BeHa | Sembilan

"Pengen tau Pak Tara nggak Gi?" Tanya Mbak Ine disertai sikutan dirusuk Gifta.

Gifta yang sedari tadi sibuk menekuri hapenya mengangkat kepala seraya bertanya, "Mana?"

"Arah jam 9 bareng bos besar." Kepala Gifta bergerak ke arah yang diberitahu mbak Ine.

Dan di sana, di lift khusus bos-bos baru saja keluar beberapa orang atasan Nusantara Technology, termasuk Febe. Dan Gifta tidak menemukan wajah-wajah yang sepatutnya diperbincangkan kecuali Febe.

Ya kali para cewek-cewek akunting itu mengidolakan Papi mertuanya yang meskipun masih tampan tapi udah tua gitu. Ada lagi direktur finance yang hari-hari selalu dilihat oleh cewek-cewek akunting, trus direktur marketing yang ruangannya berada satu lantai dibawah akunting dan terakhir Febe yang ternyata pimpinan plant division.

"Nah, yang pakai kemeja biru cyan itu yang namanya Pak Tara." Lanjut Mbak Ine.

Gifta tak perlu memastikan yang memakai kemeja berwarna cyan itu siapa. Dia ingat jelas dengan pakaian yang Febe kenakan hari ini karena dialah yang selalu menyiapkan pakaian kerja suaminya itu. So, yang selama ini menjadi pembicaraan cewek-cewek divisi akunting itu Febe?

Bukannya Gifta nggak aware dengan suaminya sendiri. Dia tahu nama lengkap Febe. Tempat tanggal lahirnya pun Gifta tahu. Paling tidak hal-hal mendasar tentang Febe, Gifta ingat luar kepala.

Yah, meskipun dia terkesan cuek terhadap suaminya itu tapi percayalah cuek itu bukan berarti ia nggak perhatian. Gifta tahu kalau Febe itu kurang suka sayur, dan buah maka dari itu ia suka merecoki Febe dengan segelas jus sayur plus buah setiap hari. Gifta bahkan menyiapkan tumbler khusus berisi minuman yang tak disukai Febe itu untuk dibawa ke kantor setiap harinya.

Gifta tahu Febe nggak suka olahraga tapi dia berusaha untuk bisa treatmil minimal 15 setiap pagi karena Gifta sering mengoloknya gendut padahal enggak.

Dan Gifta tahu kalau Febe itu paling kesel kalau digodain mami apalagi di depan Gifta tapi dia nggak berani misuh-misuh depan Maminya takut si mami sedih.

Banyak sih hal-hal kecil yang Gifta tahu tentang Febe sepanjang pernikahan mereka yang belum sebulan ini. Gifta itu walaupun cuek tapi mengamati dengan baik. Walaupun dihadapan Febe dia sok sibuk dengan ponselnya tapi dia mendengarkan kalau Febe itu ngomong even yang dibicarakan itu hal receh yang kadang bikin Gifta kesel tapi Gifta denger walaupun dia sering nggak nyahut atau cuma pasang wajah lempeng denger kerecehan Febe.

Tapi tak pernah ada dipikiran Gifta, Pak Tara yang dimaksud oleh cewek-cewek di akunting adalah suaminya. Gifta perlu mencari tahu kenapa nama Febe bisa berubah menjadi Tara ketika pria itu berada di kantor.

"Eh, eh, big boss liat ke sini." Beritahu mbak Ine.

Gifta tersentak dari lamunannya karena tangan Mbak Ine memukul-mukul lengannya.

Gifta memutar kepalanya, dan benar saja Papi mertuanya sedang melihat ke arah dia dan Mbak Ine berdiri. Dan sebagai menantu yang baik Gifta otomatis melangkahkan kakinya mendekati sang mertua. Meninggalkan mbak Ine yang terbengong-bengong dibelakang.

