BeHa | Empat

Sakit rasanya ketika mengetahui alasan utama kamu diterima sebagai istri adalah karena harta. Tapi, Gifta berpikir secara logis. Tak mau membuat nalarnya kalah oleh emosi. Tak mau sisi sentimentilnya sebagai perempuan mengambil alih. Toh ia pun memiliki alasan yang tak jauh beda. Menikah karena kesehatan Papanya. So, ia tak boleh marah dengan kebenaran yang dibuka Febe. Ia tak boleh terluka.

"Jadi setelah ini kita tinggal dimana?" Tanya Gifta setelah mereka diam beberapa saat.

"Untuk sementara kita tinggal di apartemenku dulu, bagaimana?" Usul Febe.

"Okey!" Gifta menjawab.

Memangnya Gifta punya pilihan lain untuk tinggal di mana? Tentu saja tidak! Tinggal di apartemen lelaki yang sekarang menjadi suaminya jauh lebih baik daripada mereka harus tinggal di orangtuanya atau di rumah orangtua Febe, errr, pilihan terakhir lebih menyeramkan menurut Gifta.

Febe beranjak dari posisi tidurannya. Duduk bersandar di kepala ranjang. Membuat Gifta melakukan hal yang sama. "Adakah yang mau kamu tanyakan lagi atau adakah yang ingin kamu sampaikan lagi?" Tanya Febe pada Gifta.

"Untuk saat ini sudah cukup." Jawab Gifta.

Febe mengangguk, "Okey, kalau ada yang mau kamu tanyakan nanti tanyakan saja. Jangan simpan di hati." Ucap Febe lalu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.

"Baiklah." Seru Gifta pelan namun masih bisa ditangkap indera pendengar Febe.

Lima belas menit kemudian Febe keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk putih sebagai penutup tubuhnya. Tangan kanannya memegang handuk kecil yang digunakannya untuk mengusap rambutnya yang basah. Febe menghampiri Gifta yang masih berada di posisi yang sama ketika ia tinggalkan.

"Gi, kamu nggak mandi?"

Pertanyaan Febe membuat Gifta yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya mengangkat kepala lalu ia kembali menunduk karena pemandangan di hadapannya. "Ish, kenapa sih hobi banget berkeliaran kayak gitu." Keluh Gifta.

"Kayak apa?" Tanya Febe tidak mengerti.

"Pake handuk doang!" Cicit Gifta.

"Biasa aja kali Gi di dalam kamar pake handuk, trus kondisinya juga tepat kan? Aku habis mandi." Terang Febe. "Lain cerita kalau aku berkeliaran pake handuk di lobi atau ...."

"Udah ah nggak usah dijelasin." Gifta langsung memotong kata-kata Febe.

Gifta tahu kalau kondisi dan tempat di mana memakai handuk tepat. Yang tidak tepat itu adalah dirinya yang berada di sana. Oh Tuhan, Gifta kan belum terbiasa mengkonsumsi sendiri pemandangan seperti ini.

Biasanya ia melihat cowok-cowok topless itu bersama teman-temannya. Kalau sudah begitu biasanya akan keluar komentar-komentar nyeleneh yang akan membuat mereka tertawa-tawa mesum.

'Gilaaa, sixpack nyaaaa, bikin gue panas aja.'

'Dadanya itu pas banget buat gue senderan.'

'Bulu dadanya itu bikin gue gemes!'

'v-line nya, ya ampuuun!'

Atau

'Yang ketutup ck itu apa sih.' lalu ia dan teman-temannya tertawa.

Tapi itu ketika Gifta bersama teman-temannya. Nah, sekarang dia sendirian berhadapan dengan pria yang memiliki sixpack yang dulu bikin Gifta gemas. Di tambah dengan tetesan air yang masih mengalir di tubuh Febe dan berakhir di lipatan handuknya. Gifta jadi membayangkan pikiran mesumnya dan kawan-kawannya dulu ketika mereka  nonton drama bersama-sama.

"Gi, bajuku mana?" Pertanyaan Febe mengusik memori Gifta. Pria itu sudah berdiri di kaki ranjang, handuk yang tadi ia usap-usapkan ke rambut basahnya sudah ia sampirkan di bahu.

