Bab 11
Budayakan vote dan komen setelah membaca👌
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Aldo turun dari mobilnya dengan menenteng paperbag warna marun. Di dalam paperbag itu ada krengsengan belut hasil masakannya dan puding pisang hasil kolaborasinya dengan mamanya. Ini adalah rencana awalnya dalam mengambil hati orang tua Asoka. Dia berharap dia mendapat sambutan baik dari mereka.
Aldo merapikan penampilannya. Melihat ke kaca spion sejenak sambil membenarkan rambutnya. Setelah dia rasa cukup rapi dan sopan, dia melangkahkan kakinya ke teras rumah Asoka. Tangannya mengetuk pintu kayu itu dengan pelan. Hatinya merasa sedikit berdebar karena akan bertemu calon mertuanya. Ya, dia harap dia benar-benar menjadi menantu di keluarga ini.
Pintu terbuka dengan pelan. Menapilkan perempuan paruh baya. Walaupun diwajahnya sudah terlihat guratan keriput, namun tak mengurangi pesona kecantikannya. Pantas saja Asoka begitu cantik dan manis, mungkin karena turunan dari ibunya.
"Assalamualaikum, Bu." Sapa Aldo sambil mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan perempuan itu.
"Waalaikumsalam." Jawab Eni datar. Dia tidak menolak uluran tangan dari Aldo. Walaupun dia tak menyukai Aldo namun dia tak bisa bersikap kasar terhadapnya.
"Silakan masuk." Kata Eni sambil membuka pintu lebih lebar. Dia mempersilakan tamunya untuk masuk ke kediamannya.
Aldo mengangguk sopan menanggapi ucapan Eni. Dia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah yang masih kental dengan suasana jawa itu. Dia mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang ada di ruang tamu.
"Niki, Bu. Kulo mbeto cemilan kangge ibu kaleh bapak." Kata Aldo sopan sambil menyerahkan paperbag hitamnya. (Ini Bu. Saya bawakan camilan untuk ibu dan bapak.)
Eni melihat paperbag itu. Dia tersenyum sekilas sambil menerima paperbag dari kekasih anaknya itu.
"Matur suwun. Sok maneh gak usah nggowo ngene ki." Jawab Eni pelan. (Terima kasih. Besok lagi tidak perlu membawa seperti ini.)
"Nek ape dolan yo monggo, tapi gak usah repot-repot nggowo gawan." Lanjutnya. (Kalau mau main ya silakan, tapi tidak perlu repot-repot bawa buah tangan.)
"Mboten repot kok, Bu. Niku kulo kiyambak sing ndamel." Jawab Aldo sambil tersenyum sumringah. Dia merasa bahagia karena masakannya tidak ditolak. (Tidak repot kok, Bu. Itu saya sendiri yang buat.)
"Terima kasih ya." Kata Eni dengan senyumnya.
Asoka turun dari lantai atas. Piyama berbahan satinnya begitu pas ditubuhnya, seakan-akan piyama itu memang khusus dibuat untuknya. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Dengan cepat dia menuruni tangga agar cepat sampai di dekat Aldo.
"Nopo niku, Buk?" Tanya Asoka penasaran dengan paperbag yang dibawa oleh ibunya. (Apa itu, Buk?)
"Oleh-oleh soko nak Aldo." (Oleh-oleh dari Nak Aldo.)
Asoka membulatkan mulutnya sebagai jawaban. Dia menatap Aldo dengan tersenyum. Ternyata benar ala yang Aldo katakan kemarin, kalau dia akan membuatkan masakan untuk orang tuanya.
"Ibu ke belakang dulu ya." Kata Eni meninggalkan Asoka dan Aldo di ruang tamu.
"Enggih, Bu monggo." Kata Aldo sopan. Sedangkan Asoka hanya menganggukkan kepalanya. (Iya, Bu silakan.)