Ya, kali dia pura-pura nggak tahu atau nggak kenal. Bisa diamuk Febe dia. Kan perjanjiannya sudah jelas, 'tak ada kisah sinetron di kehidupan rumahtangga mereka dimanapun berada' artinya Gifta akan berlaku selayaknya menantu terhadap mertua. Berlaku selayaknya istri pada suami tak penting itu di mana.

"Pi," Gifta mencium tangan Papi mertuanya lalu diikuti dengan mencium tangan Febe, walaupun kikuk. Dan menganggukkan kepala serta sapaan, "Pak!" pada dua orang lainnya. Orang-orang yang mengetahui siapa Gifta karena mereka datang saat pernikahan Gifta beberapa waktu lalu.

"Mau ke mana, Gi?" Tanya Papi.

"Mau cari camilan ke depan, Pi." Beritahu Gifta. Dan Papi mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

Kalau dalam kondisi biasa saja Gifta belum berani banyak bicara dengan si Papi, apalagi di kondisi seperti ini. Gifta kikuk berhadapan dengan Papi mertuanya dalam mode formal. Kalau dengan Febe mah Gifta lagi pasang mode sopan, ya kali di depan orang lain dia pake mode cuek kadang jutek, seperti biasa. Apa kata dunia coba?

"Ya udah Papi duluan ya, Gi." Pamit Papi diikuti dua orang atasan Gifta lainnya kecuali Febe.

Gifta menatap Febe heran. Alisnya terangkat, tanda tanya bersarang di kepalanya.

'Kenapa sih nih orang masih berdiri di sini?' begitu kira-kira pertanyaan yang bersarang di kepala Gifta namun tak bisa diucapkannya.

Dan sepertinya Febe bisa membaca arti dari tatapan Gifta, "Aku mau lunch di luar bareng Papi." Jelas Febe.

"Ya," jawab Gifta.

"Just want you to know aja sih. Dan seharusnya suami istri emang begitu. Saling memberitahu." Bibir Gifta mengerucut mendengar sindiran Febe.

Sebelum turun tadi memang ada chat masuk dari Febe. Namun tak diindahkan Gifta karena ya biasanya dijam-jam seperti itu Febe akan mengiriminya pesan yang berisikan, 'Jangan lupa makan siang.' Jadi karena sudah bisa menebak isi chatnya yang dikirimkan Febe, Gifta memilih membiarkan chat tersebut tetap centang dua berwarna abu-abu.

"Makanya baca chat ku." Lanjut Febe berkata, tangannya mengusap kepala Gifta. Dan perlakuan Febe kontan membuat kepala Gifta tertunduk karena malu.

Dan melihat reaksi Gifta, Febe tersenyum puas. Kalau saja ini bukan di tempat umum pastinya Gifta sudah mencak-mencak memarahinya. Istrinya itu kan masih jaim kalau disentuh-sentuh sayang gitu.

"Mau beli apa emang?" Tanya Febe pada Gifta yang belum berani mengangkat kepalanya.

"Snack aja." Jawab Gifta.

"Snack? Nggak makan?"

"Udah makan. Snack nya buat nanti." Gifta belum mengangkat kepalanya. Dari sudut matanya Gifta tahu ada beberapa pasang mata yang memandang penasaran ke arahnya.

"Ya udah aku pergi dulu. Trus nanti kita pulang bareng." Ingat Febe sebelum melangkah meninggalkan Gifta yang belum juga mengangkat kepalanya.

"Apaan itu tadi, Gi?" Mbak Ine langsung bertanya penasaran. "Jadi kamu istrinya pak Tara?"

Gifta hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Mbak Ine.

"Kok nggak cerita sih Gi?" Mbak Ine mensejajarkan langkahnya dengan Gifta yang berjalan cepat menuju gerbang.

"Nggak ada yang nanya." Jawab Gifta.

"Paling nggak mereka yang kepo dan julid sama istrinya pak Tara akan bungkam kalau tahu kamulah orang yang mereka ceritakan."

