Behind The Star

***

Petang sepulang sekolah, lelaki menyebalkan itu memintaku untuk menunggunya di lapangan sepak bola. Padahal aku harus segera pulang, tapi kaki ini malah bergegas menuju ke tempat yang dia minta.

Kulihat Taehyung berlarian mengejar bola di tengah lapangan. Kemeja sekolahnya terbuka di sana sini. Memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang--- well--- tidak atletis. Namun kau tidak bisa menilai buruk atas kepandaiannya dalam hal sepak bola, hanya karena tubuhnya yang cukup kerempeng.

"GOOOOL! KYAAAA!" pekik kerumunan di pinggir lapangan.

Ah, rupanya yang barusan mencetak gol tadi itu Taehyung. Terlihat senyum Taehyung mengembang di tengah lapangan. Satu telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah kerumunan murid perempuan di sebelah sana. Biar kulihat, drama apalagi yang akan dia mainkan sore ini?

Priiiittt...

Kim Taehyung. Nama lelaki itu dielu-elukan oleh kebanyakan orang di situ. Sedangkan aku hanya melihatnya dari seberang ujung lapangan.

Aku membetulkan kacamata minus tebalku, seraya menajamkan mata untuk melihat apa yang sedang diributkan mereka. Terdengar olok-olok khas yang sering aku dengar. Karena sekarang lelaki itu sedang berhadapan dengan seorang gadis yang tengah menyodorkan sebotol minuman dingin padanya.

Lalu tiba-tiba Taehyung menyambar botol itseraya mengacak lembut puncak kepala gadis tadi. Seketika terdengar gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai dari orang-orang di sana. Ah, sudahlah, lebih baik aku pulang saja. Tanpa pikir panjang, aku berjalan cepat menjauh ke arah gerbang sekolah.

"Berani-beraninya kau meninggalkan aku?! Yaaa, Kim Daera!" pekik seseorang yang aku hapal suaranya.

Lelaki itu menyambar bahuku sehingga aktersentak ke belakang. "Mwo? Kau yang menyebalkan!"

Anehnya, dia malah terbahak kegelian sangat puas"Kau sangat lucu kalau sedang marah."

"Terserah kau saja," ucapku sambil melengos masuk ke bis berwarna biru. Taehyung duduk pada kursi tepat di depanku dan langsung jatuh tertidur. Aku tertawa kecil, melempar pandangan ke luar jendela bis.

***

Masih terngiang jelas kata-kata Choi Ssaem tadi. "Daera-ssi, ini tentang realita. Hmm, kau--- mungkin saja tak bisa membayar uang masuk di kedokteran."

Konsultasi kuliah dengan Choi Ssaem siang ini sangat melelahkan. Sekolah sialan ini benar-benar tak mau memberikan rekomendasi padaku ke jurusan kedokteran di Universitas Nasional Seoul. Menurut Choi Ssaem, satu-satunya rekomendasi itu akan diberikan pada Kim Taehyung. Keluarga Taehyung yang memiliki lahan pertanian dan peternakan di hampir setiap sudut kota Daegumenjadi satu-satunya faktor yang diperhitungkan oleh sekolah.

Perpustakaan menjadi salah satu sasaran agar emosiku dapat tersalurkan. Rasanya, buku dapat menyembuhkan nyeri di hatiku. Langkahku kurang cepat, sehingga kedua mata ini tak lagi bisa berkompromi saat cairan-cairan bening nan menyebalkan itu meluncur deras dari mataku. Sungguh memalukan.

Aku menuju rak favoritku yang berada di ujung ruangan besar ini. Tapi kakiku terpaksa mati saat mendapati seorang lelaki tertidur pulas di ujung sana. Demi Tuhan dari sekian banyak rak di sini, kenapa dia harus berada di lorong favoritku?

"Taehyung-ah?" lirihku.

Napasku tercekat saat Taehyung mengerjap lalu menatapku. Saat akan berbalik badan, Taehyung lebih dulu menyeretku ke sisi rak buku yang paling dalam. Wajah Taehyung sama sekali tak bisa kutebak. Tatapannya begitu memburu saat memindai kedua netraku yang terus mengarah ke bawah.

"Daera-ya, apa kau baik-baik saja?" lirihnya.

