BeHa | Enam

"Kamu mau aku masakin apa buat makan malam nanti?"

Inginnya sih Febe menjawab pertanyaan Gifta itu dengan kata, mau makan kamu. Tapi  jawaban Febe terhenti hanya sampai di rongga mulut. Ya kali Febe berani nyari gara-gara. Semalam saja Febe tidur dipunggungi Gifta gara-gara keusilannya menggelendoti istrinya seharian. Jadi  untuk memperlancar program pendekatan dengan Gifta, Febe harus pakai trik tarik ulur, nggak boleh gas pol terus, sesekali harus ngerem.

"Enaknya apa ya, Gi?" Febe pura-pura nanya balik. Ya kan biar jadi suami yang apa-apa minta pendapat istri.

Bukannya mendapat jawaban manis dari Gifta, Febe malah dihadiahi rolling eyes dari istrinya itu.

Emang Febe mau reaksi apa dari Gifta? Tersipu-sipu salah tingkah gitu? Mimpi kali Febe kalau  mendapat reaksi manis Gifta.

Gifta itu kan  pembangkang, yah sebelas dua belas lah sama kelakuan Febe  yang suka ngebangkang ke Mami Papinya. Jadi ya, Febe musti rela kalau  mendapat perlawanan dari Gifta. Orang dia sendiri juga kayak gitu ke orangtuanya.

"Nggak baik loh Gi kayak gitu ke suami. Dosa!" Nasehat Febe.

"Makanya kalau ditanya itu ya jangan nanya balik."

"Aku dengar loh, Gi." Sahut Febe yang mendengar jelas gerutuan Gifta.

"Jadi, kamu mau aku masakin apa buat makan malam nanti?" Gifta mengulang pertanyaannya. Salah satu tugas istri itu memastikan kebutuhan pangan suami tercukupi. Dan sebagai pasangan baru yang belum mengetahui kesukaan pasangannya wajarlah Gifta bertanya apa yang suaminya suka dan tidak suka. Sayangkan kalau masakan yang kita masak tidak dimakan karena tidak disukai. Atau terpaksa dimakan karena pasangan ingin menghargai perasaan kita.

"Makan kamu, boleh?" Akhirnya keluar juga jawaban yang ditahan-tahan Febe.

"Yang bener dong jawabnya." Gifta menatap Febe kesal.

"Beneran itu, Gi." Jawab Febe dengan tampang polos minta ditabok.

"Makanan Febe! Makanan! Emang aku ini lauk pauk apa?" Gerutu Gifta.

"Ya, bukanlah. Kamu istri aku." Polos gitu Febe jawabnya. "Tapi kalau dikasih pilihan makan kamu atau lauk ..." Febe menghentikan kata-katanya, menatap Gifta dengan seringai mesum, kemudian berkata, "Aku pilih makan kamu dong."

Bantal sofa yang sedari tadi berada di pelukan Gifta langsung melayang mengenai Febe. "Dasar bapak-bapak mesum!" Teriak Gifta.

Febe tertawa melihat reaksi Gifta. Senang rasanya menggoda gadis itu. Mendengar omelan, gerutuan dan bahkan ketika Gifta bersunggut-sunggut karena keusilannya merupakan hiburan tersendiri untuk Febe.

Dan lagi, belum pernah ada wanita yang dengan lancangnya membantah, mendebat, menggerutu atau melemparnya dengan bantal seperti hal barusan —kecuali mami— kepadanya. Hanya Gifta seorang. Namun hal itu tidak masalah untuk Febe. Sekalipun ngedumel Gifta tetap melaksanakan tugasnya sebagai istri, kecuali ya untuk satu hal yang coba masih Febe nego.

"Aku pemakan segala kok Gi. Jadi terima-terima aja mau dimasakin apa." Jawab Febe, tak mau Gifta semakin murka.

"Aku masakin kalong kamu makan juga?"

"Kalau kamu ikut makan aku mau aja." Jawaban Febe membuat Gifta bergidik ngeri.

Ya kali dia masak kalong. Selagi masih ada bahan lain yang bisa dimasak nggak bakalan Gifta masak itu.

"Ya udah nanti jangan ngomel ya kalau masakan ku nggak sesuai seleramu." Jawab Gifta akhirnya.

