BeHa | Tigabelas

"Makasih ya Mbak untuk ilmunya dua bulan ini." Gifta menyalami dan tak lupa cipika-cipiki dengan Mbak Ine.

"Sama-sama, Gi. Dan selamat juga, dua bulan ini kamu berhasil merahasiakan statusmu sama orang-orang di sini. Dan aku nggak sabar ingin melihat wajah kaget mereka saat kamu ke sini lagi bukan sebagai mantan anak magang." Bisik Mbak Ine.

Gifta tersenyum mendengar ucapan Mbak Ine. Lalu balas berbisik, "Dendam hanya bikin hati panas Mbak."

"Baik banget sih buk bos aku ini." Puji Mbak Ine disertai pelukan.

Gifta geleng-geleng kepala  mendengar  pujian Mbak Ine lalu membalas pelukan Mbak Ine. "Dendam itu penyakit yang dicari-cari. Dan aku nggak mau mengundang penyakit untuk diriku sendiri. Biaya berobat mahal coy!" Ucap Gifta disertai tawa.

"Benar-benar." Mbak Ine mengiyakan ucapan Gifta.

Penyakit datang tanpa diminta jadi tak perlu mencari-cari penyakit dengan memupuk dendam di hati. Biarkan orang-orang dengan pikiran negatifnya cukup tunjukkan kualitas diri guna membungkam orang-orang yang suka meremehkan kita.

"Ya udah aku pamit ya Mbak." Pamit Gifta pada Mbak Ine.

Mbak Ine menjadi orang terakhir yang Gifta salami di divisi ini. Tadi dia sudah berpamitan dengan semua orang diruangan, tempat dia mencari ilmu baru selama dua bulan ini.

Tak terasa dua bulan telah berlalu. Status Gifta sebagai anak magang di Nusantara technologi akhirnya  berakhir juga. Banyak pengalaman yang Gifta dapat selama dua bulan ini yang belum tentu Gifta dapatkan di kampus. Dan Gifta sangat berterimakasih pada orang-orang yang sadar maupun tidak sadar sudah memberikan pengalaman itu padanya.

Gifta melangkahkan kakinya menuju lift yang sepi. Karena ini last day nya di NT,  Gifta mendapat kelonggaran waktu, yang mana biasanya dia meninggalkan mejanya pukul 5 tepat, maka untuk hari ini, dia bisa turun lebih cepat 15 menit.

Di mana akan digunakannya untuk berfoto-foto di depan gedung NT  bersama tiga orang teman satu universitasnya. Dan sesuai janji, mereka akan bertemu di lobi gedung satu.

"Gue berharap bisa bekerja di sini nanti." Ucap Tina, salah seorang teman Gifta setelah sesi foto-foto mereka.

Sekarang mereka berempat tengah duduk di bangku taman yang ada di depan gedung NT.

"Gue juga." Nita, teman Gifta yang lain menyetujui.

"Kita berempat berharap bisa kembali ke sini, bukan?" Tanya Gifta. 

Gifta pernah memimpinkan berkerja di NT.

"Yap," sahut Tina, Sasa dan Nita kompak.

"Walaupun dunia kerja tak seperti yang gue bayangkan tapi berdasarkan  pengamatan gue selama dua bulan ini, apa yang dikerjakan sebanding dengan recehan yang mengalir ke rekening. Loadnya emang gede, tapi gajinya juga gede. Besar banget cuy!!" Sasa berbinar ketika membicarakan gaji. Seolah gaji besar itu sudah ada di rekeningnya.

"Darimana Lo tau gaji orang orang di sini gede?" Gifta tertarik dengan ucapan Sasa. Walaupun dia bersuamikan orang NT, tapi dia tak pernah mencaritahu besaran gaji karyawan NT.

"Gue denger seniornya cerita. Lagian ini NT loh, Gi. Inceran para pencari kerja. Terkenal dengan gajinya yang besar. Ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang bikin sejahtera. Kerja di sini terjamin lah pokoknya." Beritahu Sasa. Matanya memandang gedung NT yang ada di depan mereka.