Aku mengusap wajahku dengan kasar. "Apa aku terlihat baik? Demi Tuhan, aku akan buktikan---"

Taehyung memeluk tubuhku tanpa persetujuanku. Haish, tangis ini malah semakin pecah di dadanya. Kedua lengannya mencengkram tubuhku yang semakin tak berdaya. Aku memaksakan diri untuk lepas dari dekapannya. Hatiku semakin nyeri mengingat aku dan ibuku yang harus hidup dari upah yang diberikan oleh keluarganya.

"Aku membencimu, Kim!"

Dia mengernyit bingung. Jelas saja dia tak tahu-menahu, atas dasar apa aku membencinya.

"Terlalu membenciku hanya akan membuatmu lebih cepat jatuh cinta padaku," ucapnya dengan wajah serius yang kuanggap konyol itu.

Seketika tawaku meledak dengan mata yanmasih berderai. "Sialan! Bualanmu itu tak akan mempan padaku."

Taehyung tersenyum dan bersandar pada sisi rak di belakangnya. "Memang. Tapi setidaknya bisa menghentikan tangisan bodohmu itu."

"Huh? Bodoh kau bilang?"

"Wajahmu mengerikan sekali. Apa kau menangisi nasibmu yang tak punya kekasih?"

"Urusi saja koleksi wanitamu itu."

Taehyung terbahak. Kedua tangan lelaki itu tiba-tiba melepas kacamataku dalam satu gerakan. "Biarkan seperti ini."

Dengan kesal aku berusaha meraih benda yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya itu. Tapi nampaknya Taehyung malah semakin mengerjaiku.

"Berjanjilah untuk tak menangis hanya karena seorang lelaki?"

"Astaga, siapa yang menangis karena itu?" Akhirnya aku berhasil meraih kacamataku.

Lagi-lagi Taehyung terkekeh ganjil lalu pergi begitu saja. Lihat sendiri kan? Aku bahkan sudah kebal dengan sikap acaknya.

***

Setelah ujian nasional usai, Taehyung bilang ada yang ingin dia katakan padaku. Namun, aku disuruh menunggu di akhir acara kelulusan sekolah. Lagi-lagi permintaan aneh darinya. Saat itu dia sampai mengancamku, "Kuperingatkan, kau harus mempersiapkan diri dengan baik."

"Memangnya penting?"

"Tentu saja," ucapnya emosi.

Cih, tapi apa? Selama acara kelulusan sekolah berlangsung, dia terlihat begitu mesra dengan seorang gadis yang juga adalah mantan pemandu sorak di angkatanku.

Persetan denganmu, Kim Taehyung!

***

Kuputuskan untuk nekat masuk ke universitas lapis dua. Walaupun bukan kedokteran umum, tapi jurusanku masih bersinggungan dengan cita-cita awal. Akhirnya aku berangkat ke Seoul setelah bertengkar hebat dengan ibuku.

"Daera-ya, kau tak akan berhasil di kota sebesar itu! Taruh kembali tasmu dan bantu aku mengurusi kuda-kuda milik Tuan Kim," pekik ibuku.

Mataku kembali basah. Diam-diam berjanji dalam hati. Kelak setelah aku sukses, aku akan membawa ibu bersamaku. Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini.

Sewaktu menempati flat sederhana paling murah di daerah dekat kampus, aku menata ulang barang-barangku di ruangan sempit ini. Lalu tanpa sengaja aku melihat sepucuk surat berwarna ungu di dalam salah satu saku tas sekolahku. Penasaran, aku pun membukanya.

You and I are like cell phones

When we're apart, you know we'll be broken

Only your scent completes me

Hurry and hug me, Kim Daera

-KTH-

Astaga, apa maksudnya semua ini? Inisial nama di ujung surat membuatku bertanya-tanya. Ini dia kan?

Kenapa di saat akan memulai kehidupan baru, aku mulai menyadari besarnya perasaan yang sia-sia ini pada Taehyung? Dia bilang, aku tak boleh menangis karena seorang lelaki. Namun coba lihat, dialah yang membuatku sepertini.

***

Sebelas tahun berlalu. Kini aku bekerja di sebuah klinik eksklusif kepunyaan dokter gigi ternama di Seoul. Aku telah resmi menjadi seorang dokter gigi setelah berhasil mengantongi surat izin praktek.

Tapi kenapa situasi klinik siang ini begitu ramai? Oh, rupanya ada pemeriksaan gigi rutin yang diadakan suatu perusahaan agensi ternama.

"Pasien berikutnya, mohon ke ruangan sebelah kanan," ucap asisten perawat di klinik. Ritme kerja hari ini sungguh cepat, bahkan aku tak sempat melihat medical record miliknya.