"Hah?" Gifta mengangkat kepalanya, belum on fokus efek melihat pemandangan panas di hadapannya tadi, ditambah pikiran ngalor-ngidulnya.

"Baju aku." Ulang Febe. "Kemarin aja kamu siapin tanpa kuminta masa sekarang nggak sih." Febe komplain.

"Aku kan nggak tau kalau kamu mau mandi. Kirain ke kamar mandi itu mau hajat aja." Kesal Gifta.

Gifta mana tahu kalau Febe bakal mandi. Dan biasanya laki-laki pasti ingin meninggalkan kesan yang baik pada pasangan dalam aktivitas pertama mereka. Apa-apa pasti ladies first, bahkan untuk urusan ke toilet. Mereka ingin terlihat baik, although not for romantic things. 
Menjadikan momen yang mereka lakukan akan selalu terkenang.

Namun Febe tidak melakukan itu. Ia tidak menanyai Gifta. Jadi jangan salahkan Gifta kalau ia tidak menyiapkan pakaian Febe.

"Aku itu mikirnya kamu pasti butuh waktu lama ke kamar mandinya, makanya aku inisiatif sendiri tanpa nanya kamu. Kalaupun aku tanya pasti kamu bakal nyuruh aku duluan." Terang Febe.

"Sok tau deh!" Gifta melangkah menuju lemari yang ada di ruangan itu. Mengambil satu stel pakaian Febe.

"Bukan sok tau sih. Tapi mencoba mengerti aja." Febe menerima pakaian yang disodorkan Gifta.

"Sekarang aku tanya nih, kamu mau mandi apa mau liat aku pakai baju?" Pertanyaan usil Febe membuat Gifta buru-buru lari ke kamar mandi.

Untuk saat ini cukup bagi Gifta untuk melihat tubuh bagian atas Febe. Ia belum siap untuk melihat bagian tubuh lainnya. Jantungnya belum cukup kuat untuk menerima semua itu.

***

"Jadi nanti kalian tinggal di apartemen?" Untung tadi Gifta sempat membahas masalah tempat tinggal mereka hingga tak perlu ada adegan keselek roti karena mendengar pertanyaan tiba-tiba yang di lontarkan ibu mertuanya.

"Iya Mam," jawab Febe sambil mengunyah nasi goreng sosisnya.

"Kenapa sih nggak tinggal di rumah aja." Tanya Mami Ratna.

"Nggak ah, Mami bawel." Jawaban Febe membuat Gifta tersedak kopi yang tengah diminumnya.

"Hati-hati dong, Gi." Wulandari mengusap punggung Gifta sementara Febe yang duduk di sampingnya sedang meringis kesakitan karena cubitan Maminya.

"Liat tuh, gara-gara omongan kurang ajar kamu menantu cantik Mami jadi celaka. Dan dengar ya Feberani, kalau bukan karena kebawelan Mami mu ini, hari ini kamu nggak bakal sarapan bareng istrimu yang cantik. Jadi masih mau ngatain Mami bawel, kamu?" Omel Ratna.

"Iya, iya, Mami. Aku berterimakasih banget karena udah Mami bawelin. Tapi tetep aja aku nggak mau tinggal di rumah. Aku aja yang anak Mami masih suka shock karena kebawelan Mami apalagi Gifta, jadi biar aman, aku ama Gifta mau tinggal di apartemen dulu. Sekalian mau pacaran. Kalau tinggal bareng Mami kan nggak leluasa."

Gifta yang tadinya shock mendengar jawaban Febe tentang kebawelan Maminya bertambah shock dengan penjelasan Febe di akhir ucapannya.

Perlu banget ya soal pacaran dan leluasa itu diperjelas. Bikin wajah Gifta memerah karena malu.

"Ya udah terserah kamu aja gimana baiknya. Yang penting tahun depan Mami pengen gendong cucu.

"Uhuk! Uhuk!" Gifta terbatuk-batuk mendengar ucapan Mami Ratna.

Gifta rasa lama-lama berkumpul dengan ibu mertuanya ia bisa mati tersedak karena ucapan spontan yang sering dilontarkan ibu mertuanya itu.

