BeHa | Enambelas
"Febe, ih!" Dengan sikunya Gifta menyikut perut Febe yang memeluknya dari belakang "Revisianku masih banyak ini." Gifta berusaha menghindari rengkuhan Febe.
Febe tak mengindahkan keluhan Gifta. Ia makin erat memeluk Gifta, menumpukan dagunya di bahu Gifta. "Kangen tau." Dikecupnya pipi Gifta. Dadanya menempel erat dipunggung Gifta. Memeluk Gifta dengan posisi ini sebenarnya kurang nyaman bagi Febe tapi apa daya, istrinya yang sedang duduk bersila di lantai dengan laptop dihadapannya tak mungkin bisa diganggu walaupun dengan alasan kangen.
"Siapa suruh ninggalin istri lama-lama." Nah, bener kan, Gifta dalam mode serius tidak akan mempan dibujuk rayu seperti apapun.
"Tugas dan kewajiban, Gi." Febe menjawab. Hidungnya mengendus leher Gifta, membuat Gifta menggeliat kegelian.
Maunya Febe sih dia nggak kemana-mana. Maunya Febe sih dia bisa tidur memeluk Gifta setiap malamnya. Tapi apa daya seminggu ini ia mendapat tugas ke Jepang. Bukan untuk ekspansi NT, tapi untuk memperkokoh NT di Indonesia. Lagipula pasar NT di Indonesia sangat-sangat bagus. Febe hanya harus melakukan pengembangan dibeberapa sektor. Dan untuk itu, Febe sebagai penerus NT dan saat ini juga menjabat sebagai bos-nya bagian produksi harus melakukan gebrakan dan untuk membuat gebrakan ia butuh ke Jepang guna mempelajari beberapa hal.
"Ya udah, aku juga mau menjalankan tugas dan kewajibanku." Gifta mengedikkan bahunya, bermaksud menjauhkan dagu Febe dari bahunya.
Febe mengabaikan kode yang diberikan Gifta. Mulutnya berpindah menciumi tengkuk Gifta. Sementara tubuhnya semakin merapatkan diri ke tubuh Gifta. Telapak tangannya mengelus-elus perut Gifta. "Ya udah lakuin." Jawabnya.
"Gimana aku bisa ngelakuin tugasku kalau kamu gelendotan kayak gini. Tanganku nggak bisa gerak ini." Gifta berusaha lepas dari belitan Febe.
"Ya udah tugas istri dulu lakuin nanti aku bantuin ngerjain tugas mahasiswanya." Usul Febe.
"Itu mah maunya kamu." Gifta Masih mencoba lepas dari belitan Febe. "Kenapa susah banget sih lepasnya ini." Keluh Gifta.
"Ini namanya jurus ular menangkap mangsa. Belit sampai mangsanya nggak berkutik." Bisik Febe di telinga Gifta.
"Ular dong kamuuuh." Jawab Gifta disertai desahan karena ulah Febe yang bermain-main dengan telinga Gifta.
Febe senang dengan tubuh responsif Gifta. "Iya, ular yang lagi kelaparan." Jawab Febe yang sekarang menciumi batang leher Gifta. "Mau ya, Gi." pintanya disela-sela kegiatan membangkitkan hasrat Gifta.
Akhirnya Gifta hanya bisa mengangguk pasrah. Dan membiarkan Febe mewujudkan keinginannya.
**
"Ingat loh janjinya." Gifta mengingatkan Febe tentang janjinya.
"Aman itu. Asal jatahku lancar aja. Jangankan bantuin revisi bab tiga, bantuin revisi dari bab satu ampe enam aja aku rela." Jawab Febe tanpa menoleh, telor balado dihadapannya sangat sulit untuk diabaikan.
"Dilarang makan sambil ngomong nanti keselek!" Ingat Gifta.
"Dilarang ngobrol sama orang yang lagi makan." Gifta cemberut mendengar balasan Febe. Dasar Febe jahat.
Jadi sehabis memangsa Gifta, Febe mengeluh lapar. Dia merengek minta dibuatkan makanan, sambil berkata, "Kenapa ya olahraga selalu bikin lapar," dibumbui dengan adegan memegang perut layaknya anak kecil yang sedang kelaparan. "Lapar banget ini." Adunya. "Gi, kasih makan dong, telor balado kayaknya enak." Rengek Febe.
"Tekor banyak nih aku." Gerutu Gifta.
"Aku bayar nanti, jangan kuatir."
Setelah banyaknya rengekan disertai drama akhirnya Gifta mengalah. Ia beranjak dari depan laptopnya. Lagipula mana mungkin Gifta tega membiarkan Febe terus merengek minta makan Gifta hanya senang saja mengusili Febe.
"Mana yang harus aku bantu." Febe duduk disamping Gifta. Kepalanya melonggok, membaca kata-kata yang terlihat di layar laptop.
