Kado Pernikahan

Dua tahun kemudian...

Mencintaimu adalah anugerah yang telah Allah hadirkan dalam hatiku

Bukan karena kecantikan dan kecerdasaanmu,

Aku mencintaimu karena Allah

Telah ku ikrarkan dalam akadku bahwa takkan ada wanita lain dalam hati

Kecuali kamu

Kamu.. wahai kekasihku, pendamping hidupku

Kamu yang selalu menemani hariku

Kamu yang menguatkan aku saat kehancuran menyelimutiku

Kekasihku.. duhai pendamping hidupku

Andai Engkau tahu, bahwa aku tak bisa memalingkan hatiku darimu

Bukan karena fisikmu, tapi kelembutanmu

Caramu menyikapi rumah tangga ini

Caramu menyikapi sikapku

Dalam amarahmu, ada ta'at yang tidak Engkau tinggalkan

Dalam diammu, aku tahu Engkau selalu mengkhawatirkanku

Duhai bidadariku..

Aku berharap, kelak Allah akan sandingkan kita di surga

Kelak, aku ingin mengecup keningmu di surga dan kita akan duduk di atas dipan-dipan yang terbuat dari emas

Aku mencintaimu, sungguh

Jangan Engkau ragukan lagi

Karena sesungguhnya cinta itu tanpa sebuah alasan

Ketahuilah sayang, bahwa cinta memang tanpa sebuah alasan

Jika engkau bertanya mengapa?

Aku pun tidak tahu jawabannya

Kesungguhan cinta ini jangan engkau ragukan lagi

Untukmu, kekasihku.. sahabat juangku Nurhayati Salsabilla

Dariku, sahabat juangmu Furqon Rasyid Al-Meer

Nurhayati kembali menutup notebook Furqon, ia hanya menebarkan senyuman termanis untuknya. Tanpa pernah diungkapkan, ia sangat mencintainya. Lelaki yang dua tahun lalu baru dikenalnya, lelaki yang dia datang menghalalkannya di tahun terberat saat dirinya kehilangan kedua orang tau.

Kini tidak terasa dua tahun sudah usia pernikahan mereka, pernikahan yang atas dasar keyakinan ini telah menemukan titik kenyamanan. Di tengah kejenuhan, ia yakin bahwa akan ada hal terbaik yang Allah kabarkan pada kehidupanya. Ketika kita ridho dengan ketetapan Allah, maka Allah pun ridho akan dirinya.

Meskipun memang, menikah bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Terkadang ada masa sulit yang enggan untuk di hadapinya. Bukan perkara siap dalam usia, tapi siap untuk mengarungi samudera pernikahan yang pasti akan ada badai menerjang. Pernikahan tidak sesulit yang dibayangkan juga tidak semudah yang dibayangkan, yang pasti harus siap menjalankannya.

Setelah kepergian Hasan, ayahnya Furqon dua tahun yang lalu. Furqon akhirnya memutuskan untuk melanjutkan bisnis batu bara ayahnya. Maka dari itu, Furqon memutuskan membeli sebuah rumah lantai dua di dekat perusahaan. Selain untuk mempermudah perjalanan, ia juga ingin memberikan fasilitas yang lebih baik untuk Nurhayati.

Selain rumah, ia juga membelikan mobil untuk Nurhayati agar mudah perjalanan ke rumah singgah. Mengingat keguguran yang pernah dialami Nurhayati, membuat Furqon berhati-hati dalam memerhatikan aktivitas istrinya. Terutama aktivitas Furqon yang lebih banyak di luar, bahkan ke luar kota untuk perjalanan bisnis.

Sudah setahun sejak Furqon memutuskan untuk melanjutkan bisnis ayahnya, keduanya hidup berkecukupan tidak lagi mengontrak rumah. Rumah yang dikontraknya pun dibeli, agar sesekali bisa berkunjung ke sana mengingat awal pernikahan.

Nurhayati pun sudah lebih baik dan bisa mengikhaskan kepergian calon anak pertamanya. Meski itu, hingga di tahun kedua pernikahan, mereka belum juga dikarunia anak. Mengingat kesibukan Furqon di luar rumah, memang ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar bahkan lintas pulau. Ia disibukan dengan bisnisnya, tak jarang jika ia pulang larut malam atau bahkan pagi hari.

