Behind The Mist
Aku lupa kapan matahari terlihat begitu bersinar di kota ini, Daptty City. Kota yang mempunyai keindahan alam di setiap sudutnya. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh seakan menunjukkan betapa kuat kota ini. Kota yang telihat begitu menawan di malam hari karena kerlap-kerlip lampu kota, dan terlihat begitu sibuk di pagi hari karena para penghuninya berlalu lalang di jalanan ibu kota.
Aku tak begitu menyukai keramaian, oleh karena itu aku bersyukur tak menempati salah satu rumah di sudut ibu kota. Aku tinggal jauh di pedalaman kota tersebut. Di mana hutan masih tumbuh lebat. Deburan ombak masih terdengar indah tatkala menghantam pinggiran tebing. Dan kicauan burung masih merdu terdengar di telingaku setiap hari. Tempat yang dulu cukup nyaman kutinggali. Ya, dulu. Sangat dulu sekali, sebelum kabut itu datang dan membuat duniaku seakan gelap.
Seperti soreku setiap hari, aku duduk sendirian di pinggir jurang, menatap luasnya laut di hadapanku. Pemandangan yang begitu menenangkan dan membuatku lupa akan semua masalah yang kuhadapi. Namun, lautan itu terlihat begitu samar karena terhalang oleh kabut yang mulai menampakkan wujudnya.
Kini kuhela napas panjang dan kuhembuskan. Aku harus bisa melupakannya. Tak akan pernah kuberikan kesempatan ketiga, keempat atau kesekian untuknya. Dia telah menyia-nyiakan semuanya. Menghancurkan hatiku berulang kali. Kali ini, aku tak akan tertipu mulut manisnya lagi.
"Aku harus melupakannya," gumamku seraya mengusap wajah dengan gusar.
Krek ...
Terdengar suara ranting terinjak dari arah kananku. Aku menoleh ke arah tersebut dan yang kulihat hanyalah puluhan pohon yang tersebar di sana. Penglihatanku kini tertutup kabut putih yang membuat jarak pandangku terbatas. Tapi tunggu, sepertinya aku melihat seseorang di balik pohon yang berada sekitar sepuluh meter dari posisiku duduk ini. Namun, setelah kulihat baik-baik, sosok tersebut tiba-tiba hilang—entah tertutup oleh kabut.
Aku segera berdiri dari posisi dudukku. Mungkin sebaiknya aku pulang ke rumah.
Mendadak perasaan itu kembali muncul. Perasaan yang mengatakan bahwa seseorang tengah memerhatikan gerak-gerikku. Ya, belakangan aku selalu merasakan seseorang tangah mengawasiku dari jauh. Tatapan mata yang tak nampak itu serasa menusukku. Aku tak tahu ini hanya perasaanku saja atau memang benar ada yang mengikutiku. Yang pasti, aku benci perasaan takut yang kurasakan karena hal ini.
Bergegas aku meninggalkan tebing dan berjalan membelah pepohonan lebat di kanan dan kiriku. Kabut menutupi sebagian pemandangan di sekitarku. Pohon-pohon terlihat begitu samar. Di sekelilingku kini hanya ada kabut putih yang membuatku kesusahan mencari jalan pulang. Sial, kabut tak pernah setebal ini sebelumnya. Aku tak ingin tersesat di antara pepohonan seperti ini.
Tiba-tiba jantungku berdegup sangat cepat ketika mendengar langkah kaki di belakangku. Bulu kuduku bahkan merinding membayangkan siapa sosok di belakangku. Aku berhenti dan berbalik untuk melihat siapa yang berada belakangku, tapi hanya kabut putih yang kulihat. Aku tak melihat siapa-siapa. Hal ini semakin membuatku ketakutan.
Aku kembali berjalan dan berusaha menyingkirkan pikiran aneh yang berseliweran di kepalaku. Lagian, mana mungkin ada orang yang mau membuntutiku? Memangnya aku siapa? Anak orang kaya juga bukan, jadi aku yakin kalau semua itu hanya imajinasiku saja. Atau mungkin hanya perasaanku saja.
Kembali kudengar langkah kaki di belakangku. Jantungku yang semula sempat berdegup normal kini terpacu kembali. Rasa takut dan was-was tiba-tiba menghantuiku. Langkah kaki di belakangku terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Kontan aku sedikit berlari untuk menghindari siapa pun itu.
