BeHa | Lima
"Sampai kapan nggak boleh ada bahasan dedek bayi, Gi?" Entah sudah berapa ratus kali Febe menanyakan pertanyaan yang sama pada Gifta, membuatnya jengah mendengarnya.
"Gi?" Rajuk Febe. Pria itu duduk di samping Gifta yang asyik mengunyah pilus pedas yang tadi sempat dibelinya saat perjalanan pulang ke apartemen.
"Jangan nyinyir deh!" Kesal Gifta.
"Makanya kamu jawab pertanyaan ku. Sampai kapan?" Tuntut Febe.
Gifta melirik Febe kesal. Banyak nggak sih orang model begini? Orang yang kalau punya kemauan harus dituruti. Termasuk akan jawaban sebuah pernyataan. Sepertinya banyak deh, salah satunya sosok yang duduk menghadap Gifta sekarang.
Seperti anak kecil,Febe menuntut jawaban dari Gifta. Dan Gifta rasa sebelum ia memberikan jawaban yang memuaskan Febe, pria itu pasti akan terus bersikap menyebalkan hingga nanti mendapatkan jawaban yang ia mau.
"Gimana, Gi?" Nah kan? Masih maksa juga.
Sepertinya Gifta harus memiliki stok sabar yang banyak kalau berurusan dengan Febe. Nyinyirnya maksimal banget.
Setelah menyelesaikan kunyahannya dan meminum air yang tadi ditaruhnya di coffe table di depannya, akhirnya Gifta berkata, "Kan tadi udah jelas jawabannya." Beritahu Gifta sebelum melanjutkan mengunyah pilusnya.
"Itu ambigu, Gi. Yang pasti dong." Febe tak terima dengan jawaban tak memuaskan Gifta —itu menurut Febe—
Kalau waktu boleh diulang Febe ingin kembali ke saat di mana ia melakukan kecerobohan yang mengakibatkannya menjadi seperti bocah, seperti sekarang ini. Merengek-rengek agar keinginannya segera terwujud. Febe ingin memperbaiki kesalahan yang dilakukannya.
Tadi setelah mengiyakan syarat yang diajukan Gifta, Febe langsung panik. Ia tersadar bahwa ia melakukan kesalahan besar.
Bermaksud agar Gifta tidak ngambek lagi dan memaafkannya, dengan segera Febe langsung mengiyakan syarat yang diajukan Gifta sedetik setelah dilontarkan, namun di detik setelah mengatakan iya Febe terdiam, senyum yang tadi merekah lebar di bibirnya karena maaf dari Gifta telah ia terima lama-lama hilang. Otak Febe mencerna syarat yang diajukan Gifta tak memiliki jangka waktu.
Dan setelahnya Febe bertingkah seperti bocah lima tahun —merenggek dan menyebalkan— yang membujuk Ibunya untuk merevisi aturan yang baru ditetapkan.
Siapa tahu Gifta menangguhkan pembahasan dedek bayi hingga setahun kemudian. Dua tahun. Tiga tahun. Who knows kan? Isi kepala orang tak bisa ditebak. Febe bergidik ngeri membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Febe tidak bisa. Ia harus mendapatkan kepastian saat ini juga. Ini untuk kepentingan bersama. Dan pasti kepentingan pribadinya juga. Yah, paling tidak dengan memakai alasan memenuhi permintaan orangtua mereka bisa Febe pakai untuk membujuk Gifta.
"Ambigu gimana?" Tanya Gifta pura-pura tidak tahu.
Gifta tahu kok dibalik niatan mulia Febe untuk memenuhi keinginan orangtua mereka ada niatan pribadi terselubung di sana. Gifta tahu Febe mengkhawatirkan kelangsungan benda yang ada diantara dua pahanya. Gifta bukanlah bocah TK yang tak tahu apa-apa.
Gifta hanya butuh waktu lebih memikirkan kelangsungan jiwa raganya seandainya ia memberikan harta berharganya pada pria yang tidak dicintainya.