Hari ini, setelah seminggu di Bandung, Furqon sengaja tidak masuk kerja tiga hari untuk istiraat dan mengahabiskan waktu dengan Nurhayati. Bagaiamana pun sibuknya, ia selalu merindukan rumah dan wanita yang selalu setia menunggunya di rumah.

"Sayang," tegur Furqon.

"Iya, Bang," ujar Nurhayati sambil membalikan tubuhnya.

"Kenapa masih berdiri di sana, ayo makanan sudah siap di bawah!" ajak Furqon.

"Aku akan turun, sebentar lagi."

Nurhayati segera membereskan notebook, kemudian ia turun ke lantai bawah. Pagi tadi Furqon meminta Nurhayati agar tidak masuk ke dapur, dia ingin memasak untuk istrinya. Sudah lama sekali dia tidak melakukan hal ini semenjak disibukan urusan kantor.

"Ada apa?" tanya Furqon heran.

"Tidak ada apa-apa, kenapa menatapku begitu?" jawab dan tanya Nurhayati.

"Senyumanmu berbeda, ada yang disembunyikan," ucap Furqon.

"Tidak ada, Bang. Sudah, makanlah! terima kasih sudah mau memasakkan makanan untuk aku," ucap Nurhayati mengalihkan suasana.

Furqon terlihat memasukkan makanan ke mulutnya perlahan. Dia seperti sedang menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal penting dengan istrinya. Mengingat dia baru saja pulang dinas, kabar ini tentu akan membuat Nurhayati terkejut.

"Baiklah! Nur, sebenarnya aku ingin bicara denganmu."

"Ada apa?" tanya Nurhayati.

"Sebetulnya aku ingin memberitahukan sesuatu," jawab Furqon.

"Iya, ada apa? Bicara saja." tanya Nurhayati.

"Besok, aku akan berangkat ke Surabaya," jawab Furqon setengah merendahkan suara.

"Urusan apa lagi? Apa pekerjaanmu sangat penting sampai lupa pulang?" tanya Nurhayati terdengar kecewa.

"Di sana ada pembangunan perusahaan baru, tolong jangan bicara begitu. Kamu tahu bukan saat ini aku memegang tanggung jawab berat," ujar Furqon.

"Kenapa harus secepat itu, baru saja tiga hari yang lalu pulang dari Bandung," ucap Nurhayati ketus.

Nurhayati hanya kecewa, dia ingin menghabiskan waktu bersama suami untuk waktu lama seperti yang sering dilakukan diawal pernikahan. Hanya saja, semenjak memegang perusahaan, Furqon hampir tidak ada waktu untuk istrinya dan sering kali membatalkan janji secara tiba-tiba.

"Ini urusan pekerjaan, sayang. Kamu juga tahu itu."

"Apa tidak bisa ditunda? Kamu sudah berkerja sangat keras, tidak ada lagi waktu untuk aku."

"Sayang, cobalah mengerti. Posisiku saat ini dengan saat awal menikah sudah berbeda, sayang."

"Kalau tidak bisa ditunda, silahkan pergi saja!"

"Aku janji secepatnya akan pulang, paling lama aku hanya dua minggu."

"Selama itu kamu bilang sebentar?"

Nurhayati menghentikan aktivitas makannya, dia menjadi tidak berselera makan tiba-tiba. Padahal sebelum ini, Furqon sudah berjanji akan banyak waktu untuk istrinya. Ternyata tidak, justru semakin hari Furqon semakin sibuk tak pernah menyempatkan waktu untuk sang istri meski untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka.

"Iya, aku akan pulang secepatnya sayang. Akan aku usahakan tidak terlalu lama."

Nurhayati tidak memberikan jawaban, dia berniat beranjak dari meja makan. Hanya saja tiba-tiba kepalanya terasa sakit, Nurhayati mencoba menahan pusing dikepalanya.

"Kamu kenapa?"

"Tidak, kepalaku hanya sedikit pusing."

"Kita ke rumah sakit, ya."

"Tidak perlu, aku hanya ingin istirahat saja."

"Tapi kamu belum makan."

"Aku akan makan nanti, aku tidak nafsu makan lagi."

"Tidak, makanlah sedikit."

