BeHa | Delapan

Don't think too much!

Sering Gifta mendengar kata-kata itu digaungkan namun sulit baginya untuk mempraktikkan.

Kecemasan tak berdasar yang dialaminya semalam hingga membuatnya susah tidur tak terbukti adanya.

Seharian ini tak sekalipun Gifta menerima gangguan dari Febe. Orang yang menjadi sumber utama kecemasan Gifta disamping kebiasaan buruknya yang memang suka berprasangka buruk akan suatu hal padahal belum jelas kebenarannya.

Jangankan gangguan, melihat nama Febe dilayar ponselnya pun tidak. Sepertinya Febe begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia tidak sempat merealisasikan ucapannya semalam.

Atau Febe bohong tentang ia yang memiliki banyak fans di kantornya.

Buktinya, seharian ini tak sekalipun Gifta mendengar nama Febe disebut oleh karyawan perempuan yang ada di divisinya —accounting department. Beda dengan pemilik nama Tara. Semenjak menempati kursi sementaranya di divisi ini, nama itu selalu disebut-sebut oleh para wanita penghuni divisi. Pak Tara begini. Pak Tara begitu. Banyak lagi. Membuat Gifta penasaran seperti apa sih rupa pak Tara ini. Dan menurut Mbak Ine, salah seorang senior di accounting department Pak Tara adalah pimpinan dari plant division yang artinya hanya sedikit kesempatan yang didapat anak accounting untuk melihat rupa Pak Tara. Selain karena beda divisi, plant juga berada di gedung yang berbeda. Jadi maklum aja kalau melihat ke norakan cewek-cewek accounting hari ini. Mereka jarang dapat asupan gizi untuk mata sih.

•••

Tunggu aku di lobi.

Isi pesan yang dikirim Febe lima menit sebelum pulang membuat Gifta terdampar di lobi utama Nusantara Technology.

Gifta melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lima belas menit telah berlalu dari jam pulang. Namun Febe yang menyuruhnya menunggu belum juga tampak batang hidungnya. Dan karena Gifta bukanlah orang yang memiliki kesabaran tinggi  maka dilangkahkan kakinya keluar lobi utama Nusantara Technology menuju jalan besar tempat angkutan umum biasanya lalu-lalang.

'Di mana?' Nada kesal tertangkap telinga Gifta begitu ia mengangkat telpon dari Febe.

'Di lobi ...'

Belum selesai Gifta menjawab Febe langsung memotong kata-katanya. 'Nggak ada! Kamu di mana?'

Gifta menjauhkan ponsel dari telinganya yang berdengung karena bentakan Febe.  Keningnya berkerut. 'Dih, seharusnya yang marah-marah itu gue bukan Lo!' gumam Gifta lalu mematikan sambungan ponsel begitu saja. Ponselnya kembali bergetar namun Gifta mengabaikannya.

Dengan santai Gifta melenggang memasuki lift yang kebetulan terbuka, memencet tombol menuju unit tempat tinggalnya. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum, 'Jangan pernah bikin Gifta Aluna menunggu, Feberani.' gumam Gifta.

•••

Setengah jam kemudian Febe pulang dengan tampang murka. Febe menghampiri Gifta yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bercekak pinggang.

"Di lobi bagian mananya kamu, ha?'

Gifta melirik Febe dengan sudut matanya. Tangannya sibuk mengusap rambut basahnya, tak terpengaruh dengan kemurkaan yang diperlihatkan Febe.

"Di lobi apartemen." Jawab Gifta santai. Dia berjalan melewati Febe. Menaruh handuk kecil yang dipakai untuk mengusap rambut basahnya di kursi meja rias.  "Makanya kalau orang ngomong itu jangan main potong aja." Dari pantulan cermin Gifta melihat rahang Febe yang mengeras, menahan emosi.

"Apa salahnya kalau kamu beritahu aku. Kirim pesan kalau memang kamu malas mendengar suaraku."

Gifta tak menjawab tanya Febe, tangannya sibuk menyisir rambutnya yang basah. Setelah selesai Gifta meninggalkan Febe tanpa berniat merias wajahnya terlebih dahulu. "Mandi dulu gih biar panas di kepalamu reda." Ucap Gifta sebelum benar-benar berlalu dari kamar mereka.