Aldo kembali duduk di kursi kayu itu. Asoka ikut duduk di samping Aldo. Dia menatap manik mata Aldo dengan lekat. Ada segaris senyum yang terlukis dibibirnya. Aldo ikut menatap Asoka dengan lekat. Di hadapannya kini ada bidadari cantik yang sayang banget jika tidak dipandang.
"Aku pikir kamu bohong." Kata Asoka pelan.
"Soal apa?" Tanya Aldo bingung.
"Soal kamu yang mau masak untuk ibu dan bapakku." Jawab Asoka mengingatkan ucapan mereka kemarin.
Aldo tersenyum lebar. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku kan sudah bilang kalau akau akan melakukan apapun demi mendapatkan restu dari keluarga kamu." Jawab Aldo lembut.
"Kamu semangat ya. Aku juga membujuk ibu dan bapak dan juga Mas Bagas agar mereka merestui hubungan kita." Kata Asoka sambil menggenggam tangan Aldo. Dia tak ingin Aldo cepat menyerah saat usahanya tidak ada kemajuan.
Aldo mengangguk dengan cepat. Sedikit pun dia tidak pernah berpikir untuk menyerah. Yang ada dia malah semangat jika hari ini belum berhasil. Dalam hatinya dia selalu menghibut diri dengan menganggap jika setiap usaha yang dia lakukan bisa buat cerita pada anak cucunya nanti.
Suasana menjadi hening. Antara Asoka maupun Aldo tidak ada yang mengeluarkan suara. Rasanya dia masih merasa canggung untuk bercerita dengan Asoka saat ada orang tua Asoka di dekat mereka. Aldo menggaruk keningnya yang sebenarnya tidak gatal. Hanya saja itu sebagai reaksi kebingungannya.
"Emm ... Kamu nggak pengen keluar?" Tanya Aldo pelan.
"Kemana?" Tanya Asoka balik. Pasalnya dia memang sedang tidak ingin kemana-mana.
"Kemana saja." Jawab Aldo asal.
Asoka tampak berpikir sejenak. Aldo memandang Asoka dengan lekat seakan-akan sedang mengirimkan apa yang dia pikirkan ke pikiran Asoka. Asoka mematap Aldo yang nampak gelisah hingga dia tahu apa yang dirasakan oleh Aldo.
"Kamu izin sama orang tua aku." Kata Asoka pelan.
Aldo tersenyum dan mengangguk dengan semangat. Dia bangkit dari duduknya dan menuju ruang tengah yang saat ini ada ibu dan bapak Asoka. Orang tua Asoka nampak asik menonton acara lawak yang disiarkan oleh salah satu televisi nasioanal. Di hadapan mereka ada sepiring pudding yang sudah dipotong kecil-kecil. Pudding yang tadi dibawa oleh Aldo.
"Nuwun sewu, Pak." Kata Aldo pelan. (Permisi, Pak.)
Eni dan Ratno menoleh ke arah Aldo. Mereka menatap Aldo dengan pandangan bertanya. Hingga akhirnya Ratno mengangguk pelan.
"Badhe nyuwun izin ngajak Asoka medal." Kata Aldo sopan. (Mau minta izin mau mengajak Asoka keluar.)
Ratno memandang jam dinding yang dia pasang di atas televisi. Berpikir sejenak hingga akhirnya memandang Aldo lagi.
"Jam delapan harus sudah sampai di rumah lagi." Jawab Ratno tegas.
Seketika Aldo dan Asoka menatap jam dinding. Jarum panjang menunjuk angka enam dan jarum pendek berada ditengah-tengah angka tujuh dan delapan. Aldo memandang Asoka dengan pandangan sayu begitu juga dengan Asoka.
"Pak, sekarang sudah setengah delapan sedangkan Asoka juga belum siap-siap, yang ada nanti baru sampai depan kompleks balik lagi." Kata Asoka protes. Bagaimana bisa bapaknya memberi waktu yang begitu mepet untuknya dan Aldo pergi kencan.