"Nggak akan!" Seru Febe yang dibalas kedikan bahu Gifta.

'Awas aja kalau komplain masakanku nanti, puasa masak selamanya aku.' ucap Gifta di dalam hati.

Ya kan, banyak orang modelan Febe gitu. Bilangnya nggak ada pantangan makan apa taunya bohong. Kalau Gifta mending jujur di awal daripada dikemudian hari ada omongan nggak mengenakan. Perih sih, tapi ya nggak seperih kejujuran yang terlambat diakui.

"Aku ganti siarannya ya, Gi." Izin Febe. Jari-jari Febe mulai mengganti-ganti siaran televisi.

Mereka berdua tengah duduk santai di sofa memandang televisi besar yang menempel di dinding ruang santai apartemen Febe.

"Suka bola nggak, Gi?" Tanya Febe ketika layar televisi menayangkan pertandingan bola.

"Lumayan." Jawab Gifta sekenanya.

"Kamu suka olahraga apa?" Febe membuka percakapan. Gifta itu modelan cewek tanya dulu. Kalau nggak ditanya nggak bakal ngebuka mulutnya untuk memulai percakapan.

"Apa aja sih. Nggak yang fanatik gitu aku." Gifta memang  tidak pilih-pilih olahraga. Semua jenis olahraga dia suka. Dari yang ekstrim sampai yang biasa. Tapi ya gitu, Gifta nggak yang freak gitu.

Febe mengangguk-angguk mendengar jawaban Gifta. " Kamu nggak mau tahu aku suka olahraga apa?" Ya kan masa dia aja yang tahu Gifta suka olahraga apa, Gifta harus tahu juga dong dia sukanya apa.

Gifta yang sedang memperhatikan pertandingan bola menolehkan kepalanya, menatap Febe yang tengah menatapnya. " Emang harus?"

Nah kan? Udah dipancing gitu masih nanya.

"Nggak harus sih. Tapi, ya, masa kamu nggak mau bikin seneng aku dengan pura-pura ingin tahu olahraga yang aku suka." Febe sok nggak pengen dipeduliin.

"Ya udah deh. Biar kamu seneng. Aku mau tanya olahraga apa yang kamu suka." Ucap Gifta ngeselin.

"Seriusan nih mau tahu?" Febe mulai jual mahal.

"Ckk, banyak gaya deh. Buruan kasih tahu." Kesal Gifta.

Febe tertawa. Gifta ini mudah sekali marah. Tapi cepet juga kalemnya. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Masih aja Febe becanda padahal udah dijutekin.

"Bodo!" Gifta nggak peduli.

Nah kan? Gifta diusilin. Dicuekin kan?

"Ah, nggak seru. Masa segitu aja sewot." Febe menoel Gifta, minta perhatian.

"Ya kamu sih. Tadi maksa aku tanyain olahraga kesukaan kamu. Giliran ditanya banyak gaya. Terserah deh mau jawab apa enggak. Nggak peduli mah aku." Gifta kembali memandangi layar televisi.

"Aku paling suka sepedaan sama jogging. Tapi  akhir-akhir ini udah jarang gitu ngelakuinnya, sibuk gitu kan, ditambah malas juga." Jelas Febe. "Tapi aku bakal rajin lagi olahraga karena sekarang punya kamu yang jadi temen olahragaku." Lanjutnya kemudian.

"Dih apaan." Gifta nggak terima. "Mau olahraga, ya olahraga aja sendiri ngapain juga ngajak-ngajak.  Apalagi jogging, males! Aku nggak suka  olahraga yang ngeluarin keringat. Nggak suka aku tuh kalau bajuku lembab, basah gitu."

"Lah, gimana ceritanya olahraga nggak ngeluarin keringat."

"Ya pokoknya aku nggak suka bajuku lembab karena keringat." Gifta tetep kekeuh.

"Oh, berarti olahraga ranjang nggak masalah dong, kan nggak pake baju."  Gifta langsung memberi lirikan mautnya ke Febe. Yang dibalas cengiran tak berdosa oleh pria itu.

***

"Aku bosan ih dua hari ini nggak ngapa-ngapain." Keluh Gifta.