Kenapa di saat seperti ini, sekelebatan sosok seorang pembunuh berantai terlintas di kepalaku? Astaga, tidak mungkin aku tengah diikuti oleh seorang pembunuh! Tidak-tidak, sepertinya aku sudah gila sehingga berpikir seperti itu. Ini semua gara-gara Dusty, si brengsek yang sudah membuatku patah hati. Gara-gara terlalu sering memikirkannya, sekarang aku jadi setengah gila dan membayangkan hal yang tidak-tidak.
Tiba-tiba kurasakan pundakku tertarik ke belakang yang membuatku sedikit kehilangan keseimbangan. Keringat dingin menetes di sekujur tubuhku. Bahkan detakan jantungku sudah menggila karena ketakutan.
"Aaaaaa!" teriakku kaget beserta horor karena peristiwa barusan.
Mataku otomatis tertutup karena ketakutan. Oh Tuhan, selamatkanlah aku. Aku masih ingin hidup.
"Hei ini gue," terdengar suara seseorang yang sangat kuhafal.
Kubuka mataku dan kulihat sosok cowok yang amat sangat tak ingin kulihat. Ya, cowok yang sudah membuat hatiku hancur berantakan. Cowok yang sudah membutku menyesal karena pernah mencintainya. Dia Dusty.
"Lepasin gue!" bentakku marah seraya menyingkirkan tangannya dari lenganku. "Ngapain lo di sini? Gue udah muak lihat wajah lo!"
"Edith, dengerin gue dulu," ucapnya yang tak kugubris. Kulanjutkan perjalananku dan kuabaikan dia.
"Edith, gue nggak ada apa-apa sama Mia," ujarnya sambil berjalan di belakangku. "Ayolah, jangan marah lagi sama gue. Cuman lo kok, yang gue cintai."
Cinta? Dia masih berani menyebut cinta di hadapanku setelah apa yang telah dia perbuat terhadapku? Berulang kali aku melihatnya merayu cewek lain, bahkan terakhir kali aku melihatnya mencium Mia. Dan sekarang, dia masih berani bilang kalau dia mencintaiku? Persetan dengan cintanya!
Kuhentikan langkahku dan kutatap wajah rupawannya. Wajah yang selalu kupuja dan mampu membuatku kehilangan akal kini seakan terlihat begitu menyebalkan. Melihatnya seperti ini benar-benar membuatku ingin menonjoknya.
"Gue nggak peduli lagi sama lo. Berhenti ngejar-ngejar gue lagi! Gue benci sama lo," ucapku tajam yang malah membuatnya menyeringai. "Lo menjijikan!"
Dengan begitu aku pergi meninggalkannya. Kutinggalkan dia di tengah hutan berkabut ini. Kuharap, kabut dapat melenyapkannya selamanya.
***
Sorot mata hitam itu seakan mengulitiku hidup-hidup. Seringainya membuat nyaliku menciut. Yang dapat kulihat darinya adalah rambut hitam pekat dan mata hitam nyalang, yang seakan selalu mengintaiku. Dia bersembunyi di sana, di balik kabut yang tebal. Keberadaannya seolah membuatku terancam. Apakah dia pangeranku, ataukah malaikat pencabut nyawaku?
Aku membuka mata dengan cepat. Napasku memburu mencari oksigen. Jantungku berdebar seakan ingin keluar dari dalam dadaku. Mimpi itu kembali hadir dalam tidurku. Oh Tuhan, apa maksud dari mimpi tersebut?
Kulirik jam yang berada di nakas. Kini jarum menunjukan pukul empat pagi. Ini terlalu pagi untukku bangun dan bersiap pergi ke sekolah.
Kuputuskan untuk bangun dan berjalan ke arah jendela kamarku. Kini kubuka tirainya dan terlihatlah keadaan luar sana yang gelap gulita. Pepohonan masih tertutup kabut putih yang membuatnya telihat sedikit seram. Mungkin jika aku bukan berasal dari tempat ini, aku akan merasa sangat ketakutan melihat tempat ini.
Kembali kuingat mimpi itu. Mimpi yang terlihat begitu nyata bagiku. Aku merasa, itu bukan hanya sekedar mimpi. Maksudku, aku benar-benar mengalami hal tersebut. Ya, aku merasa pernah melihat sorot mata tajam itu. Sorot mata yang kulihat di antara kabut yang tebal. Sorot mata itu menghantuiku dan membuatku ketakutan. Tapi terkadang, di dalam mimpi, ia datang bagaikan pangeran dari negeri dongeng yang siap membawaku pergi ke istananya.
Kuhembuskan napasku perlahan. Kini kuamati keadaan luar yang begitu sunyi dan mencekam. Belakangan, tempat ini terlihat begitu suram karena kabut yang datang dengan tiba-tiba ini. Dulu kabut tak pernah setebal ini.
