Daily activity
Joker Game © Koji Yanagi
Behind the Lens © Yuzu Nishikawa
[Kaminaga x Reader]
"Aku hanya bisa memandangmu dari balik lensa kameraku."
Don't Like, Don't Read!
Enjoy it!
.
.
.
3 detik
2 detik
1 detik
Pukul 08.30 A.M
Aku menatap kearah jalan raya yang terlihat dari beranda apartementku dilantai 3. Kamera yang berada di genggaman tanganku perlahan terangkat saat gadis dengan seragam sailor berjalan melewati jalanan depan apartementku.
Aku terkekeh melihat raut wajahnya pagi ini. Wajahnya yang imut itu terlihat tengah merajuk kesal dengan pipi mengembung dan bibir mengerucut. Tak mau membuang kesempatan yang ada, aku mengarahkan kameraku kearah dirinya. Memutar fokus lensa agar mendapatkan angle yang baik saat mengabadikan mimik wajahnya yang jarang terlihat cemberut.
Aku menekan tombol kamera beberapa kali, dan tersenyum puas saat melihat hasilnya. Aku mengalihkan pandanganku dari kamera untuk melihat siluet terakhir gadis itu sebelum menghilang memasuki gerbang.
Aku mengenal gadis tersebut setahun yang lalu. Ia merupakan siswi SMA Yuuki yang bersebelahan dengan gedung apartementku.
Waktu itu Amari, temanku yang tengah magang menjadi seorang guru di sekolah itu, meminta bantuanku untuk mengabadikan moment festival olahraga SMA Yuuki. Awalnya aku ingin menolak, tapi karena tak enak hati padanya akhirnya aku menyetujui permintaan tersebut.
Pertama kali melihatnya adalah saat ia dikelilingi oleh banyak orang sebelum pertandingan lari estafet dimulai.
Sosoknya yang seperti matahari itu begitu menyilaukan. Senyumnya yang ramah, sikapnya yang terlihat hangat kepada orang lain, dan ia terlihat begitu memikat banyak orang.
Sosoknya terlihat sangat dibutuhkan sama seperti sang mentari yang dibutuhkan oleh para makhluk hidup dibumi ini. Dimanapun ia berada, seseorang pasti selalu tersenyum didekatnya.
Sejak saat itu tanpa kusadari fokus kameraku selalu mengarah kepadanya. Layaknya bunga matahari yang selalu mengarah kepada sang mentari.
Apa aku seorang stalker?
Tentu saja tidak.
Itu hal yang mengerikan untuknya, dan aku tidak mau melakukan hal itu.
Aku tak pernah mengikuti dirinya sampai kerumah. Aku hanya mengabadikan dirinya dalam bentuk potret saat ia berada didekatku, saat ia berada disekolah. Aku hanya mengagumi sosoknya dari balik lensa kameraku, aku hanya mengagumi sosoknya yang tercetak dalam lembaran foto dari kameraku.
Karena bagiku, sang bunga matahari, aku hanya memandang kesatu arah yaitu adalah matahari yang menjadi panutan hidupku.
Suara rintik hujan menghujam tanah disusul bau tanah basah yang begitu khas, menarikku kembali pada kesadaranku sepenuhnya. Aku menoleh kearah jam dinding, melihat jam berapa sekarang ini.
"Oh Shit! Sudah jam 03.15 PM."
Aku beranjak dari dudukku, dan menyambar kamera yang berada diatas meja samping pintu beranda.
Aku terlalu fokus mengerjakan tugasku, hingga tak sadar jika sekarang sudah waktunya pulang sekolah bagi gadis itu.
Sekali lagi aku mencoba menajamkan pengelihatanku diantara rintik hujan yang lumayan deras. Mencari sosok matahariku diantara sekumpulan siswa SMA Yuuki yang serempak melewati jalan depan apartementku untuk kembali ke tempat tinggal mereka.
Sebenarnya sudah sedikit siswa yang berjalan melewati jalan depan apartementku, mengingat sudah lewat 15 menit dari waktu bel sekolah akhir berdering. Aku menyibak poniku keatas lalu mengacaknya pelan, menyesali kecerobohanku dalam mengingat waktu hingga tak sadar sudah melewatkan jam pulang sekolah gadis itu.
Aku menatap tugasku yang berada diatas meja, lalu menghela napas. Apa boleh buat ini kesalahanku karena tak sadar waktu dan terlalu asyik dengan tugas, hingga melewatkan sosok sang mentari yang pergi melewati diriku.