"Tapi susah masuk sini kabarnya." Tina ikut menatap gedung NT. Sekarang sudah jam pulang kantor, sudah banyak karyawan yang berkeliaran di halaman NT.

"IP yang masuk sini minimal 3.5 kabarnya."

"Gue sempet nanya-nanya gitu sama senior di sini, IP mungkin jadi pertimbangan tapi yang lebih penting itu CV Lo harus memuaskan." Beritahu Tina.

"Lah kita kan fresh graduate mana ada pengalaman kerja." Ucap Nita.

"Magang di sini kan sudah termasuk pengalaman, perusahaan bonafit kan? Trus bisa ditambah dengan pengalaman organisasi, exchange ke LN, seminar atau conference, ya pokoknya sebelum yudisium lengkapin dulu CV nya biar ntar pas ngelamar perusahaan amazed liatnya." Terang Tina.

"Gue sih exchange pernah ke Thailand semester empat kemarin." Lanjut Tina.

"Gue seminar doang sama. Apa habis ini gue exchange biar CV gue keren." Nita melihat ke sampingnya tempat Tina duduk.

"Nggak harus semua juga kali. Yang penting selama kuliah Lo nggak jadi mahasiswa pasif aja. Cuma ngampus- rumah aja. Tapi ya rezeki nggak ada yang tau sih. Yang penting selagi ada kesempatan manfaatkan sebaiknya. Exchange atau conference kan gratis, ya Lo modal jajan aja."

"Pengen ikan besar Lo musti punya umpan yang besar juga. Mau kerja di perusahaan kayak NT, ya Lo jangan kasih celah perusahaan  buat nolak Lo. CV musti wow biar mereka nggak perlu mikir dua kali buat nerima Lo." Ucap Sasa yang langsung disetujui oleh Gifta dan dua orang temannya yang lain.

***

"Gimana pamitannya tadi? Ada acara mewek-meweknya nggak?"

Setelah berpisah dengan ketiga temannya tadi —dengan alasan harus ke toilet— Gifta kembali ke dalam gedung NT. Menunggu sesaat hingga Febe mengirimkan pesan kalau dia sudah ada di lobi.

"Ngapain mewek?" Gifta bertanya heran.

"Ya, kan, cewek gitu. Emosional."

Kalau seniornya seru mungkin Gifta sedikit akan merasa sedih, tapi, ya, seniornya di sana nggak begitu. Kecuali Mbak Ine tentunya.

"Nggak. Kan masih bisa ketemuan di luar."

Gifta dan Mbak Ine memang membuat janji untuk tetap saling kontak dan meet up sesekali.

"Kalau temen kamu?" Febe tahu ada tiga orang teman dari fakultas Gifta yang magang di tempatnya.

Gifta mengangkat bahu, "Nggak tahu." Jawabnya kemudian.

Gifta memang tidak tahu dan lupa mencaritahu, apakah ke tiga temannya tadi, yang berada di gedung yang berbeda dengannya mengucurkan airmata ketika berpamitan dengan seniornya.

"Eh, kan, ada yang satu gedung sama kamu." Gifta ingat kalau Sasa dan Tina ditempatkan di gedung yang sama dengan Febe.

Febe mengangkat bahunya, "Nggak ngurusin yang kayak gitu aku."

Jawaban Febe membuat Gifta menepuk lengannya, "Ngeselin banget sih jawabannya." Nyebelin nggak sih kalau dapat jawaban model Febe gitu.

Febe terkekeh. "Ya, aku mana perhatiin anak magang. Lagian, aku tadi meeting sama papi di gedung satu, masa kamu nggak tahu?"

Sehabis makan siang tadi Febe memang meeting dengan para petinggi NT di gedung satu, gedung yang sama tempat Gifta menghabiskan dua bulan masa magangnya.

"Anak magang mana ngurusin meeting para bos."

"Anak magangnya sombong sih, bos-nya kan tadi chat." Balas Febe.