"Maaf tadi aku marah-marah." Febe menghampiri Gifta yang tengah sibuk berkutat memasak makan malam mereka di dapur.

Gifta berbalik menghadap Febe dengan tangan bersedekap di dada dan alis menukik, "Ini beneran minta maafnya?" Febe mengangguk sebagai jawaban.

"Bukan karena kamu takut nggak kukasih makan kan?" Siapa tahu kan maaf yang diucapkan Febe hanya akal-akalan saja.

"Ya nggak lah."

"Oke. Kumaafkan." Jawab Gifta santai. "Tapi ingat, besok-besok kalau kamu bikin janji denganku harus tepat waktu. Boleh saja kamu bos di perusahaan mu dan bisa berlaku sesukamu. Tapi kalau sama aku semua nggak bisa begitu. Aku benci orang yang tak tepat waktu. Aku benci menunggu." Gifta kembali membalik tubuhnya menghadap konter, kembali sibuk dengan apapun yang tadi ia kerjakan.

"Note!" Febe tersenyum senang karena Gifta memaafkannya.

Tadi ia sangat cemas karena tidak menemukan Gifta di lobi utama kantornya. Bertanya pada orang yang ada di sana tak berguna. Karena mereka tidak tahu siapa yang Febe cari. Menelpon Gifta namun tak diangkat. Sekalinya diangkat namun jawabannya tak jelas karena Febe sudah emosi duluan. Febe coba menghubungi Gifta lagi tapi istrinya itu tak mengangkat panggilannya. Akhirnya Febe pasrah. Dengan kecepatan penuh dipacunya mobil yang dikendarainya menuju apartemen mereka dengan pikiran lobi yang dimaksud Gifta tadi adalah lobi apartemen.

Dan benar saja ketika Febe sampai di unitnya. Ia melihat sepatu Gifta tertata rapi di rak sepatu. Dan ketika melangkah ke kamar tidur ia melihat istrinya itu sudah segar sehabis mandi walaupun belum rapi namun di mata Febe Gifta dengan kondisi itu terlihat seksi. Rambut setengah basah dengan celana setengah paha yang tertutup baju kaos kebesaran warna putih.

Namun karena emosinya belum sepenuhnya tersalurkan Febe bertanya pada Gifta dengan nada tinggi. Dan untung saja Gifta menanggapinya dengan santai. Kalau tidak, Febe yakin akan terjadi perang besar pertama dalam rumah tangga mereka mengingat ia bukanlah orang yang gampang mengalah. Ia terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Tadi itu ada berkas yang musti aku tanda tangani makanya aku telat turun ke lobi." Beritahu Febe. "Trus aku mikir pasti kamu bakal nungguin aku, toh gak lama juga. Eh, pas aku sampe lobi aku nggak liat kamu. Aku telpon-telpon nggak kamu angkat. Aku takut kamu hilang."

Gifta mengangga mendengar ucapan terakhir Febe. Hel to the loooo, helloooo, emang dia ada di mana sih sampai hilang begitu. Di China? Nggak kan? Di Nusantara Technology kan ya? Tempat yang masih berada di kota tempat ia lahir dan dibesarkan. Tempat yang cuma berjarak setengah jam dari rumahnya. Jadi dibagian mananya ia akan hilang ditempat sekecil Nusantara Technology itu?

"Ngaco kamu." Akhirnya cuma kata-kata itu yang keluar dari mulut Gifta.

"Namanya juga panik, Gi." Jawab Febe disertai cengiran malu.

"Terserah kamu deh." Putus Gifta. Terserah deh alasan Febe apa Gifta tidak mau memikirkannya yang penting Febe sudah kembali normal, rahangnya tak lagi  mengetat menahan amarah.

•••

Hari kedua magang masih sama. Gifta masih menjadi petugas fotokopi. Gifta rasa setelah lulus nanti membuka kios fotokopi bisa menjadi salah satu alternatif usaha yang bisa digelutinya seandainya ia tidak mendapatkan pekerjaan di kantoran. Karena cita-cita Gifta sampai detik ini masih sama menjadi karyawan kantoran.