Gifta menghentikan langkahnya, menoleh pada Mbak Ine lalu berkata, "Mbak Ine janji ya nggak bakal bocorin ke orang-orang itu kalau aku ini menantunya Papi."

Gifta itu tidak butuh teman fake, yang berteman karena ada maunya. Cukup ia punya satu dua teman tapi real friends, yang berteman karena dia adalah Gifta Aluna bukan karena ia istri dari orang yang akan mewarisi Nusantara Technology. Dan untuk saat ini ia telah menemukannya. Mbak Ine. Menurut pengamatan Gifta Mbak Ine adalah teman yang baik.

"Oke." Gifta kembali melanjutkan langkahnya setelah mendengar jawaban dari Mbak.

***

"Gimana rasanya nikah sama Pak Tara?"

Gifta yang tengah bersandar di dinding lift mengernyit mendengar pertanyaan mbak Ine yang sangat aneh didengar.

"Gimana rasanya nikah sama suami, Mbak?" Gifta balas bertanya.

"Yaa, Gi." Mbak Ine memelas ia menangkap maksud dari pertanyaan Gifta.

Gifta terkekeh, kepala menggeleng, "Ya lagian Mbak nanya nya aneh gitu."

"Kepo Gi, kepo! Most wanted gitu loh Gi. Karyawan perempuan yang masih lajang pasti ngarep banget diperistri Pak Tara. Tapi ya itu, si Bapak terlalu sulit digapai." Gifta menegakkan tubuhnya, penasaran juga dengan kelanjutan info yang akan diberikan Mbak Ine.

"Pak Tara itu ramah. Tapi nggak tebar pesona. Dia tahu pastinya banyak yang suka tapi dia biasa aja. Nggak memanfaatkan perhatian yang diberikan cewek-cewek di sini. Kalau papasan trus kita tegur dia pasti senyum. Nggak yang kayak bos yang cool di tivi gitu yang senyumnya nggak bikin bibir gerak cuma kedutan diujung bibir aja. Nah, di situ para fansnya tambah banyak. Ramah sih, sama kayak big bos."

"Dia bilang gitu juga sih." Gifta tanpa sadar bergumam.

"Apa Gi?"

"Nggak ada kok." Elak Gifta. Dan bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.

Mereka kembali berjalan beriringan menuju ruangan mereka.

"Jadi gimana Gi? Enak nggak?" Mbak Ine masih usaha.

"Kepo deh Mbak." Jawab Gifta disertai senyuman.

Ya kali dia cerita-cerita kisah rumah tangganya sama orang yang baru ia kenal. No, No, itu bukan Gifta sekali. Dan lagi Gifta sudah punya tuh tong curhat yang pro Febe dan dia tak mau menambahnya satu lagi. Yup, bisa Gifta pastikan kalau dia menjadikan Mbak Ine tempat curhat maka pro Febe akan bertambah lagi. Gifta tidak sudi.

Baru saja Gifta duduk di kursinya ketika seniornya menghampiri seraya berkata, "Mana titipan gue?"

"Sabar kalee!" Mbak Ine yang ada disamping Gifta bersuara. "Baru juga mendarat nih pantat udah Lo tagih aja." Ketusnya.

"Lama banget sih, padahal cuma beli ini." Yanti si senior teman sejawat Mbak Ine menjawab.

"Kalau Lo mau cepet kenapa nggak Lo pake aja kaki Lo sendiri buat jalan ke sana."

"Jiah, kenapa sih Lo Ne? Kurang jatah ampe nyolot gitu?"

"Lo nya sih nggak bersyukur. Udah untung orang mau terima titipan Lo, nggak berterimakasih malah ngebacot. Nih, nih, titipan Lo." Mbak Ine mengambil satu kotak susu dari dalam kantong lalu menyodorkannya tepat dihadapan wajah Yanti.