Mungkin banyak yang mengatakan cinta datang karena terbiasa dan Gifta termasuk salah satunya. Tapi masalahnya Gifta bukanlah tipikal gadis yang gampang untuk menyerahkan apa yang ia miliki kepada orang yang telah membuatnya jatuh hati. Cinta saja tidak cukup bagi Gifta butuh keyakinan dihatinya untuk bisa melakukan lebih.
Gifta ingat dulu ketika berpacaran dengan mantan-mantannya ia tak akan mau memberikan bibirnya di akhir kencan pertama. Butuh setidaknya lima kali kencan bagi Gifta untuk menyerahkan bibir merahnya kepada pacarnya.
Apalagi untuk kasus yang lebih berat seperti sekarang ini. Gifta tidak bisa membayangkan ia dan Febe berada dalam satu kondisi di mana mereka tidak memakai apapun dengan tubuh penuh keringat karena telah melakukan kegiatan 'pembuatan bayi' dan itu dilakukan selamanya. Gifta tidak bisa membayangkannya. Ia ingin penyerahan yang dilakukannya benar-benar karena cinta. Karena dengan begitu tak akan ada penyesalan dihatinya ketika membuka mata di pagi hari karena sepanjang hidupnya akan dihabiskannya dengan Febe. Gifta tak ingin melakukan kewajibannya karena terpaksa. Karena Gifta tak ingin berdosa.
"Sampai kamu siap itu waktunya tak terhingga. Bisa besok, bisa minggu depan, bisa bulan depan dan bisa sepuluh tahun lagi." Febe bergidik ngeri untuk kemungkinan yang terakhir.
'Amit-amit, jangan sampai terjadi,' batin Febe. Bisa menciut si jagoan kalau diajak puasa selama sepuluh tahun.
"Emang kamu mau kukasih jatah sepuluh tahun lagi?" Gifta balik bertanya.
"Bunuh diri itu namanya." Cepat Febe menjawab.
"Nah itu tahu. Nggak mungkin aku membiarkan kamu bunuh diri." Gifta tersenyum mengejek. "Jadi nikmatin aja dulu. Anggap aja sekarang kita lagi pacaran. Masa orang pacaran langsung buat bayi." Lanjut Gifta.
"Banyak kok!" Sanggah Febe.
"Bego namanya itu." Jawab Gifta tak mau kalah.
"Lah kamu nanya ada enggak orang kayak gitu dan jawabannya banyak." Jawab Febe.
Huh. Dasar Febe pintar aja jawabnya.
"Tapi aku bukan orang-orang itu." Jawab Gifta akhirnya. Ya kali dia mau aja nyerahin hartanya sama orang yang nggak punya status halal untuknya. Rugi besar! Eh, tapi kasusnya dan Febe kan beda. Mereka halal untuk satu sama lain.
"Ya udah terserah kamu aja." Akhirnya Febe mengalah karena melihat air muka Gifta sudah berubah. Kalau Febe masih ngotot adu argumen bisa-bisa Gifta ngambek lagi. "Eh tapi cium-cium boleh dong?" Febe mencoba peruntungan. Siapa tahu ada pengecualian. Lumayankan daripada nggak dapat apa-apa Febe senyum sumringah membayangkannya.
"Heh, kamu lagi mikirin apa?" Gifta melambaikan tangannya di depan Febe yang senyum-senyum gaje.
Febe tergeragap. "Apa? Kamu ngomong apa?" Febe malu ketahuan bengong.
"Berarti kamu kayak gitu ya? Langsung nyosor pas kencan pertama." Tuduh Gifta. "Sorry ya, Gi nggak bisa disamain kayak mantan-mantan kamu itu."
"Lebih malah." Spontan Febe menjawab.
"Apa?" Teriak Gifta karena mendengar gumaman Febe. "Kamu udah sering nidurin cewek?" Gifta bergerak menjauh dari Febe. Menyilangkan tangannya di dada membuat perlindungan. Di otaknya sekarang Febe adalah seorang predator yang haus belaian.