Mataku masih tertuju ke arah pepohonan yang tersebar di sekitar rumahku. Pohon-pohon itu terlihat begitu samar. Kabut seakan memeluk erat pepohonan dan membuatnya seakan tak nampak.
Deg.
Jantungku kini berdegup dengan cepat. Mulutku sedikit terbuka karena rasa kaget. Mataku bahkan melotot ngeri memandang objek yang berada di hadapanku. Kini, dengan sangat nyata, kulihat kembali sosok bermata tajam itu. Ia berdiri di balik pohon. Kabut hanya menyisakan sorot mata tajam dan rambut hitamnya. Namun entah mengapa, aku merasa ia tengah menyeringai ke arahku. Oh Tuhan, sosok itu benar-benar ada, itu bukan hanya ada di mimpiku saja!
Dengan cepat kututup tirai jendelaku. Aku terduduk lemas di lantai. Jantungku masih bedegup saagat cepat.
Sorot mata hitam itu seakan mengulitiku hidup-hidup. Seringainya membuat nyaliku menciut. Yang dapat kulihat darinya adalah rambut hitam pekat dan mata hitam nyalang, yang seakan selalu mengintaiku. Dia bersembunyi di sana, di balik kabut yang tebal. Keberadaannya seolah membuatku terancam. Dan dia nyata.
Dengan ketakutan kucoba untuk mengintip ke luar jendela. Aku ingin memastikan bahwa aku benar-benar melihatnya dan tidak sedang berkhayal. Tapi setelah kulihat kembali, sosok itu sudah tidak ada di sana. Apa mungkin tadi hanya imajinasiku saja?
***
"Lo kenapa lemes gitu?" tanya Diana, sahabatku.
Kini aku dan Diana sedang berada di kantin sekolah. Suasana kantin terlihat begitu ramai. Banyak sekali siswa-siswi yang sedang bergerombol menggosipkan sesuatu. Ya, lebih banyak dari mereka yang bergosip daripada makan siang.
"Gue nggak kenapa-napa," jawabku berbohong.
Sejujurnya, aku sedang berada dalam keadaan yang sangat tidak baik. Karena peristiwa pagi-pagi buta itu, sekarang aku selalu merasa seperti diikuti. Aku merasa apapun yang kulakukan seakan diperhatikan oleh seseorang dari jauh. Seseorang yang entah siapa.
"Udahlah, nggak usah mikirin Dusty lagi." Diana tersenyum ke arahku seolah memberiku semangat. Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
Tak sengaja pandanganku tertuju ke arah cowok berambut hitam yang sedang duduk di meja belakang Diana. Cowok itu sedang tertawa bersama teman-temannya. Apa dia tak sedikit pun merasa kehilanganku? Dusty sialan!
"Hei," panggil Diana yang membuatku memusatkan perhatianku kepadanya. "Gue punya rekomendasi cowok-cowok tampan pengganti Dusty."
"Apa?" tanyaku bingung.
"Ayolah, nggak usah liatin Dusty terus, Dith," ucapnya menoleh ke arah belakangnya, di mana Dusty berada. "Tak ada yang istimewa dari Dusty."
"Dia memang nggak istimewa," kataku menerawang betapa istimewanya dia dulu.
"Eh, gimana kalau Jonny?" Diana menunjuk arah belakangku dengan dagunya. "Dia tampan, lucu dan humoris."
Aku menoleh ke arah belakangku dan memandang ke arah cowok berambut hitam tersebut. Jonny memiliki wajah yang tampan dan postur tubuh yang lumayan tinggi. Tapi entah mengapa, ia mengingatkanku akan badut karnaval yang terlihat lucu serta menyeramkan. Hal itu karena kebiasaan Jonny yang sering melucu dan tersenyum tak jelas.
"Gue rasa enggak, dia terlalu humoris," ucapku kepada Diana.
"Apaan terlalu humoris!" cibir Diana yang membuatku tertawa kecil. "Bagaimana dengan Sandy? Dia manis dan pintar."
Kuikuti arah pandang Diana. Kini terlihat ia sedang mengagumi sosok Sandy yang kuketahui adalah cowok yang ia sukai. Sandy memang sangat manis dan dia adalah salah satu siswa yang pintar di sekolah ini. Ia pun terlihat sangat baik. Kalau boleh dibilang, Sandy banyak nilai plus-nya. Tapi, kurasa Diana lebih menyukainya ketimbang diriku sendiri.
"Buat lo aja," kataku kepada Diana yang masih memandang Sandy dengan tatapan memuja.
