Bertemu Teman Lama
Nurhayati kemudian bangun dari tempat tidur dan bergegas mengemasi barang-barang yang harus dibawa Furqon sampai ia tertidur hingga jam tiga dini hari. Saat terbangun, ia kemudian bergegas mengambil air wudhu dilanjutkan melakukan shalat malam beberapa rakaat. Setelah kamar sudah rapi, Nurhayati turun ke ruang tamu, ia membangunkan Furqon yang masih tertidur dengan laptop yang masih menyala.
"Bang, Bang Furqon!"
"Hmm," suaranya terdengar sedikit parau, ia masih mengantuk.
"Bang, sudah pukul setengah empat, kamu tidak qiamullail?"
"Iya, sebentar lagi, aku masih ngantuk."
"Sampai jam berapa? Sampai adzan subuh berkumandang?"
"Masih ada waktu, aku ngantuk."
"Aku sudah membangunkanmu, jangan salahkan aku kalau nanti kesiangan. Kamu berangkat jam berapa? Nanti ketinggalan pesawat."
"Berangkat?" sepontan Furqon terbangun.
"Ya, tunggu apalagi?"
Kali ini ia tidak menjawab, melainkan bergegas mengambil air wudhu. Setelah selesai shalat, ia baru menyadari barang-barangnya sudah dikemasi Nurhayati. Ia bergegas turun ke lantai bawah, dan didapatinya Nurhayati sedang melanjutkan murajaah hafalannya.
"Nur," panggil Furqon seraya menghampiri istirnya.
"Iya, ada apa?"
"Kenapa barangku dikemasi?"
"Istri macam apa aku, jika suaminya pergi dibiarkan begitu saja mengurusi keperluannya. Seharusnya ada perbedaan antara sebelum dan setelah menikah, bukankah begitu?"
"Iya, tapi aku berniat akan membatalkan kepergianku."
"Tidak, aku harap kamu tidak melakukan itu. Perihal tadi malam, jangan pikirkan ucapanku. Aku hanya sedang kesal saja, aku tidak sungguh mengatakannya."
Furqon merasa bersalah kepada istrinya. Meskipun Nurhayati meminta Furqon untuk tidak memikirkan ucapan sang istri, tentu dia menyadari bahwa istrinya memang benar-benar kecewa padanya.
"Bagaimana aku akan meninggalkan istriku yang sedang hamil?"
"Allah yang menjagaku, tidak ada alasan bagiku untuk menghalangimu."
"Tidak, aku tidak bisa berangkat."
"Dengar, semalam aku hanya sedang emosi. Aku tidak marah dan tidak bermaksud menghalangimu, aku hanya takut dan khawatir padamu."
"Kamu yakin mengizinkan aku pergi"
"Bismillah, aku tidak memiliki alasan untuk melarangmu."
***
Keesokan paginya, setelah sarapan pagi Nurhayati mengantar Furqon sampai bandara Soekarno-Hatta. Ia tidak ingin melewatkan keberangkatan suaminya, meski berat hati, ia harus membiarkan suaminya pergi. Baginya perkerjaan suaminya sangat penting daripada egonya.
"Hari ini mau ke mana?" tanya Furqon.
"Mengisi acara seminar pranikah di kampus," jawab Nurhayati.
"Selain itu?" Furqon kembali bertanya.
"Ke rumah singgah," jawab Nurhayati singkat.
"Baiklah, hati-hati. Kalau tidak ada hal yang lebih penting, segera pulang."
"Iya, baiklah."
"Aku berangkat dulu, jangan lupa kabari aku kalau ada apa-apa."
"Iya, Bang. Semoga selamat sampai tujuan."
Furqon mengecup kening Nurhayati dan Nurhayati mencium tangan Furqon, mereka berpisah di bandara Soekarno Hatta.
Pagi itu, langit nampak begitu cerah. Suasana aula fakultas Adab dipadati oleh peserta seminar, Nurhayati berdiri di antara mereka sebagai seorang pembicara. Peserta sangat antusias mendengarkan pernyataan dan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Nurhayati. Setelah acara selesai, Nurhayati meninggalkan ruangan. Akan tetapi, para peserta seminar tidak ingin melewatkan moment untuk berfoto dan meminta tanda tangan dari Nurhayati. Mereka memadati pintu aula, setelah selesai Nurhayati berpamitan pulang.
"Nur, bagaimana kabarmu?" tanya Airin, teman masa kuliahnya yang sekarang masih sibuk dengan pekerjaan sebagai Asisten Dosen di kampus tempat mereka kuliah.
"Baik, bagaimana denganmu?" jawab Nurhayati ramah.
"Alhamdulillah baik, suamimu masih buka restoran dan toko buku?"
"Iya, sayang sekali kalau ditinggalkan."
"Hmm, tapi hasilnya tidak sebanyak di perusahaan, Nur."
"Aku tahu, tapi biarkan saja. Keduanya sudah dirintis dari nol oleh suami, jadi tidak ada alasan untukku menghentikannya."