"Nah, lihat kan?" Febe menepuk-nepuk punggung Gifta beberapa kali. Menunggu reaksi Gifta beberapa saat kemudian menyodorkan air putih.

Ratna meringis bersalah. Mungkin apa yang dikatakan anaknya benar, ia terlalu bawel untuk berdekatan dengan menantu  cantiknya.


S

etelah sarapan yang ajaib menurut Gifta, kedua orantua mereka pamit pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkan Gifta dan Febe yang akan menghabiskan satu hari lagi di hotel sebelum pulang ke apartemen Febe.

Tak ada bulan madu karena Febe sibuk dengan pekerjaannya dan hal yang samapun berlaku untuk Gifta ia sibuk dengan jadwal kuliahnya.

•••


"Bosen ih di hotel terus." Keluh Gifta yang merasa bosan dengan aktivitas monotonnya, gegoleran sambil nonton.

Febe yang sibuk dengan ponselnya menoleh ke arah Gifta. "Berenang sana!" Usulnya.

"Malas ah, berenang." Menurut Gifta berenang bukan pilihan bagus dilakukan di siang menjelang sore ini, kulitnya bisa gosong terbakar.

"Kenapa? Takut gosong ya?" Goda Febe.

"Nggak ah, malas aja!" Elak Gifta. "Pulang aja bisa nggak sih, malas banget di sini."  Gifta berguling-guling di kasur tempat ia berbaring sedari tadi. Membungkus dirinya dengan selimut hingga membentuk kepompong.

"Ke mall samping gih," kebetulan hotel yang mereka tempati berdampingan dengan sebuah pusat perbelanjaan besar.

"Nggak ah bosen. Mall lagi, mall lagi. Pulang aja deh."

Kalau boleh memilih Gifta lebih baik mengurung dirinya di rumah daripada menghabiskan waktu berkeliling mall.

Di rumah Gifta bisa melakukan berbagai hal, mulai dari baca buku, ngerjain tugas, bengong di kamar, atau eksperimen memasak. Di rumah lebih banyak hal yang bisa ia lakukan.

"Aku punya ide menarik." sudut bibir Febe menyunggingkan senyum, tatapan geli berkilat di matanya.

Gifta berhenti berguling-guling, menatap Febe yang seolah sedang berpikir. "Apa?" Tanya Gifta tertarik.

"Hmm," Febe bergumam belum mau memberitahukan idenya.

"Lama banget sih mikirnya." Protes Gifta, kemudian kembali melakukan aktifitas yang menurutnya seru, berguling-guling di ranjang.

Febe berdiri dari sofa yang di dudukinya. Lalu duduk di pinggir ranjang. "Buat baby aja gimana?" Usul Febe disertai cengiran tak berdosa.

Gifta menghentikan kegiatannya berguling-guling tepat di samping Febe, raut panik terlihat di wajahnya. Masalahnya Gifta berada dalam posisi yang sangat  sulit untuk kabur.

"Jangan panik gitu dong." Febe menoel pipi Gifta, "Lagian itu kegiatan yang amat sangat bermanfaat loh, Gi, membunuh bosan sama mewujudkan keinginan Mami. Gimana, mau ya?"

Ucapan Febe membuat Gifta yang terkungkung didalam selimut makin panik. Gadis itu berusaha keras membuka lilitan selimut yang membelit tubuhnya.

"Nyantai aja Gi, nggak usah buru-buru gitu, aku nggak kemana-mana kok." Febe berucap datar.

"Jangan macam-macam ya kamu!" Kedua tangan Gifta sudah berhasil dikeluarkannya. Gadis itu sekarang sedang berusaha membebaskan kakinya.

"Kalau buat awalan semacam aja, Gi. Kalau udah biasa baru deh, macam-macam." Santai Febe berkata.

Mendengar kata-kata Febe, Gifta yang sedang berusaha membebaskan kakinya tambah panik. Ia menatap Febe garang, "Kamu kenapa sih?" Tanya Gifta dengan suara serak. Gifta rasa wajahnya sudah memerah menahan tangis disebabkan rasa marah karena emosi atas tingkah aneh Febe.