Sebaiknya aku kembali menyelesaikan tugasku.
Baru saja aku memutar tubuhku untuk kembali masuk kedalam kamar apartementku, seolah tertarik oleh gravitasi, aku menoleh kembali kearah jalan dan kulihat disana matahariku itu berjalan begitu perlahan dibawah naungan payung berwarna kuning.
Sudut bibirku tertarik keatas secara otomatis. Aku tersenyum begitu lebar, merasa senang dan bangga karena menyadari keberadaannya, bahkan tanpa harus melihatnya. Kurasa batinku dengan dirinya kini terhubung karena aku bisa merasakan keberadaannya begitu saja.
Aku berdiri mendekat ke beranda, dan mengarahkan lensa kameraku untuk mendapatkan sosok dirinya dibawah naungan payung dan rintik hujan. Tapi saat kulihat dari kamera, dirinya menghilang dibalik tembok gerbang apartementku secara otomatis aku menurunkan kembali lensaku dengan perasaan berdebar.
"Kenapa dia menghilang dari jangkauan lensa kameraku? Apa aku ketahuan? Tidak... Itu tidak mungkin, dia tak mungkin menyadariku yang memotret dirinya dari lantai 3."
Aku menatap tembok gerbang apartementku sekali lagi, berharap melihat apa yang terjadi dengan dirinya.
"Sial, aku tak bisa melihat apa yang terjadi padanya karena sudut pandang dari sini memasuki titik butaku."
Aku berjinjit, berharap dapat melihat apa yang terjadi dibalik tembok dekat gerbang itu.
"Apa dia terjatuh? Atau lebih buruknya apa dia pingsan? Bagaimana ini apa yang harus kulakukan."
Aku mengigit bibir bawahku gugup, jika ia benar-benar pingsan dibawah sana, aku harus segera menolongnya sebelum ia semakin basah karena rintik hujan.
Aku berlari memasuki apartementku dan meletakan kameraku asal diatas lemari sepatu dekat genkan dan berlari keluar rumah tanpa membawa payung atau bahkan mengunci pintu. Menuruni anak tangga secara terburu-buru karena khawatir akan keadaan dirinya, menerobos rintik hujan yang semakin menderas, dan mempercepat langkah kaki saat hampir sampai didepan gerbang apartementku.
"Sedikit lagi... Dan dibalik tembok itu aku akan melihat apa yang terjadi dengan---"
Tubuhku otomatis berhenti dan terpaku saat melihat gadis yang kukagumi itu tengah jongkok dibalik tembok dengan seekor anak anjing dalam pelukannya.
"Akhirnya kau keluar juga Mr. Stalker."
Detak jantungku berkerja diatas batas normal saat mendengar ucapan gadis itu.
Seolah menyatu dengan aspal jalanan, kakiku sama sekali tak bisa digerakan, bahkan saat ia berjalan mendekat kearahku dan berhenti tepat satu langkah dihadapanku, aku tetap terpaku ditempat.
"Kau pikir aku tak sadar kalau kau sering menatapku dari lantai 3 kamar apartementmu," ucapnya lalu tersenyum hingga matanya menyipit, "aku punya pengelihatan mata yang tajam, lho."
"A-aku... "
Bagaimana ini, apa yang harus kukatakan? Aku bukan stalker, aku hanya mengaguminya yang seperti matahari itu. Apa aku harus jujur atau ugh--- aku tak menyangka akan seperti ini.
"Kenapa diam saja?"
"Uhm... Aku hanya--"
Argh, persetan dengan semuanya, aku hanya harus jujur saja.
"Aku... Aku hanya mengagumimu!" teriakku ditengah derasnya hujan.
Sesaat kami terdiam, hanya suara hujan yang terdengar, dan saat kurasakan kulit wajahku memanas hingga menjadi semu merah, aku cepat-cepat menambahkan ucapanku.
"Maksudku, kau terlihat begitu menyilaukan membuatku begitu kagum padamu."
Dasar bodoh! Apa sih yang kukatakan!? Bukan ini yang mau ku katakan padanya, argh.
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, lalu tanganku beralih untuk menyibak poniku yang basah keatas akibat kehujanan.
