, hanya lampu temaram menghiasi jalan. Mereka berhenti di stasiun kereta api.
"Kita akan kemana?" Hanum memberanikan diri untuk bertanya.
"Pesantren Al-Fatah," jawab Furqon singkat.
Kereta api pun berhenti, mereka naik. Keduanya mengambil posisi tempat duduk di sudut kanan kereta, mereka tetap diam tidak ada yang memulai pembicaraan. Furqon kembali putus asa mengingat Nurhayati, dia pasti sedang menunggunya dan khawatir dengannya.
Belum lagi, ponselnya mati karena changer tertinggal di hotel. Furqon memutuskan ke pesantren untuk meminta saran dari Kiayi Kholidi, gurunya sewaktu masih di pesantren. Tidak ada yang mengkhawatirkan baginya saat ini selain keadaan Nurhayati. Dia merasa ada yang tidak beres di Jakarta, dan merasakan Nurhayati menyembunyikan sesuatu darinya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Hanum membuka pembicaraan.
"Entahlah, yang jelas kita akan ke pesantren untuk sementara waktu."
"Kenapa tidak pulang saja ke Jakarta?"
"Bagaimana bisa pulang, uang saya hilang bersama dompetnya."
Sebetulnya, jika mau Furqon bisa saja membeli tiket pesawat. Akan tetapi, mobile banking tidak dibuka bersebab ponselnya mati. Dia juga tidak bisa membawa Hanum langsung ke rumah. Bukan hanya akan menimbulkan masalah bagi dirinya dengan Nurhayati, tetapi akan mendatangkan kemarahan bagi kakak ipar dan juga ibunya.
"Lantas?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Ikuti saja perjalanan, setelah sampai di sana saya baru mengambil keputusan. Saya tidak bisa berpikir panjang di sini, saya mengkhawatirkan istri di Jakarta."
"Maaf, saya tidak bermaksud untuk mendesak."
Mereka pun kembali membisu hingga kereta tiba di tempat tujuan. Sementara itu, di Jakarta. Nurhayati mulai mengemasi barangnya. Dia akan pulang ke rumah untuk menyambut kedatangan Furqon. Setelah selesai, dia duduk di sudut ranjang sambil menyandarkan tubuhnya ke bantal. Diambilnya ponsel dan mencoba menghubungi Furqon.
"Lho, kok tidak aktif? Hmm, mungkin sedang di pesawat. Baiklah, aku akan menunggunya saja,"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top