Setelah menginjakkan kaki di apartemen hari itu, tak pernah mereka keluar lagi. Mereka hanya mendekam di apartemen.

Dan saat ini, mereka baru saja menyelesaikan makan malam mereka. Menu sederhana ala Gifta, request by Febe.

Iya, katanya tadi terserah dimasakin apa. Tapi ujung-ujungnya pria itu minta dimasakin gulai kepala ikan. Untung aja Febe ngomongnya nggak last minute, kalau  nggak mungkin kepala Febe yang akan digulai Gifta. Dan untung skill memasak Gifta masuk kategori lumayan expert, jadi ketika Febe bilang ingin dimasakin gulai Gifta bisa mewujudkannya.

Jadilah setelah mengatakan ingin makan apa buat makan malam, Febe diazab Gifta untuk menemaninya mencari kepala ikan. Setelah mencari-cari ke pasar tradisional akhirnya mereka menemukannya. Dan sekalian Gifta membeli kelengkapan untuk gulainya plus membeli bahan masakan untuk mengisi kulkasnya.

"Ya udah biar nggak bosan kita bikin baby aja." Lagi-lagi Febe dan usahanya.

Tangan Gifta yang tengah menyabuni piring langsung terhenti mendengar jawaban Febe. "Ringan banget itu mulut ngomong."

"Ya kan aku ngasih solusi Gi." Febe menaruh piring yang sudah dibilasnya di rak pengeringan.

Gifta mencuci bersih tangannya untuk menghilangkan busa sabun yang menempel. Kemudian mengeringkan tangannya dengan lap yang menggantung di samping lemari pendingin.

"Itu sih bukan solusi tapi itu inginnya kamu!" Gifta bersedekap, tubuhnya disandarkan di lemari pendingin.

"Itu inginnya laki-laki normal, Gi."

"Kamu aja itu! Laki-laki normal nggak itu mulu pikirannya."

"Tahu darimana kamu? Laki-laki ya Gi, apalagi kalau dihadapannya itu ada yang sah, pasti bakal mikir ke sana mulu."

"Kamu doang itu. Di novel yang aku baca nggak ada tuh."

"What? Kamu compare kehidupan kita sama novel. Novel itu cuma fiksi. Ditulis berdasarkan khayalan penulisnya. Di dunia nyata mana ada itu laki yang anggurin cewek yang ada di depan matanya. Istrinya lagi."

"Ada." Gifta masih ngotot.

"Siapa-siapa? Coba kasih tahu aku." Tantang Febe. "Orang nggak sah aja dijabanin biar napsunya tersalurkan lah ini ada yang sah dibiarin nganggur, itu laki sehat?"

"Ada pokoknya." Gifta masih kekeuh.

"Ya udah kalau ada. Tapi kalau  aku nggak bisa. Susah. Aku kan laki-laki normal. Baru nikah lagi ya wajarlah mikirnya ke sana. Yang nggak punya istri aja pengen ngerasain masa aku yang udah punya kamu nggak bisa ngerasain." Jawab Febe dengan  mupeng-nya.

Gifta bergidik, "Ih, apaan sih. Bahasanya itu mulu dari kemarin."

Febe duduk di kursi terdekatnya. "Kita ngomong blak-blakan aja ya, Gi." Febe melirik kursi yang ada di dekatnya, tanda untuk Gifta duduk di sana.

"Apa?" Tanya Gifta setelah duduk di kursinya.

"Aku ini laki-laki dewasa, tiga dua tahun." Mulai Febe. "Aku punya kebutuhan yang harus tersalurkan. Mungkin dulu aku bisa menahannya dengan cara menyibukkan diri dengan terus bekerja. Tapi kini, ketika aku setiap hari akan disajikan dengan memandang gadis cantik seperti kamu. Dengan fisik yang sesuai inginku bagaimana aku mampu. Imanku belum sekuat itu untuk menolak godaan yang ada di depan mataku."

"Tapi kita kan nggak saling cinta."

"Berhubungan badan itu nggak butuh cinta Gi. Tanpa cinta pun banyak orang-orang yang melakukannya."

"Tapi aku maunya melakukan dengan cinta. Dengan orang yang mencintaiku dan aku cintai."

