6. Beruntung
350 comment lanjut ke part selanjutnya wkwkwk. Kalau aku ngga update spam aja wkwk.
Selamat membaca^^
***
Latisha berdiri di depan pintu cokelat berbahan dasar kayu, menanti sosok di balik pintu ini lekas membukakannya pintu. Dia mengetuk kembali pintu di hadapannya. Terbesit keraguan di dirinya karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.48. Gadis berambut panjang itu hendak melangkah pergi. Namun, ketika suara "cklek" terdengar, langkah Latisha terhenti.
"Ya Allah, Latisha! Lo kenapa?"
"Bokap gue, Re." Latisha menangis di dalam pelukan Rere.
"Sssh, masuk dulu, yuk! Ceritain di dalam aja di sini dingin." Rere menguraikan pelukannya. Dia membantu Latisha membawa masuk barang-barangnya. Rere menyimpan koper dan barang bawaan sahabatnya itu ke kamar kosong di sebelah kamarnya. Kemudian, menyediakan air mineral untuk gadis yang saat ini duduk di ruang tamunya.
"Tenangin diri lo dulu. Setelah itu, lo bisa cerita apa pun ke gue." Latisha mengangguk kecil. Dia meraih segelas air lalu meneguknya hingga habis. Gadis itu mengatur deru napasnya kemudian mulai menceritakan rentetan kejadian yang membuatnya datang ke tempat Rere.
"Jadi, gue mau minta izin ke lo untuk sementara waktu boleh atau engganya gue nginep di sini sampai gue bisa nyari tempat tinggal baru," tutup Latisha di akhir cerita.
"Ih, lo ngomong apasih? Nggak usah nyari-nyari tempat baru. Mulai sekarang lo tinggal sama gue."
"Tapi—"
"Ngga ada tapi-tapian. Sampe lo pindah dari sini, gue ngga mau lagi ketemu sama lo," ancam Rere. Latisha menangis terharu. Matanya yang sudah membengkak kini semakin membuat dirinya terlihat sehabis berkelahi. Latisha memeluk erat Rere.
"Makasih, Re. Gue beruntung bisa kenal sama lo."
"Iya, Tish. Mending sekarang lo tidur. Besok lo harus sekolah, kan?" Latisha menguraikan pelukannya kemudian mengangguk kecil.
"Sekali lagi makasih, Re."
***
"Selamat pagi semua! Maaf hari ini bapak tidak bisa mengajar kalian soalnya bapak ada keperluan mendadak di dinas pendidikan. Sebagai gantinya bapak akan memberikan lima soal untuk kalian kerjakan," ujar Pak Sutarno, guru seni musik.
Pak Sutarno mendikte soal yang dia berikan untuk murid-muridnya. Setelah semua soal dibacakan, dia pamit undur diri.
Suasana bising memenuhi ruang kelas XII-MIPA 1 setelah pria berkepala botak itu keluar. Tidak ada yang berniat mengerjakan tugas dari Pak Sutarno, kecuali penggiat ranking kelas.
"Kerjain di perpustakaan aja yuk, Tish," ajak Ara. Latisha mengangguk semangat. Mereka melangkah ke perpustakaan supaya dapat mengerjakan soal lebih tenang.
Ketika melewati ruang musik, seketika pikiran Latisha berkelana ke kejadian kemarin. Dia masih mengingat dengan jelas tatapan tajam dari pemilik iris mata abu-abu itu.
Suasana hening menyambut kedatangan mereka ketika tiba di ruangan yang berisi buku-buku itu. Hanya saja, perpustakaan sedang ramai karena murid kelas XII-MIPA 4 sedang mengerjakan tugas.
Latisha dan Ara menatap ke sekeliling ruangan. Hanya tersisa dua bangku di pojok ruangan tepat di bawah pendingin ruangan. Namun, sosok yang berada di samping bangku kosong itu membuat mereka enggan melangkah.
"Balik aja, yuk?" tanya Latisha kepada Ara.
"Di kelas berisik. Ya udahlah nggak apa-apa di sebelah dia." Ara melangkah terlebih dahulu. Dengan terpaksa, Latisha duduk di samping sosok itu. Hawa dingin terasa ke dirinya--hawa yang dipancarkan oleh seseorang di sampingnya.
Ara dan Latisha mengerjakan soal demi soal yang diberikan. Dengan kecepatan internet yang memadai, mereka dapat menyelesaikan tiap soal dengan bertanya mbah google. Hanya tersisa satu pertanyaan.
"Seorang komposer dan seorang pianis. Berasal dari Jerman. Beliau merupakan salah satu komposer yang tuli, tetapi tetap menciptakan musik-musik yang indah. Lantas, siapakah dia?" gumam Latisha.
"Apa, ya, jawabannya?"
"Coba cari google, Ra." Ara mengangguk patuh. Dia mengetik sesuai dengan soal yang diberikan.
"Kayaknya Johann Sebastian deh," ujar Ara setelah lama mencari.
"Johann, nih? Oke." Ketika Latisha hendak menulis, suara berat menghentikan gerakan tangannya--suara yang berasal dari sosok di sebelahnya.
"Beethoven." Latisha dan Ara mengernyit bingung. Mereka saling berpandangan. Ara melirik cowok di sebelahnya.
"Maksudnya?"
"Ludwig van Beethoven." Latisha terdiam. Dia tidak mengerti maksud dari perkataan cowok dingin ini. Desahan lelah keluar dari bibir cowok di sampingnya.
"Jawabannya. Itu jawabannya Ludwig van Beethoven." Latisha dan Ara ber-oh ria. Mereka segera menulis jawaban yang benar. Senyum tercetak di wajah cantik mereka.
"Yuk, ngumpulin!"
Latisha mengangguk semangat. Mereka beranjak dari duduknya. Sebelum itu, Latisha berhenti sejenak. Dia tersenyum tulus dan berkata, "Makasih, ya!"
Cowok yang tidak lain adalah Farrel terdiam. Semu merah merambat ke pipinya. Degup jantungnya berdegup tak sesuai ritme. Pipinya memanas. Dia memang tidak melihat senyuman itu, tetapi mengapa dapat membuatnya seperti ini?
Farrel menoleh ke arah Latisha dan Ara yang berjalan menjauh. Hingga akhirnya, mereka tidak dapat dia lihat lagi.
***
Mau lanjut? Spam aja wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top