"Udah selesai makannya?" Gifta menjauhkan kepalanya, memberikan space untuk Febe agar leluasa menatap tulisan yang terpampang di layar laptopnya.
"Udah," jawab Febe setelah diam sesaat. "Terimakasih untuk service yang memuaskannya," Febe mengecup pipi Gifta. Lalu menarik laptop yang ada di atas meja kehadapannya. "Waktunya menepati janji." Serunya lalu dengan lincah mulai menggerakkan jemarinya di atas keyboard.
Gifta beringsut mundur, menyandarkan punggungnya di kaki sofa di belakangnya, membiarkan Febe yang tengah menunaikan janjinya.
"Kalau revisian ini di approve kita mulai program buat dedek ya, Gi." Iseng Febe bertanya.
"Emang kamu udah siap?"
Febe menoleh, lalu berkata, "Kirain kamu nggak denger." Ucapnya disertai cengiran.
Kalau saja Gifta sedang melamun pasti dia tidak bisa menangkap ucapan Febe yang serupa gumamam itu. Pasalnya Febe mengatakannya tanpa menoleh sedikit pun dari laptop dihadapannya.
Gifta menegakkan tubuhnya, "Ya, dengarlah." Jawab Gifta sewot.
Febe menghentikan kegiatannya, berbalik menghadap Gifta. "Ketika aku menjabat tangan papa kamu itu artinya aku siap dengan segala hal yang terjadi di masa depan. Termasuk dengan anak-anak. Jadi, kalau kamu tanya apa aku siap, sangat yakin aku akan menjawab siap, seratus persen siap." Jawab Febe dengan mantap.
Gifta menangkap keyakinan itu di mata Febe. Dan membuatnya menganggukan kepalanya tanda menyanggupi.
Senyum Febe merekah, direngkuhnya Gifta kedalam pelukannya, "Thank you, Giginya Febe," serunya senang. "Akhirnya cerai juga dari si kondom." ucap Febe yang mendapat hadiah cubitan di pinggang dari Gifta.
***
"Kusut banget tuh muka, ngalahin baju gue yang belum digosok di keranjang aja." Ledek Milli. Ia meletakkan semangkok bakso yang baru dibawanya di atas meja lalu duduk di kursi besi dihadapan Gifta.
"Bete gue," Gifta cemberut. Tangannya mengaduk-aduk jus jeruknya yang tinggal setengah dengan kesal.
"Awas lho tumpah." Tunjuk Mili pada gelas jeruk Gifta dengan gerakan mulut.
"Biar aja tumpah. Kesel gue. Kesel!" Gifta semakin kencang memutar sedotan digelasnya hingga menimbulkan bunyi berisik benturan es dan gelas kaca.
"Namanya pejuang skripsi, Gi,"
"Ya kan gue kesel Mil, udah di depan mata ini." Gimana nggak kesel coba, perbaikan yang dilakukannya dengan sepenuh hati belum disetujui gara-gara dosennya harus keluar kota padahal Gifta sudah menungguinya lebih dari satu jam.
"Sabaaaarr."
Gerakan tangan Gifta terhenti. Matanya memicing tajam menatap Mili. "Enteng banget itu bibir ngomong sabar."
Sabar memang terdiri dari lima huruf dan sangat gampang diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan apalagi untuk orang seperti Gifta yang pas cuma dapet sisa pas pembagian stok sabar.
"Ya emang. Tinggal ngomong ini kan?"
Mengembuskan napas, Gifta menyandarkan punggungnya di kursi kantin yang kaku, sekaku tubuh Gifta saat ini. "Lo enak dapet dospem, lah, gue, lebih sibuk dospem gue kayaknya dari rektor." Keluh Gifta.
"Lebay lo, ah!"
"Fakta berbicara Miliiii,"
"Kebetulan lagi sibuk aja. Buktinya beliau dospem favorite, nggak banyak mau. Perbaikan sewajarnya."
Gifta menghela napas, mengiyakan ucapan Mili didalam hati. Dulu dia berdoa untuk dibimbing oleh dospemnya yang sekarang. Karena menurut senior-seniornya dosen pembimbingnya ini adalah incaran para mahasiswa.
"Mudah-mudahan ini bukan pertanda perjalanan skripsi gue tersendat di bab empat." Gumam Gifta.
"Nggak boleh ngomong gitu, ah!" Tegur Mili disertai lemparan sedotan ke hadapan Gifta.
"Ya, habisnya," Gifta merebahkan kepalanya ke atas meja. Letih menggelayutinya saat skripsi yang ia kira akan mendapat tanda tangan dari dospem tapi harus menghadapi kendala.
"Gitu aja udah down lo. Apakabar anak-anak yang dapet tantangan skripsi lebih-lebih dari lo."
"Ya, kan gue ..."