"Makasih." Diana sambil tersenyum lebar ke arahku. Aku terkikik geli melihatnya yang kini sudah cengar-cengir sendiri. Dasar Diana.
"Edith, bagaimana dengan Langga?" tanyanya yang membuatku mengernyit bingung.
"Langga? Langga siapa?"
"Langga itu." Diana menyentuh pipi kiriku dan menolehkannya ke arah kananku, di mana terdapat seorang cowok tengah duduk sendirian di meja yang sedikit jauh dari kami. "Dia sedikit pendiam. Tapi sepertinya dia baik. Gue pernah liat dia nolongin anak kucing yang nangkring di atas pohon."
"Oh ya?" tanyaku pada Diana dengan mata masih memandang ke arah Langga.
"Iya, dia bahkan membawa anak kucing tersebut pulang. Gue rasa, dia cowok yang sangat penyayang. Mau dong disayang," ucap Diana sambil terkikik geli.
Masih kuamati Langga yang sedang sibuk memakan makanannya. Ia terlihat begitu tenang dan tanpa emosi. Kalau boleh dibilang, Langga lumayan tampan dan manis. Rambut hitamnya sangat kontras dengan kulit putihnya. Dia memiliki postur tubuh yang lumayan tinggi dan tegap. Tiba-tiba, Langga mengangkat kepalanya dan memandang ke arahku. Hal ini membuatku cepat-cepat membuang pandangan ke arah lain. Astaga, memalukan sekali jika dia tahu kalau aku sedang mengamatinya!
Dengan sedikit gugup kuminum jus jeruk yang tadi kupesan. Kenapa aku jadi gugup seperti ini. Ish, kenapa juga mataku sampai jelalatan ngelihatin cowok coba?
Aku mencoba melirik ke arah Langga kembali. Kini kudapati Langga tengah tersenyum manis—menampakkan lesung pipit di pipi kirinya—ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum kecil. Sepertinya, dia lucu juga.
"Hai, sayang." Kurasakan seseorang tengah duduk di meja yang kutempati. Aku menoleh ke arah tersebut dan kudapati Dusty tengah tersenyum lebar ke arahku.
"Go away!" ucapku menatapnya tajam.
"Gue nggak akan pernah pergi dari sisi lo." Senyum liciknya terukir jelas di wajah tampannya. "Ayolah, jangan marah lagi sama gue. Edith, sudahi perang dingin ini. Gue kangen sama lo."
"Denger ya Dusty, gue bener-bener udah muak sama lo. Gue muak lihat wajah lo, dan gue juga udah muak dengerin gombalan lo!" kataku tajam seraya berdiri dari posisi duduku.
"Ayo Di," ucapku mengajak Diana pergi dari kantin ini.
Dengan kesal aku berjalan meninggalkan Kantin—tepatnya meninggalkan Dusty. Diana berjalan di sebelahku dengan tergesa-gesa. Aku benar-benar ingin segera pergi dari sini. Aku sudah muak dengan Dusty!
"Lo nggak bakalan bisa pergi dari gue, Edith sayang. Gua bakalan dapetin lo lagi." Terdengar suara Dusty menggema di dalam kantin. Kontan aku berhenti dan menoleh ke arah Dusty. Kini kulihat Dusty menatapku tajam dengan seringai menghiasi bibirnya.
"Udah, mending kita segera pergi dari sini, Dith." Diana menarik lenganku dan memutus kontak mataku dengan Dusty.
Bagaimana bisa aku mempunyai mantan psiko seperti dia?
Namun tanpa sengaja pandanganku tertuju ke arah Langga yang masih duduk di tempatnya tadi. Ia memandangku dengan sorot dalam, sarat akan makna yang tak dapat kuterjemahkan. Dan ketika ia menyadari tatapanku, segera ia memberiku senyum kecil yang manis.
--------------------------
Hai kalian, aku bawa cerita baru. Cerita collab sama winterinnight . Ini cerita udah lama banget diketiknya hahhaha baru sempet dipost sekarang. Nahhhhh, ini masih bersambung. Dan sambungannya bisa ditunggu di akunnya Ibu Peri winterinnight
Mungkin besok, atau lusa, atau kapan-kapan lanjutannya bakalan di post di sana. Atau mungkin malah udah di post. Monggo dicek aja ke tkp yaaa wkwkkwk
Semoga suka, semoga ceritanya bikin penasaran!
Oyaaa, untuk cerita-ceritaku yang lain, kupost kapan-kapan yaaaa kalau udah ga sibuuukk.
Thanks for coming! <333333
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top