"Pertama kali bertemu denganmu, tanpa sadar lensa kameraku selalu terfokus padamu. Sosokmu yang hangat pada siapapun terlihat begitu mengagumkan, kau ramah, kau baik, senyummu manis. Aku benar-benar mengagumi sosokmu yang seperti matahari itu."
Sekali lagi hanya suara rintik hujan menghujam tanah dan gonggongan lirih anak anjing yang mendominasi suara disekeliling kami.
"Ehm, aku tak menyangka akan mendengar pujian seperti itu dari seorang stakler sepertimu."
Aku menatap wajahnya terlihat mengalihkan pandangan, walau terhalang oleh rintik hujan, tapi aku masih bisa melihat rona merah tipis dipipinya.
"Jadi apa saja yang sudah kau lakukan?" tanyanya padaku tiba-tiba.
Dan ini adalah pertama kalinya mataku bisa menatap langsung maniknya yang jernih itu, kembali memperjelas rona merah dipipiku.
"Aku tidak pernah mengikutimu kemanapun seperti seorang stalker!" ucapku mencoba menghilangkan presepsi seorang stalker padanya, "aku hanya suka mengagumimu dari balik lensa kameraku saja saat kau berjalan melewati depan gedung apartementku!"
"Bukankah hal itu sama saja." ucapnya lirih seraya mengembungkan pipinya dengan lucu.
Ma-manisnya...
Jantungku berdetak semakin cepat, darahku berdesir hebat saat melihat ekspresinya sekarang. Sial, kalau saja aku membawa kamera pasti akan ku abadikan wajahnya yang lucu ini.
Pikiranku masih teralihkan akan wajahnya yang lucu itu, hingga tanpa sadar saat ini ia tengah menatapku begitu intens.
"Hanya memotretku saat lewat depan apartement ini saja, 'kan?"
Aku mengangguk pelan sebagai responnya.
"Baiklah kalau begitu ku izinkan, TAPI... Dengan satu syarat."
"Syaratnya?"
Ia tersenyum lebar lalu pandangannya beralih pada anak anjing dalam pelukannya. "Kau harus merawat anak anjing ini, jadi aku bisa mengunjunginya sesekali diapartementmu."
"Hanya itu?"
"Uhm, kau bisa memotretku dan aku bisa bermain dengan anak anjing ini."
"Kau yakin hanya itu?"
Ku merasa detak jantungku kembali dipicu dengan cepat, dan darahku kembali berdesir hebat. Sudah kuduga dia memang gadis yang baik sekali.
"Ya, kupikir sesekali dipotret langsung tak masalah, hal itu bisa jadi latihan untukku yang bercita-cita menjadi seorang model, ya 'kan?"
Jadi dia ingin menjadi seorang model, pantas saja ekspresi wajahnya begitu cocok diabadikan dalam potret.
"Kalau begitu aku terima syaratmu itu." ucapku dengan cengiran lebar, "datanglah ke apartementku."
"Eh... "
"Ahh, aku tak bermaksud buruk. Aku hanya ingin menunjukan foto-fotomu saja dan dengan tubuh yang basah kuyup seperti ini, aku tak mungkin bisa menggendong anak anjing itu, 'kan?"
Dia terdiam, lalu tertawa dan mengangguk sebagai responnya. Dia jalan terlebih dahulu menuju apartementku, lalu aku mengikutinya dari belakang.
Sepanjang jalan menuju apartementku, ia banyak bertanya berbagai macam hal tentangku dan aku menanggapinya.
Saat kami sampai didepan kamar apartementku. Aku membuka kunci pintu dengan perasaan berdebar-debar, dan senyum yang semakin lama semakin lebar. Aku mempersilakan ia terlebih dahulu untuk masuk kedalam.
Aku menutup pintu dan menguncinya, lalu menatapnya yang berdiri mematung seperti dugaanku.
Ia mundur beberapa langkah hingga menabrak dadaku. Membuatku semakin melebarkan senyuman diwajahku. Wajahnya yang terlihat kaku saat menatap ruanganku yang penuh akan potret dirinya selama setahun membuat darahku berdesir.
Aku mencengkram bahunya dari belakang dengan lembut, lalu menundukkan sedikit wajahku dan berbisik tepat ditelinganya,
"Welcome to our kingdom, my sunshine."
Fin
.
.
.
Awalnya pengen buat drabble, taunya lebih dari 1k word, ya sudahlah
Thanks for reading my story, sorry for error and typo.
See ya~
Yuzu Nishikawa
11 Desember 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top