Ada apa dengan pria di sampingnya ini? Pikir Gifta. Bukankah mereka sudah melakukan deal bahwa tak ada hubungan intim tanpa paksaan. Tapi kenapa sekarang Febe terlihat hendak memaksakan keinginannya pada Gifta.

Febe yang melihat perubahan jelas di wajah Gifta langsung tertawa. "Ya ampun. Panik banget sih Gi diajakin bikin dedek. Becanda elah." Ucapnya kemudian berdiri hendak kembali ke sofa.

Sesaat Gifta tak berkedip, memahami kata-kata Febe. Setelah kesadarannya kembali Gifta yang merasa kesal karena dikerjain Febe, mengambil apapun yang ada di dekatnya lalu melemparkannya ke arah pria itu. "Kamu pikir itu lucu, hah? Kamu pikir kamu keren, hah?"

Gifta menatap Febe dengan air mata berlinang. Napasnya memburu karena kesal masih berkumpul di dadanya. "Senang kamu ngerjain aku? Puas kamu?" Ucap Gifta lalu tertunduk menangis.

Mata Febe menatap Gifta yang tengah membenamkan wajahnya di lutut, meredam tangisnya di sana. Lalu pada bantal-bantal yang berserakan di lantai. Yang dijadikan Gifta alat pelampiasan emosinya. "Gi!" Panggil Febe setelah duduk di samping Gifta Tangannya memegang bahu gadis itu.

Melihat Gifta yang berlinang air mata membuat Febe merasa benar-benar bersalah. Ia hanya bermain-main tadi. Tidak serius sama sekali. Tapi reaksi Gifta diluar dugaannya, Gifta mengamuk dan marah padanya.

Gifta mengedikkan bahunya mengusir tangan Febe, "jangan pegang-pegang." Protes Gifta.

"Jangan nangis dong. Aku cuma bercanda kok." Febe menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia tidak punya keahlian dalam hal bujuk membujuk perempuan.

"Auk, kamu jahat!"

"Aku minta maaf. Beneran tadi itu bercanda doang. Aku kan udah janji nggak maksa-maksa."

"Bodo, aku marah sama kamu!" Jawab Gifta dengan suara pelan karena teredam selimut dan lutut.

"Maaf Gi. Janji deh nggak bakal usulin kamu lagi." Febe masih berusaha membujuk Gifta yang masih menelungkupkan wajahnya di lutut.

"Kamu nggak sesak napas apa kayak gitu?" Tanya Febe peduli. Masalahnya posisi Gifta itu nggak enak banget menurut Febe, menumpukan wajahnya di lutut dan di tutup dengan selimut. Pasti sesak kan napasnya. Apalagi Gifta sekarang sedang menangis, pasti hidungnya tersumbat.

"Peduli apa kamu?"

"Peduli lah, kamu kan istriku." Sahut Febe cepat.

"Yakin kamu suamiku?" Gifta mengangkat kepalanya. Hidungnya merah karena tangis. Lelehan air mata masih mengalir di pipinya.

"Iya," Febe menganggukan kepalanya cepat.

"Mana ada suami yang bikin istrinya menangis." Ucap Gifta menatap Febe.

"Makanya aku minta maaf. Tadi itu aku cuma usil aja kok." Wajah Febe memelas maaf.

"Aku nggak mau!"

"Jangan gitu dong, Gi. Kalau ada orang yang minta maaf itu harus kita maafin. Apalagi orang itu bersungguh-sungguh menyesali perbuatannya."

"Emang kamu sungguhan minta maaf?" Gifta bukanlah seorang pendendam. Dia hanya kesal karena telah diusili. Jadi mudah saja baginya bertanya seperti itu.

"Iyalah. Kalau laki itu apa sih yang dipegang kalau bukan omonganya. Nah, sebagai laki, aku bersungguh-sungguh minta maaf karena udah ngusilin kamu trus bikin kamu kesal ampe nangis."

"Aku maafin tapi ada bayarannya." Gifta mengajukan negosiasi.

"Apa?" Febe akan memenuhi permintaan Gifta asalkan ia dimaafkan.

"Kita pulang sekarang. Trus jangan tuntut aku soal dedek bayi."



•••




With love,

Libra
















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top