"Kalau mau silakan pergi mumpung masih ada waktu setengah jam, kalau nggak mau di rumah saja tapi jam sembilan nak Aldo harus sudah pulang. Nggak baik nerima tamu laki-laki sampai malam." Jawab Ratno santai.
"Nanti jadi omongan tetangga." Tambah Eni.
Asoka memanyunkan bibirnya mendengar pernyataan dari kedua ornag tuanya. Aldo mengelus pundak Asoka lembut untuk membuat Asoka lebih tenang. Dalam hati, Aldo juga merasa sedikit jengkel dengan apa yang dikatakan oleh orang tua Asoka namun dia tidak bisa membantah. Yang ada nanti malah rumit, malah membuatnya sulit untuk mendapatkan restu dari keluarga Asoka.
"Iya, Pak. Saya main di rumah saja." Kata Aldo sopan. Dia menggandeng tangan Asoka untuk kembali ke ruang tamu.
"Kamu duduk dulu. Aku mau buatkan kopi untuk kamu." Kata Asoka lembut.
Asoka beranjak menjauh dari Aldo. Dia melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membuatkan kopi dan menyiapkan camilan untuk Aldo. Tak pantas rasanya jika tidak memberi suguhan apapun kepada orang yang sedang bertamu.
Asoka memasukkan empat sendok makan kopi ke dalam cangkir, kemudian menambahkan sesendok gula. Menuangkan sedikit air panas dan menambahkan sedikit air dingin agar kopi itu menjadi hangat. Mengaduk-aduk sebentar kemudian menaruhnya ke atas nampan. Asoka membuka lemari makanan dan mengambil kue lapis legit dari kakak iparnya. Menatanya di piring dan meletakkan piring itu ke nampan. Setelah itu dia menghampiri Aldo lagi dengan berjalan pelan, takut jika kopinya akan tumpah.
Asoka meletakkan secangkir kopi di depan Aldo, kemudian disusul sepiring kue lapis. Setelah itu dia duduk di samping Aldo dan menyimpan nampan itu di bawah meja.
"Silakan dicicipi, Mas." Kata Asoka lembut.
Aldo mengambil cangkir kopi itu dan menyeruputnya. Seketika dia mengerutkan keningnya setelah kopi itu masuk ke dalam mulutnya. Kopi ini lebih pahit dari yang biasa dia minum, padahal dia menyukai kopi pahit hingga membuatnya tak meneruskan minum. Aldo cepat-cepat meletakkan kopi itu lagi.
Asoka melihat ekspresi aneh dari Aldo membuatnya heran. "Kenapa? Kopinya nggak enak ya?" Tanya Asoka penasaran.
"Enak kok, cuma sedikit pahit saja." Jawab Aldo pelan.
"Oh biar aku tambah gula lagi." Kata Asoka.
"Nggak perlu."
"Atau aku buatkan yang baru lagi?" Tanya Asoka.
"Tidak usah. Aku minum yang ini saja." Jawab Aldo sambil mengambil cangkir kopi itu. "Nggak perlu nambah gula lagi, cukup minum sambil lihatin kamu udah manis kok." Kata Aldo sambil menyeruput kopi itu sedikit, dan lagi-lagi dia mengerutkan keningnya namun tetap berusaha tersenyum.
Asoka tersenyum malu mendengar ucapan Aldo. Dia memegang kedua pipinya yang terasa panas. Dia yakin saat ini pipinya pasti memerah seperti darah. Dan dia akan semakin malu jika Aldo tahu dia sedang blushing.
Aldo terkekeh pelan melihat tingkah Asoka. Dia semakin gemas dan membuatnya mencubit pipi Asoka yang memerah. Hingga terdengar suara deheman dari ruang keluarga yang membuat Aldo melepaskan cubitannya dari pipi Asoka. Mereka yang menyadari deheman itu membuat Asoka dan Aldo menjaga jarak duduknya.