"No! kamu salah sangka." Febe tidak mau dicap sebagai laki-laki gampangan —gampang celup-celup yang ada di selangkangan— "Aku nggak pernah ngelakuin itu sama wanita manapun. Kalau main atas sering. Hanya sebatas itu Gi." Aku Febe jujur. "Eh tapi jangan kamu kira karena aku nggak pernah ngelaluin itu aku nggak strong ya. Aku cuma nggak mau aja nebar benihku disembarang lobang." Jelas Febe.
"What?" Gifta terkaget mendengar kata-kata vulgar Febe. Gini kali ya menikah dengan pria dewasa omonganya no filter batin Gifta.
"Maaf Gi, bukan maksud aku membuat kamu merasa tidak nyaman dengan obrolan kita..." Ucapan Febe terhenti karena Gifta memotongnya.
"Huh! Obrolan apaan, celetukan kali." Gifta mendengkus mendengar kata-kata Febe sehingga pria itu meringis merasa tidak enak.
"Okey, celetukanku yang membuat kamu tercengang-cengang." Febe nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi yang aku katakan itu jujur Gi biar kedepannya nggak ada salah paham diantara kita." Terang Febe.
"Jadi kamu nggak pernah....?" Tanya Gifta tanpa melanjutkan pertanyaannya. Karena Ia tahu Febe mengerti maksudnya.
"Nggak pernah. Sumpah." Febe membentuk huruf V dengan dua jarinya. " Makanya kamu jangan lama-lama ngegantung aku. Kasian kan masa depanku ini udah lama ada tapi nggak pernah digunakan dengan baik dan benar." Ucap Febe melihat ke arah bawahnya.
Gifta yang dengan bodohnya mengikuti gerakan kepala Febe tersadar, lalu berteriak kesal, "Aaaakk, kamu kok mesum banget sih?" Kemudian Gifta mengambil bantal sofa untuk menutupi wajahnya yang memerah karena malu. Bisa-bisanya ia bego mode on rutuk Gifta.
Febe tertawa-tawa melihat reaksi Gifta. Gadis satu ini. Kadang polos, kadang pintar, kadang frontal, kadang menggemaskan, sepertinya hidupnya akan lebih berwarna dengan keberadaan gadis ini.
"Jadi gimana, Gi?" Tanya Febe setelah tawanya reda. Pria itu menggeser duduknya ke dekat Gifta.
"Iiih, ngapain sih dekat-dekat." Masih dengan menutup wajahnya dengan bantal Gifta menjawab. Gadis itu mencoba menggeser duduknya, namun lengan sofa menahannya.
Febe tak mengindahkan Gifta, ia tetap duduk di samping gadis itu. "Berarti sumbu kita sama Gi makanya kamu menjauh aku mendekat. Kayak magnet gitu loh."
"Auk ah," suara Gifta teredam bantal.
"Auk ah apa?"
"Terserah kamu!"
"Bener nih terserah aku? Nggak boleh ditarik ya ucapannya. Ok deal!"
Gifta langsung melepas bantal yang menutupi wajahnya. Menatap Febe dengan kerutan di dahi. " Jangan modus ya kamu atau kita nggak usah satu kamar aja." Ancam Gifta membuat Febe langsung kicep.
"Yah, Gi, kirain tadi maksudnya itu?"
"Kalau masalah itu aja langsung paham." Gifta mendekap bantal di dadanya. "Pokoknya nggak ada bahasan dedek dalam waktu dekat. Titik!"
"Bahasan aja kan Gi? Kalau praktek bikinnya boleh dong." Febe masih mencoba peruntungan.
Gifta menghela napasnya. Febe ini memang tidak mau kalah sedikitpun. Harus dapat yang ia mau tapi Gifta tak kalah egoisnya. Ia tidak mau mengalah apalagi untuk pria yang berstatus suaminya ini. "Kamu jangan egois dong. Pikirin juga dong mental aku. Emang kamu mau aku stres mikirin ini?"