"Ok. Tapi berapa lama waktunya untuk kamu cinta sama aku?"

Gifta terdiam. Tak bisa menjawab pertanyaannya Febe. Butuh waktu berapa lama agar ia bisa dengan ikhlas menyerahkan dirinya pada pria yang jadi suaminya ini.

***

Hari-hari berlalu. Febe dan Gifta kembali sibuk  dengan aktivitas mereka. Tak ada bahasan lagi tentang dedek bayi.

Dan sejak saat itu Febe tak lagi bersikap usil kepada Gifta. Tak ada lagi Febe yang suka mencuri kesempatan. Febe bersikap biasa. Interaksi mereka pun biasa. Membuat Gifta merasa bersalah karenanya.

"Masih galau ya Lo?" Mili menutup buku yang dibacanya. Menaruhnya di hadapannya. "Makanya kasih aja jatah laki Lo." Gifta melotot mendengar saran Mili.

Tadi Gifta menyambangi Mili ke kosannya yang ada di dekat kampus. Gifta malas pulang. Dia butuh tempat asing untuk menyegarkan otaknya yang kalau sudah berada di apartemen akan semakin kusut.

"Kenapa juga Lo melotot gitu ke gue. Yang gue bilangin bener kok. Kasih jatah laki Lo biar Lo nggak galau lagi. Biar Lo nggak dosa."

Percuma gue curhat sama nih makhluk, bukannya kasih pencerahan malah bikin otak semakin keruh batin Gifta. Nggak beranilah Gifta ngomong gitu ke Mili, diusir langsung dia yang  ada. Temennya itu kan bercita-cita untuk nikah muda. Jadi ketika dia tahu Gifta nikah muda Mili malah excited dan berkata dia iri.

"Lo pilih mana laki Lo dapet jatah dari Lo atau dia jajan di luar?"

Gifta melotot mendengar kata-kata Mili, "Awas aja kalau dia berani jajan di luar. Aku laporin Maminya biar punya dia dimutilasi." Gerutu Gifta.

"Yang ada Lo yang dimarahi karena nggak ngasih jatah anaknya." Gifta makin dilema mendengar kata-kata Mili. Bener, Mami pasti marah kalau tahu Gifta tak memberi jatah anaknya.

"Banyak kok produk perjodohan yang awalnya bilang nggak mau. Tapi  sekalinya ngerasain malah kecanduan. Sampe berjejer anaknya karena keenakan."  lanjut Mili.

Gifta terdiam, memikirkan kata-kata Mili yang sedikit banyak ada  benarnya. Banyak pasangan yang menikah karena dijodohkan awalnya menolak untuk melakukan hubungan suami istri terutama dari pihak perempuan.

Banyak cara yang dilakukan untuk menghindari kewajibannya sebagai istri. Mulai dari kabur pas malam pertama sampai dengan pingsan. Tapi itu hanya berlangsung sesaat, karena setelahnya mereka tetap melakukan ritual suami istri. Entahlah mungkin si pria sabar menghadapi tingkah polah istrinya atau si istri akhirnya sadar bahwa memang kewajibannya lah untuk membahagiakan suami secara batiniah. Itu kan perempuan-perempuan di luar sana bukan Gifta yang menjunjung tinggi paham kalau melakukan hubungan suami-istri itu harus berlandaskan cinta.

"Lo pikirin lagi deh apa dampaknya kalau Lo nahan-nahan jatah laki Lo. Dampaknya buat diri Lo dan rumah tangga Lo. Lagian nikah udah dua minggu masa belum ada getar-getar cinta yang Lo rasain buat laki Lo."

Orang bilang perempuan itu gampang untuk jatuh cinta. Dan Gifta rasa itu benar. Dia merasakan sedikit getaran itu. Merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat ketika bertatap mata dengan Febe. Merasa ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya ketika mendengar gombalan Febe. Yah, walaupun detaknya belum sekuat debaran jantungnya ketika ia kaget karena gempa. Walaupun kepakan sayap kupu-kupu yang dirasanya belum sekuat saat ia merasa tegang karena kondisi Papa. Paling tidak, ada sedikit ruang di hatinya yang sudah ia sisihkan untuk Febe.






With love,

Libra






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top