Bibir Gifta mengerucut, "Kamu cuma bilang mau meeting. Nggak bilang sampai sore dan di gedung satu." Jelas Gifta.

"Masa sih?" Tanya Febe tak yakin.

"He eh." Kepala Gifta mengangguk meyakinkan ucapannya.

"Meeting kan biasanya di gedung satu Gi." Beritahu Febe. Biasanya kalau meeting besar memang dilakukan di gedung satu. Tempat para petinggi berkantor.

"Aku kira kan meeting produksi." Febe pernah bilang kalau meeting produksi biasa dilakukan di gedung tiga bersama para chief masing-masing departemen. Beda lagi kalau meeting besar itu dilakukan di gedung satu bersama para direktur. Biasanya membahas masalah yang menyangkut semua divisi.

"Aku nggak ngasih tau ya?"

Gifta mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Febe.

"Maaf ya istrinya bos." Kekeh Febe. Satu tangannya bergerak dari kemudi mengusap kepala Gifta gemas.

"Udah ah, modusnya," Gifta mengengam tangan Febe yang masih mengacak rambutnya kemudian ditaruhnya di atas pahanya dengan kondisi masih saling bertaut.

"Aku dilarang modus, tapi tanganku nggak dilepas." Febe mengangkat tangannya yang masih ada di atas paha Gifta.

"Nih, nih, kulepas." Gifta melepas genggaman tangannya dan Febe. Lalu menjauhkan pahanya dari tangan Febe yang kembali hendak mendarat di pahanya.

"Masa ngambek sih, Gi." Febe merayu-rayu Gifta. Tangannya menggapai tangan Gifta yang berusaha dijauhkan dari jangkauan Febe.

"Malesin pokoknya. Malesin!" Rajuk Gifta yang kesal digodain Febe. Lagian Febe ini usil banget, sudah tahu Gifta itu less action, sekali-kalinya khilaf malah diledekin bikin kesel kan jadinya. Seharusnya nikmatin aja kekhilafan Gifta, dasar emang!

"Nggak. Nggak malesin kok. Siniin tangannya." Febe berhasil menarik tangan Gifta hingga kembali bisa ia genggam. "Pasangan tangan ini..." Febe mengangkat tangan Gifta yang sudah ia genggam.

"... adalah ini." Lalu ia mendekatkan tautan tangan mereka ke bibirnya kemudian mengecup tangan Gifta yang ada digenggamnya.

"Saat jari-jemari ini saling mengisi." Jemari Febe mengisi sela-sela jari Gifta, "akan lebih kuat, akan lebih kokoh. Kamu tau sebabnya?" Tanyanya.

Gifta menggeleng sebagai jawaban.

"Karena inilah pasangannya. Seperti kita." Febe mengeratkan tautan tangannya.

Gifta diam, mencerna arti ucapan Febe. Kemudian matanya berkedip-kedip, lalu berkata, "Kok garing ya?" Ucapnya disertai tawa.

Febe pun tertawa mendengar ucapan Gifta. "Ya, habisnya aku nggak fokus sih." Elak Febe.

Masa mau gombal tapi gagal. Malu-maluin aja nih. Febe berucap didalam hati

"Nggak fokus, atau kamu emang nggak bisa ngegombal?" Dengan masih tertawa Gifta bertanya.

"Kayaknya option kedua paling bener."  Febe masih tertawa mengingat kekonyolan yang baru dia lakukan. "Maksud hati ingin ngegombal, apa daya contekan belum hapal."

Tawa Gifta semakin kencang mendengar seruan Febe.

***

"Aku kok laper terus ya?" Keluh Gifta.

Febe yang sedang menatap layar televisi menoleh. "Kalau laper ya makan."

Gifta yang sedang mengubek-ubek kulkas menghentikan gerak tangannya. "Aku kan baru makan!" Seru Gifta kesal.

"Ya apa salahnya coba. Asal masih ada yang bisa dimakan ya makan." Jawab Febe dengan pikiran sederhananya.