Airin tampak memerhatikan sekitar kampus, berharap dia melihat sosok Furqon di sana. Seperti sebelumnya, Furqon selalu menemani ke manapun Nurhayati pergi. Akan tetapi, semua itu tidak lagi setelah Furqon sibuk di kantor.
"Sekarang, di mana suamimu?"
"Baru tadi pagi aku antar ke bandara, beliau berangkat ke Surabaya."
"Hmmm, kamu percaya melepaskan kepergiannya?"
"Insyaallah, saya percaya padanya."
"Apa kamu tidak takut dengan hal yang tidak diinginkan?"
"Saya berdoa untuk kebaikannya, semoga Allah menjaganya. Ngomong-ngomong, aku tidak pernah melihatmu bersama suamimu. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu, bagaimana dengannya?"
Airin terdiam, teman-temannya hanya tahu bahwa selama ini Airin sudah menikah. Hanya saja, semenjak menikah dia sudah tidak aktif di berbagai kegiatan. Baru kali ini Nurhayati bertemu lagi dengan Airin.
"Rin, kamu baik-baik saja?"
"Hmm, ya. Semuanya baik-baik saja," jawabnya sedikit ragu.
"Kalau mau cerita, ceritakan saja. Sewaktu kuliah, kamu selalu berbagi cerita denganku. Akan tetapi, jika kamu tidak ingin bercerita juga tidak apa-apa."
"Sebetulnya, aku sudah tidak lagi bersama mas Andri."
"Maksudmu?"
"Kami sudah bercerai enam bulan yang lalu."
"Lho! Kenapa?"
"Aku tidak bisa menerima pernikahannya, sebagaimana pun aku dapat memaafkan seseorang. Akan tetapi, aku tidak bisa memaafkannya yang telah membohongiku."
"Andri menikah lagi?"
"Iya, orang tuanya menjodohkan dia dengan wanita lain."
"Alasannya apa?"
"Karena aku belum juga mendapatkan keturunan, orang tuanya memaksakan dia untuk menikah dengan wanita yang bisa melanjutkan keturunannya. Wanita mana yang ingin diduakan, Nur."
Airin tidak kuasa lagi menahan tangis, Nurhayati mendekapnya dan menenangkannya. Dia memahami betapa terlukanya Airin saat ini, pernikahan impianya harus hancur oleh mertua sendiri.
"Insyaallah, akan Allah gantikan dengan yang lebih baik lagi."
"Yang lebih menyakitkan lagi, mas Andri membohongiku. Dia izin pergi untuk urusan pekerjaan, kenyataannya dia kembali ternyata datang bersama seorang wanita yang sudah dinikahinya. Aku tidak terima dengan pengkhianatannya, maka dari itu aku meminta cerai darinya. Awalnya dia berusaha meyakinkanku untuk tetap mempertahan rumah tangga ini, tapi..." Airin menghentikan ucapannya.
"Tapi kenapa?"
"Tapi akhirnya, dia memutuskan perceraian itu. Lagi-lagi ini karena orang tuanya."
***
"Kalau Airin meminta cerai, itu bagus. Artinya, tidak alasan untuk menyakitinya. Bukankah menikahi Nayla kamu anggap menyakitinya? Sudahlah, ceraikan saja. Justru itu yang ibu harapkan, tidak ada gunanya dia ada di rumah ini."
"Tapi aku masih mencintainya, Ibu. Nayla tidak bisa menggantikan posisi Airin dalam hatiku."
"Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu."
"Tidak semudah itu."
"Menceraikannya tidak akan merugikanmu, ceraikan dia atau Ibu akan mengusirnya dari rumah ini dan membiarkan dia terlantar. Ibu tidak akan membiarkanmu menemuinya, begitupun dengannya. Mana yang lebih menyakitkan."
"Baiklah, Andri akan menceraikan Airin."
Sejak hari ini, Airin tidak lagi bersama Andri. Ia memutuskan untuk meninggalkan semua kenangan tentang Andri, dan menerima tawaran sebagai Asisten Dosen di kampus tempatnya kuliah.
"Aku mengerti kesedihanmu, betapa bodohnya dia yang meninggalkanmu."
"Beruntungnya kamu memiliki Furqon, yang meskipun belum juga dikarunia seorang anak dia tetap mempertahankanmu dan mencintaimu dengan penuh kasih sayang."
"Ini rahasia Allah, Rin. Aku berharap akan seperti ini selamanya. Kamu pasti bisa melanjutkan hidupmu meski tanpa dirinya, buktikan padanya bahwa kamu adalah wanita terbaik yang tidak bisa digantikan oleh siapapun."
"Kamu memang tidak pernah berubah, Nur. Terima kasih."
"Tidak perlu, baiklah aku tidak bisa berlama-lama di sini."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Nurhayati tersenyum saat meninggalkan Airin. Dia menaiki mobilnya, dan bergegas menancap gas. Di tengah perjalanan, Nurhayati merasakan sakit di kepalanya dan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Dia menghentikan mesin mobil ketika darah menetes dari hidungnya. Nurhayati kembali melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
"Sebetulnya aku kenapa?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top