Yanti kesal karena tindakan Mbak Ine, "Apa-apaan sih Lo, Ne?" Yanti mengambil susu tersebut lalu melangkah ke mejanya dengan bersungut-sungut.

Dan Gifta yang melihat itu hanya bisa menghela napas.

Kemajuan lain yang Gifta dapat selama magang di sini adalah jadi spesialis supermarket. Gifta sering dititipi membeli sesuatu ketika ia menanyakan apakah ada yang mau menitip ketika ia hendak ke supermarket. Sebenarnya tak masalah bagi Gifta toh ia juga belanja camilan untuk dirinya sendiri. Tapi Mbak Yanti memang suka keterlaluan. Pesananya harus sesuai dengan permintaannya kalau tidak ia akan memberikan Gifta lirikan sinis sepanjang hari. Dan kali ini adalah susu kotak 1 liter. Dan itu membuat Mbak Ine marah. Kata mbak Ine, "Nitip itu ya pake otak kali!"

***

Gifta segera memasuki mobil Febe yang ada sudah terparkir di lobi utama.

"Lama ya nunggunya?" Tanya Gifta begitu mobil melaju meninggalkan gedung Nusantara Technology.

"Baru kali ini aku dibuat nunggu. Biasanya karyawanku yang nungguin aku." Febe menjawab tanpa melirik Gifta. Di depan jalanan padat merayap. Maklum jam pulang kantor.

"Jadi nggak ikhlas nih." Sunggut Gifta. "Dan lagian ya aku telat kan untuk perusahaan kamu juga."

Last minute sebelum pulang Gifta mendapat tugas memfotokopi dari Mbak Yanti. Nggak tanggung-tanggung Gifta diminta mengkopi satu binder file yang katanya urgent.

Dan sebagai anak magang yang baik, Gifta mengerjakannya dengan segera. Lima belas menit waktu yang diperlukan Gifta mengkopi satu binder file plus mesin fotokopi yang nge-jam.

Begitu kembali ke ruangannya Gifta tak menemukan mbak Yanti dan ketika bertanya pada Mbak Ine yang memang rajin lembur jawabannya membuat Gifta mengurut dada, "Lah si Yanti kan udah pulang. Kenapa?" Gifta hanya menggeleng seraya menaruh binder kopian beserta file asli di meja mbak Yanti lalu pamit pulang pada Mbak Ine. Dan disinilah ia sekarang duduk nyaman di kursi penumpang dengan supir suaminya sendiri.

"Kalau loyalitasnya begini, bisalah ya di rekrut jadi karyawan di NT." Febe melirik Gifta tangannya mengacak rambut Gifta.

Gifta menjauhi kepalanya dari tangan Febe. "Kenapa sih hobi banget ngacak rambut aku." Keluhnya.

"Ngacak yang lain belum boleh sih makanya ngacak ini aja dulu."

"Ih, mesum banget sih jadi orang." Gifta menjauhkan duduknya dari jangkauan Febe.

"Mesum gimana? Kamu aja itu." Febe kembali menaruh tangannya di kemudi. Dia tersenyum-senyum tanpa dosa.

"Eh Gi, liat nih." Gifta menoleh. Ditangan kiri Febe ada tumbler yang tadi pagi ia isi dengan jus sehat untuk Febe.

"Nggak diminum ya?" Gifta sudah akan mengomeli Febe ketika suaminya itu berkata, "Liat baik-baik coba."

Gifta memperhatikan Tumbler  dengan seksama. Disudut bawah Tumbler tertulis nama Nusantara F dengan marker hitam yang Gifta rasa waterproof. "Ih, norak, dikasih nama segala." Reaksi Gifta ketika sudah melihat keanehan di Tumbler yang diperlihatkan Febe.

"Nah udah liatkan? Tumbler aja aku tandain biar gak ilang, apalagi kamu. Kapan kamu siap aku tandain?"











Libra ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top