Gifta meradang mendengar jawaban Febe. "Maksud kamu apa jawab begitu? Ha?" Maunya Gifta itu Febe memberikan masukan atau mungkin mengingatkan Gifta kalau kebanyakan makan bisa meningkatkan angka ditimbangan.

"Lah?" Kepala Febe menoleh menatap Gifta, keheranan terpancar di matanya.

Apa yang salah coba dari jawaban Febe. Nggak ada kan? Dasar cewek dan sensitivitasnya.

"Kalau ngantuk trus ketemu kasur tidur, gitu? Kalau ada duit shoping, gitu?" Berkacak pinggang Gifta bertanya. Entahlah akhir akhir ini Gifta merasa moodnya on-off seperti saklar lampu.

"Ya, kalau kamu mau gitu, kenapa nggak." Jawab Febe tak acuh. Matanya kembali menatap layar kaca, berita kebakaran hutan lebih menarik perhatiannya dari pada bahasan lapar, tidur dan shopping.

"Trus kalau aku gendut masih nggak papa?"

Tanpa menoleh Febe menjawab, "Ya, nggak papa."

Gendut sama dengan makmur, sama dengan bahagia. Jadi kalau Gifta sedikit lebih gendut dari awal mereka menikah itu berarti dia bahagia hidup bersama Febe. Berarti Febe melakukan tugas dasarnya sebagai suami dengan baik.

"Kalau aku kalap trus bikin tagihanmu banyak juga nggak papa?"

"Ya nggak papa." Masih tanpa melihat Febe menjawab.

Shopping adalah salah satu kegiatan yang membahagiakan bagi cewek, jadi selama Gifta bahagia melakukan kegiatan itu Febe akan ikut bahagia walaupun tagihan kartu kredit menjadi taruhannya.

"Trus kalau aku hamil juga nggak papa?" Tanya Gifta, kemudian dia tersadar, "Eh?" Gifta membekap mulutnya.

Febe menoleh, atensinya tercurah pada Gifta sepenuhnya, "Kamu hamil?" Tanyanya dengan antusiasme yang tidak ditutup-tutupi

Gifta menggelengkan kepalanya. "Nggak. Nggak. Aku nggak hamil." Jawab Gifta panik.

Tidak. Tidak. Gifta tidak hamil. Dan dia belum ingin hamil. Untuk saat ini.

"Gi, kamu hamil?" Entah sejak kapan Febe sudah berdiri di depan Gifta. Tangannya berada di kedua bahu Gifta.

"Nggak. Nggak. Aku nggak hamil. Aku belum mau hamil." Gifta mengungkapkan apa yang menjadi ketakutannya.

Febe mengguncang bahu Gifta. "Maksud kamu apa. Kenapa kamu ngomong gitu?" Febe tidak suka mendengar ucapan Gifta. Ia sangat ingin memiliki anak.

"Aku belum mau hamil Febe. Aku belum mau hamil." Gifta menangis. Tak peduli dengan kemarahan yang diperlihatkan Febe.

"Kamu nggak mau punya anak?" Febe tak yakin dengan pendengaran.

"Aku mau punya anak. Tapi aku belum mau hamil. Apalagi sekarang." Gifta menangis. Dia panik. Dia belum siap punya anak. Mentalnya belum siap.

"Tapi kenapa Gi?"

Kenapa Gifta menolak mempunyai anak. Mereka suami istri. Mereka sudah sering melakukannya. Tadi malam pun mereka melakukannya.

Selama ini mereka memang belum pernah membahas tentang anak. Febe kira Gifta sepemikiran dengannya. Tak menunda namun menyambut dengan suka cita kalau mereka diberikan kepercayaan itu. Jadi dia abai. Namun, melihat reaksi Gifta saat ini, Febe salah. Ia salah besar. Ternyata apa yang ada di kepalanya, belum tentu juga itu yang ada dipikiran Gifta. Febe melewatkan satu poin terpenting berumahtangga, yaitu komunikasi.












Libra ♥️















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top