Aku membenahi sneli dan mengulas senyumalebar untuk menyambut pasien itu masuk. "Selamat datang---"

Lidahku kelu atas aura yang membius kesadaranku. Sambutan yang sudah aku persiapkan gagal total. Lelaki berkacamata hitam yang baru masuk itu pun sama kagetnya denganku. "Kim Daera?" lirihnya nyaris tak terdengar olehku.

"Duduklah." Walaupun dia mengenakan topi dan kacamata, sekilas aku tahu, dia adalah idol dari grup terkenal. Tak heran, karena klinik tempat aku bekerja memang sangat terkenal di Kota Seoul.

Tunggu dulu. Bagaimana lelaki itu bisa tahu namaku? Apa mungkin dia membaca plat namaku di depan ruangan. Tapi sepertinya dia tak asing bagiku. Hanya saja dia terlalu banyak diam saat aku memeriksa barisan giginya yang sudah apik itu. Anehnya, dia hanya mengangguk atau menggeleng padaku.

***

Total 5 jam sudah aku berkutat untuk menyelesaikan pemeriksaan rutin seluruh artis dan karyawan naungan Big Hit Entertainment. Tubuhku mati rasa. Bahkan aku hanya sempat makan dan minum ala kadarnya.

Aku menyambar tasku, lalu beranjak keluar dari klinik. Namun tiba-tiba seseorang menyeretku dari belakang dan memaksa untuk ikut masuk ke dalam sebuah mobil van hitam. Apa aku diculik?

"Daera-ya, ini aku," ucapnya.

Suara itu, aku mengenalinya maka aku segera berbalik badan. "Kim Taehyung?"

Dia mengangguk, tanpa topi, masker dan kacamata. Kuamati baik-baik wajah tampannya yang tanpa penghalang itu.

"V? Taehyung-ah? Kau---?" ucapku bingung.

Dia mendengus kesal. "Wah benar-benar kau berhasil membuatku mati kutu?!"

"Bu--- bukan begitu. Maaf, tapi bukankah kau seharusnya sudah menjadi seorang dokter?" lirihku.

Taehyung mengeratkan rahangnya dengan terumenatapku seolah kesal luar biasa. "Tentu saja tidak! Aku membuang cita-citaku dan beralih menjadi idol karena kau!"

"Aku? Taehyung-ah, tapi aku melihat namamu lolos di Fakultas Kedokteran." Setelah sekian lama, kini aku kembali menangis. Ah, kenapa juga semuanya menjadi rumit.

"Awalnya kukira aku bisa mudah menemukanmu dengan menjadi seorang artis." Dia terkekeh miris. "Tak kusangka sudah bertemu pun, kau tak mengenaliku."

"Maaf---"

"Sudahlah. Jadi, bisakah aku meminta jawabanmu untuk suratku?"

Aku mengernyit heran. "Jawaban apa?"

"Astaga kau sama sekali tak berubah. Kau paham kan itu pernyataan cinta untukmu?" Ia menyeringai kehabisan akal, memainkan sebuah alunan musik dari ponselnya. "Lagu ini kuciptakan 2 tahun setelah debut, untuk mencari cinta yang pernah hilang."

Hold me tight, hug me

Can you trust me, can you trust me

Please, please, please pull me in and hume

Bibirku tak dapat berkata-kata lagi.

"Bodoh, aku berkencan dengan semua gadis di sekolah hanya untuk membuatmu cemburu," gumamnya terkekeh.

Aku memeluknya tiba-tiba. Namun Taehyung mendorong dan tanpa bisa kucegah, bibirnya sudah menyentuh milikku. Dengan segala emosinya ia mengecup bibirku yang bergetar.

Jemari tangannya meraba dan berusaha menaut dengan milikku. Lalu mendadak ia menjauhkan wajahnya dengan cepat. Perlahan ia mengangkat satu tanganku, dimana sebuah cincin tersemat di jari manis kananku.

"Kau sudah menikah?" Sorot kecewa itu sukses meremukkan hatiku.

Raunganku mulai hilang kendali. "Maafkan aku."

Aku tahu, semuanya sudah terlambat. Ini semua memang salahku yang hanya berusaha keras menjalani hidup tenang di luar bayang-bayangnya. Kupikir, aku tak pernah memiliki hatinya bahkan untuk satu detik pun di hidupku.

-End-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top