Furqon menyuapkan makanan ke mulut Nurhayati, tapi dia memuntahkannya kembali. Dia tampak kesal atas sikap Nurhayati.

"Kamu kenapa? Setidaknya kalau marah tidak perlu memuntahkan makanan. Aku sudah siapkan makanan ini untuk kamu, tapi kamu tidak menghargainya."

"Aku mual, Bang. Lagi pula, kamu sudah membuat selera makanku hilang."

"Kalau begitu kita harus ke rumah sakit, kali ini tolong jangan menolak lagi."

Tanpa meminta persetujuan dari Nurhayati, segera Furqon membawa Nurhayati ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Furqon langsung menemui dokter Anton. Selama ini, dokter Anton yang selalu membantunya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Furqon penasaran.

"Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Fur. Justru ini kabar baik untukmu dan istrimu."

"Maksudmu apa?"

"Iya, jadi istrimu ini sebenarnya sedang hamil lagi. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketiga."

"Alhamdulillah, segala puji bagi Engkau ya Allah. Akhirnya aku dipercaya untuk menjadi seorang ayah, aku berharap kegagalan yang telah berlalu tidak terulang kembali."

"Amin, barakallah. Kalau begitu saya permisi dulu."

Sepeninggalnya dokter Anton, Furqon menghampiri Nurhayati. Dia tampak bahagia mendengar kabar ini.

"Ada apa lagi denganku, Bang?"

"Tidak apa-apa, sayang. Jangan khawatir, insyaallah ini merupakan karunia terbaik untuk ulang tahun pernikahan kita."

"Maksudmu?"

"Kata dokter, kamu sedang hamil, sayang."

Sepontan Nurhayati memeluk Furqon dengan wajah yang bahagia. Setelah setahun yang lalu mengalami keguguran, Nurhayati bahagia mendengar kabar kehamilannya.

Setelah pemeriksaan selesai, keduanya pulang ke rumah dengan hati yang bahagia atas kehamilan Nurhayati. Kabar yang ia nantikan dalam setahun terakhir ini setelah keguguran itu.

Malam harinya, saat langit terihat indah dengan kilau cahaya bintang, keduanya duduk di balkon rumah sambil memandang langit malam. Nurhayati duduk dipangkuan Furqon, dan Furqon memeluknya erat.

"Sayang, aku sangat bahagia hari ini," ucap Furqon sambil memainkan jemari tangan Nurhayati.

"Iya aku juga, setelah satu tahun menunggu akhirnya Allah mengabukan doa kita," jawab Nurhayati.

"Besok ketika aku berangkat ke Surabaya kamu jangan banyak keluar ya? Jaga kandunganmu."

"Baru saja aku mendapat kabar kehamilan, kamu masih membicara kepergianmu ke Surabaya," ujar Nurhayati kesal, seraya bangkit dan beranjak menjauh dari Furqon.

"Aku sudah berusaha mencari orang untuk menggantikanku, tapi tidak ada. Di kantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, sedangkan urusan ke Surabaya tidak bisa dibatalkan," ucap Furqon sambil mengejar Nurhayati.

"Terserah! Aku tidak perduli," jawab Nurhayati sambil masuk ke dalam kamar.

"Apa karena sedang hamil kamu seegois itu?" tanya Furqon sedikit kecewa dengan sikap Nurhayati.

"Meskipun tidak diungkapkan, bisakah kamu sedikit perduli terhadap keadaan. Dalam keadaan hamil kamu meninggalkan aku, tidak adakah sedikit rasa khawatir padaku?"

"Kumohon mengertilah!" Furqon berusaha meyakinkan

"Aku ingin istirahat, tolong jangan mengganggu."

Nurhayati membaringan badannya ke tempat tidur, sementara Furqon meninggalkannya ke ruang tamu. Saat pintu kamar tertutup, Nurhayati tak mampu menahan tangisannya. Ia memahami bahwa suaminya sekarang telah menjadi seorang pengusaha. Akan tetapi ia khawatir dengan kepergian suaminya.

Ia khawatir ada wanita lain di sana yang memikat hatinya, sejatinya Nurhayati seorang pecemburu. Sesungguhnya, ia pun sama dengan wanita lain, yang meskipun ia percaya tapi rasa takut dan cemburu selalu mengahantuinya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top