Gifta sadar sih apa yang dilakukannya itu tidak baik. Dosa malah. Tapi, mau bagaimana lagi, Gifta benar-benar belum siap. Ia terlalu kaget dengan perubahan statusnya hingga mentalnya, hal paling krusial dari dirinya belum bisa diajak kompromi untuk menerima.
Febe terdiam mendengar ucapan Gifta. Benar, ia tidak boleh egois. Ia harus memikirkan psikis Gifta. Tidak semua orang dengan tangan terbuka menerima pernikahan karena perjodohan. Ditambah dengan desakan dari pasangan untuk melakukan hubungan suami istri. "Maafin aku Gi. Aku hanya memikirkan keinginanku tanpa bertanya apa yang kamu mau. Ok let's make deal." Febe menyesal atas keegoisannya.
"Okey!" Gifta mengiyakan kesepakatan Febe. "Or buat aku jatuh cinta secepatnya dan secepatnya pula aku akan menjadi milikmu seutuhnya." Gifta mengajukan pilihan.
Senyum Febe mengembang, "Aku rasa pilihan kedua lebih menarik. You know what, easy to fallin in love with me as easy i fallin love with you."
"Buktikan."
"Okey." Febe mengacungkan jempolnya pada Gifta tanda ia menerima pilihan yang Gifta ajukan.
•••
"Febe, ihh! sana!" Gifta mengerang kesal karena kelakuan Febe yang menyebalkan. Pria itu menempel padanya bak lintah kapanpun dia punya kesempatan. Seperti saat ini. Saat Gifta sedang menyiapkan makan siang untuk mereka. Tidak Gifta tidak memasak. Gifta hanya memindahkan makanan yang dipesan Febe dari sebuah restoran ke piring yang ada di depannya.
"Aku kan lagi usaha buat kamu jatuh cinta." Jawab Febe sok polos. Tangan pria itu melingkar di pinggang Gifta, memeluk Gifta dari belakang.
"Tapi aku susah buat gerak tau!" Gifta masih berusaha melepaskan belitan tangan Febe di pinggangnya.
"Masa sih?" Febe sok bertanya. "Aku fleksibel loh, Gi. Kamu ngerak ke kiri aku ikuti. Ke kanan juga sama. Nggak nahan kamu mentok di satu posisi. Jadi nggak ada alasan kamu buat usir aku."
"Ada aja jawabannya. Dasar jago ngeles kamu!" Gifta tak tahu lagi cara agar Febe berhenti bertingkah seperti lintah. Kalau saja Gifta tahu Febe akan berlaku seperti ini, tak akan dia memberi options kedua. Membuat dia untuk cepat mencintai suaminya itu.
"Kalau nggak kayak gini lama progresnya Gi." Febe menumpukan dagunya di bahu Gifta. Hidungnya mengendus-endus kepala Gifta. "Aku kok jadi candu sama aroma sampo kamu Gi, wangi seger gitu baunya." Ucap Febe di telinga Gifta.
Gifta bergidik karena napas Febe yang menerpa kulit lehernya. Membuat jantungnya memompa lebih cepat. "Aku udah kelar nata makanannya, yok makan!" Ucap Gifta coba mengalihkan fokus dari keanehan yang ia rasakan. Tangannya segera melepas tangan Febe dari pinggangnya.
"Grogi ya?" Kata Febe menggoda.
"Ihh, apaan. Orang aku udah selesai nata makanannya kok." Gifta berkilah. Ia berdiri tidak tenang ditempatnya.
"Yee, malu dia. Nggak usah malu-malu gitu kali." Febe makin gencar menggoda. Menoel lengan Gifta yang terbuka.
"Apaan sih kamu." Gifta segera duduk di kursi terdekatnya. " Buruan duduk, trus kita makan. Aku udah lapar."
Febe duduk di bangku di samping Gifta. Menerima piring yang disodorkan Gifta. Lalu makan dengan tenang. Ia tak mau menggoda Gifta dulu. Untuk sekarang Febe rasa aksinya sudah cukup. Ia tak mau Gifta malah marah lalu mengamuk karena tingkahnya yang dianggap gadis itu sudah keterlaluan.
••••
With love,
Libra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top