***
Aldo sudah siap dengan training hitam dan kaos oblong birunya. Sepatu olahraga sudah membalut kakinya. Handuk kecil dia kalungkan di lehernya. Setelah lebih dari dua bulan Aldo tidak berolahraga, kini Aldo akan olahraga lagi. Dna olahraganya kali ini bersama ayah Asoka.
Aldo menunggu Ratno di depan rumah. Tangannya dia gerak-gerakkan sebagai pemanasan. Setelah kemarin berjanji akan menemani Ratno bermain bulu tangkis, kini dia memenuhi janjinya. Walaupun dia lebih menyukai bermain sepak bola tapi demi mengambil hati calon mertuanya dia rela melakukan hal itu. Lagi pula bulu tangkis juga tak kalah seru dari sepak bola.
Ratno keluar dari rumah dengan handuk ditangannya. Dia mendekati Aldo yang tidak sadar jika dia sudah keluar rumah. Tangannya menepuk bahu Aldo pelan untuk mengajak Aldo segera jalan.
"Tunggu sebentar, Pak." Kata Aldo sopan.
Aldo membuka pintu mobilnya. Dia mengeluarkan tas yang berisi raket dan kok. Dia sudah bilang jika dia yang akan menyiapkan peralatan bulu tangkis mereka, dan Aldo benar-benar telah menyiapkan semuanya. Aldo benar-benar antusias dan semangat kali ini. Tak lain dan tak bukan dia melakukan ini karena ingin dekat dengan ayah Asoka dan juga ingin mengambil hati ayah Asoka.
Aldo menyusul Ratno yang sudah mulai berlari. Sesekali tangannya membenarkan tas yang merosot dari pundaknya. Dia mencoba menyamakan dengan Ratno. Kerepotannya membawa tas raket itu membuat Aldo lambat untuk lari.
Setelah tiga kali berlari memutari taman kompleks. Kini Aldo dan Ratno meneguk air dingin yang Aldo beli dari pedagang asongan yang keliling taman. Baik Aldo maupun Ratno sedang mengatur nafas mereka.
"Pada istirahat di sini rupanya." Kata Asoka ketika dia sampai di hadapan bapak dan kekasihnya itu.
"Mau minum?" Tanya Ratno sambil menyodorkan gelas minumnya kepada anak gadisnya itu.
"Udah bawa." Jawab Asoka sambil menunjukkan botol minumnya yang dia bawa dari rumah.
Aldo tertawa kecil melihat Asoka yang menunjukkan botol minum berbentuk hello kitty itu. Semua perlengkapan yang dimiliki oleh Asoka banyak yang berwarna pink dan bercorak hello kitty.
"Ayo kita main bulu tangkis." Kata Ratno sambil menepuk pundak Aldo.
"Oh ayo, Pak." Jawab Aldo semangat.
"Biar Asoka yang jadi wasitnya." Kata Asoka menawarkan diri.
"Harus jujur nggak boleh memihak salah satu." Kata Ratno mengingatkan.
"Pastilah Oka jujur. Yang main kan dua orang lelaki yang sama-sama Oka sayang, jadi Oka nggak bakal berat sebelah." Jawab Asoka.
"Iya deh." Jawab Aldo dan Ratno bebarengan.
Ketiga orang itu berjalan beriringan menuju lapangan yang ada di samping taman kompleks. Lapangan terlihat lebih sepi dibanding dengan taman. Hanya ada dua anak yang sedang bermain basket. Aldo dan Ratno menuju lapangan bulu tangkis yang saat ini sedang sepi.
Asoka duduk di tempat wasit. Dia meniup peluit sebagai tanda bahwa permainan dimulai. Terlihat sekali jika kedua laki-laki berbeda generasi tersebut sama-sama hebat dalam memainkan raketnya. Dan namanya permainan pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Kali ini Aldo kalah dari Ratno, bukan sepenuhnya kalah namun memang mengalah. Dia merasa segan jika menang dari calon mertuanya itu.
================================
Bojonegoro, 11 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top