"Program aja dulu. Kan nggak langsung blendung." Potong Mili membuat gerakan melengkung diperutnya. "Lagian kendala skripsi ini nggak bakal lama kok. Yang bikin lama itu biasanya dari kita mahasiswanya, bukan dosennya."
Gifta hanya bergumam membalas ucapan Mili. Lagian energinya sudah habis ketika apa yang diinginkannya tidak terwujud.
"Gi, bikinnya pas mood lagi bagus ya, biar ponakan gue nggak moody-an kayak lo jadinya nanti." Mili tertawa mendengar ucapannya yang out of topic, sengaja, agar temannya itu berhenti memikirkan hal yang tidak penting.
"Nggak usah banyak bacot deh, Mil." Tanpa mengangkat kepala dari meja Gifta menjawab ucapan Mili ketus.
"Nggak banyak kok, cuma satu." Jawab Mili acuh, tak peduli kekesalan Gifta lalu ia melanjutkan memakan baksonya yang masih tersisa. Dia memahami kegalauan Gifta, temannya itu tipe orang yang tidak akan mau mengerjakan sesuatu sebelum pekerjaan sebelumnya selesai. Nah, masalahnya sekarang temannya itu sudah menyetujui keinginan suaminya untuk mempunyai bayi —Mili tau dari Gifta— dan itu menjadi pikiran untuk Gifta karena pekerjaannya —skripsinya— masih tersendat karena belum disetujui oleh dosen pembimbingnya.
"Arrrggghhhh!"
"Komunikasi Gi, minta waktu. Gue yakin laki lo mengerti."
"Dia sih mengerti aja, asal dapet jatah." Gifta bergumam.
"Ya, udah, bilang laki lo, jangan dijadiin dulu,"
Gifta mengangkat kepalanya, matanya memicing menatap Mili.
Mili yang merasa ditatap menghentikan kegiatannya, mengangkat kepalanya yang tengah menekuri mangkok bakso lalu bertanya, "Apa?" Pada Gifta.
Gifta menggeleng, lalu berkata, "Lo kok expert masalah beginian sih Mil? Jadi curiga gue." Gifta menyipitkan matanya
Mili mengedik, "Gue tuh berguru sama dokter Boyke jadi pahamlah sedikit-sedikit tentang masalah rumahtangga. Lagian ya Gi, jadi konsultan rumahtangga buat lo itu seru tau, gue berasa nggak sia-sia buang kuota nyari info tentang seks life. Berasa pakar gue, hehehe." Ujarnya diakhiri kekehan.
"Sebahagia lo deh, Mil." Gifta lalu berdiri meninggalkan Mili yang hanya bisa melongo melihat kepergiannya.
Andai Gifta bisa sesantai Mili saat menghadapi masalah pastinya ia tidak akan sepusing ini sekarang. Gifta merasa berat mengatakan kepada Febe kalau ia belum bisa memenuhi keinginan pria itu untuk segera punya anak. Gifta merasa dia tidak cakap kalau harus melakukan dua hal dalam waktu bersamaan.
Bukan. Gifta bukannya tidak yakin akan kontribusi Febe dalam membantunya menghadapi kondisinya kelak. Gifta hanya tidak yakin pada dirinya sendiri. Pada kemampuannya. Padahal Mili pernah berkata, "Ya, lo aja belum mencoba gimana lo bisa mengecilkan diri lo sendiri sih, aneh ah lo!"
Iya, seharusnya Gifta mencoba mencari tahu. Toh, ada Febe yang akan selalu mendukungnya, begitu pria itu pernah berkata. Tapi, Gifta terlalu minder dengan kemampuannya, minder dengan dirinya sendiri.
Dulu ia sering berontak tatkala orangtuanya mengekang pergerakannya membuat ia tak mandiri. Membuat ia tak bisa mengemungkakan apa yang ada di hati dan pirkirannya. Membuat ia menjadi pribadi yang banyak pertimbangan. Membuat ia takut untuk mencoba tantangan.
Sekarang, setelah penantian panjang, akhirnya ia bisa menjadi pribadi yang dulu ia inginkan, Gifta malah tetap menjadi pecundang yang takut melihat tantangan, yang takut akan rintangan, padahal itu masih ada di angan.
Ya, apa yang Gifta takutkan nyatanya masih berupa angan yang membayang dipikirannya. Semua masih rekaan-rekaan Gifta saja. Masih berupa kekalutan yang ada dalam bayangannya saja.
"Jadi visioner sih oke Gi, tapi nggak usah kejauhan juga, yang tampak didepan mata aja dulu. Ngalah-ngalahin peramal aja lo kalau kejauhan." Mili dan pikiran simpelnya pernah menasehati Gifta.
Untuk kondisi saat ini ingin rasanya Gifta menukar jiwanya dan Mili. Ia ingin memiliki pikiran seperti Mili agar hidupnya tak terasa seperti sedang memikul beban puluhan ton.
Libra ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top