Dan topik pak Tara masih menggema seantero accounting departement. Karena ada beberapa pasang mata melihat sekelebat bayangan pak Tara berkeliaran di gedung utama. Dan itu membuat tingkat penasaran Gifta jadi tinggi. Gifta ingin compare pak Tara ini dengan Febe, secakep apa pak Tara ini hingga menjadi bahan obrolan cewek-cewek di sini.

Hari ketiga mulai ada kemajuan. Gifta sudah diserahkan tugas lain yaitu sortir dokumen transaksi. Lumayanlah daripada ngekopi berkas. Siapa tau besok-besok Gifta disuruh input data ke sistem perusahaan. Siapa tahu kan?

Jam bulat yang tertempel di dinding di atas pintu masuk accounting departement menunjukkan pukul lima kurang lima menit sebentar lagi waktunya pulang. Meja yang Gifta tempati sudah rapi. Bukan karena Gifta semangat merapikannya karena waktu pulang akan tiba, tapi memang pekerjaan Gifta yang sedikit membuat mejanya selalu rapi dan bersih berbeda dengan meja karyawan lainnya di divisi ini yang dipenuhi ATK.

“Udah jam lima loh, Gi, nggak pulang?” tanya Mbak Ine karyawan senior di accounting department.

“Boleh, mbak?” tanya Gifta basa-basi. Ya kali dia main menyelonong pulang sementara orang-orang akunting masih betah di mejanya masing-masing.

“Ya boleh dong.”

Setelah mendapat izin dari Mbak Ine Gifta segera mengambil tas ranselnya yang ia taruh di bawah meja.

Anak magang seperti dirinya nggak mungkin bawa tas Givenchy ke kantor, ya walaupun tas yang dipakai kualitas bawah tetap aja bakal jadi bahan julid para cewek-cewek senior di kantornya. Kalau nggak ngomongin kualitas tasnya yang B aja. Ya, ngomongin dia jadi anak magang kok belagu sok pake tas bermerek padahal B aja. Pokoknya pasti di mata mereka anak magang itu banyak celanya.

Darimana Gifta tahu? Adalah Gifta denger selentingan kabar begitu. Tapi karena Gifta anaknya nggak peduli sama ucapan orang ya dia selow aja. Eh, tapi kalau yang ngomong didepannya langsung mungkin Gifta bakal labrak, Gifta gitu loh. Sejauh ini sih belum ada yang berani ngomong  di depan Gifta hanya bisik-bisik aja.

“Duluan ya, mbak.” Pamit Gifta pada Mbak Ine yang jadi senior paling baik untuk saat ini karena mau ngajarin Gifta hal-hal terkait akunting walaupun masih basicnya.

"Hati-hati ya!" Mbak Ine yang masih sibuk dengan komputer di depannya berseru. Maklum akhir bulan dia lagi sibuk dengan pembukuan.

Karena tidak mendapat pesan atau perintah apapun dari Febe, Gifta langsung saja meninggalkan lobi menuju jalanan utama yang berada beberapa ratus meter dari bangunan Nusantara Technology untuk menaiki kendaraan umum yang berlalu lalang.

Ya kali Gifta nungguin Febe padahal yang ditunggu nggak ngasih aba-aba bakal pulang bareng. Kenapa Gifta nggak nelpon aja? Tanya gitu? Yee, Gifta kan nggak manjaan jadi orang. Dia bisa pulang sendiri kok. Daripada nasibnya nggak jelas lebih baik Gifta cuss pulang sendiri. Duit ada buat ongkos. Alamat yang dituju tau. So, kenapa harus bergantung pada Febe.

Keseruan Gifta main game find the differences 500 terusik karena panggilan telpon dari Febe. Dan begitu Gifta menyebutkannya posisinya telpon langsung dimatikan begitu saja oleh Febe. Gifta hanya mengerutkan dahinya dan kembali melanjutkan permainannya yang tertunda tanpa berniat menelpon balik Febe yang sepertinya kesal karena Gifta tak pulang bersamanya.


•••

Libra ❤️


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top