Virgin Queen
"This shall be for me sufficient that a marble stone shall declare that a Queen, having reigned such a time, lived and died a virgin."—The Virgin Queen
Apa bagusnya menjadi seorang ratu? Sang Ratu Tudor berulang kali berpikir selagi menulis surat-surat balasannya. Pandangannya jatuh pada tumpukan-tumpukan dokumen, gunungan masalah yang diwariskan saudari tirinya selepas mangkat. Daripada keberkahan, naik takhta seperti sebuah kutukan pertanda nasibnya kurang mujur. Walaupun dibesarkan untuk menjadi pewaris takhta, urutan ketiga—selepas adik laki-laki dan saudari tirinya—amatlah jauh untuk mendapat giliran.
Ia merasa getir mengenang seberapa besar upayanya untuk menyingkir dari pemerintahan sang saudari tiri yang dipenuhi konflik berkepanjangan. Mesti terombang-ambing dalam tuduhan pemberontakan. Lagi mendekam dalam kurungan Menara London bagai seorang pesakitan. Kesetiaannya berulangkali disangsikan lantaran para bangsawan berupaya mencapai dirinya untuk melengserkan kekuasaan sang saudari.
Saudari tirinya melepaskan mahkota terlalu dini. Pada akhirnya, ia disuguhkan takhta sebagai satu-satunya pewaris Tudor di usianya yang ke-25. Mewarisi kerajaan dalam perpecahan—berkat kekukuhan saudari tirinya membawa Inggris kembali pada Katolik Roma—bukan hal yang mudah.
"Tetapi Anda adalah seorang ratu yang brilian." Penasihatnya berkata demikian di waktu-waktu ia mempertanyakan kelayakannya sendiri untuk duduk di atas takhta. Lantas, ia akan terlarut dalam pikirannya cukup lama.
Orang-orang menyebutnya sebagai ratu arogan yang punya keberanian besar. Duduk sebagai ratu bukan halnya dalam nama, sebagaimana mestinya raja-raja memegang kuasa tertinggi. Dalam masa-masa rentan selepas pengangkatannya sebagi ratu, ia tak lekas-lekas menikah. Dan dengan angkuh mendeklerasikan dirinya untuk melajang selamanya.
"Yang Mulia, harap pertimbangkan kembali! Terus menolak lamaran-lamaran yang datang hanya akan menyulut lebih banyak masalah."
Sang penasihat tak henti-henti membujuknya untuk mengakhiri masa lajang. Bagaimana pun, di masa-masa itu, ia perlu menikah untuk mengukuhkan kekuatannya. Sebagai penguasa terakhir Tudor, ia juga tidak memiliki pewaris untuk mengamankan suksesi. Banyak pangeran asing dan bangsawan tinggi mengantri untuk mendapat kesempatan meminangnya, tetapi Sang Ratu adalah dinding yang tak tergoyahkan.
"Aku tidak membutuhkannya." Sang Ratu menjawab tanpa minat. Ia lebih senang memperhatikan lilin dan stempel pada surat-suratnya ketimbang sang penasihat. Senyumnya tersungging puas kala membaca kembali surat-surat penolakan atas lamaran yang datang kepadanya, separuh berharap beberapa di antara mereka merana patah hati. "Percayalah, menikah akan membawa kekacauan yang lebih besar."
Sang penasihat tak terpuaskan dengan tanggapan suam-suam sang Ratu. Banyak orang mempertanyakan dasar keputusannya untuk melajang. Namun, sang penasihat sendiri tak sekali pun mengetahui kebenarannya. Menilik kepahitan dari pernikahan sang ayah dengan enam istrinya, serta kehidupan pernikahan tidak menyenangkan yang dialami saudarinya, cukup lazim baginya urung memijak ranah yang sama.
Barangkali keputusan melajang juga merupakan salah satu siasat politiknya. Apa pun itu, tak ada yang mampu menaksir apa yang sebetulnya dipikirkan sang Ratu. Ia menutup dirinya rapat dalam dinding-dinding yang ia bangun sendiri.
"Lord Burghley lagi-lagi mendesak Anda untuk menikah?" Kepala dayang, Kat Ashley, bertanya prihatin selagi membantu sang Ratu berganti pakaian.
"Menurutmu sejauh mana aku bisa menghindar?" Sang Ratu tertawa getir.
Ia lama menatap cermin, mengamati sosoknya sendiri dalam balutan tunik longgar alih-alih gaun mewah berkorset ketat. Tak tersisa darinya tiap renda-renda yang membuatnya tampak gemuk oleh buntalan tebal, atau segala macam intan permata yang melekat seperti sekumpulan serangga. Kadangkala ia berpikir betapa konyolnya kemewahan itu.
Wajah di dalam cermin perlahan tampak mendung dalam kepucatan warnanya. Riasan tebalnya telah dihapus, mengungkap rupa yang lebih tidak ia kenal. Rumor mengatakan riasannya semata merupakan bagian obsesi untuk tampak sempurna, memuja wajah sehalus porselen dan seputih salju. Sebagian lagi mengatakan guna menutupi bekas cacar yang tak dapat dihapuskan, atau berusaha menyangkal akan betapa telah rusak kulit wajah sang Ratu berkat riasan-riasannya sendiri.
Bagi sang Ratu, riasan adalah sebuah topeng yang telah membantunya bertahan hidup sebagai orang lain. Setiap kali terbangun dari tidur, nasibnya tergantung akan seberapa piawai ia memainkan peran. Sebarapa cakap ia memeluk tiap rahasia dalam kotak-kotak yang gelap dan dalam. Ia tak dapat menyangsikan rasa keterasingan akan dirinya sendiri selama waktu-waktu itu.
Siapa sejatinya diriku ini? Tanpa korset ketat yang menjadikan pinggangnya tampak ramping atau kerah tinggi, lebar bahu dari tubuh pria dewasanya tidak dapat disangkal lagi. Gaun-gaun penuh renda dan terdiri dari kain-kain berlapis telah menyamarkan betapa dirinya tidak tumbuh untuk menjadi seorang wanita bangsawan. Pun tidak untuk terlahir menjadi putri.
Orang-orang mulai mencurigainya mengalami kerontokan rambut sejak ia mengenakan rambut palsu pada tiap-tiap kehadirannya di muka publik. Pada kenyataannya, rambutnya terlalu gelap untuk menjadi sewarna jahe. Ia bukan putri Henry VIII, bukan pula Putri Tudor. Ia hanyalah pria asing yang barangkali terlalu beruntung, tidak, terlalu sial lantaran tak lagi dapat mundur dari dusta-dustanya.
"Cepat atau lambat, Lord Burghley harus mengetahui kebenarannya. Kegigihannya untuk membuatku menikah hanya akan membawa kejatuhan bagi kerajaan."
Sang Ratu Palsu menyugar rambutnya yang sewarna arang, sebelum duduk di tepian ranjang. Ia menahan diri untuk tidur lebih awal. Agaknya diskusinya dengan kepala dayang akan menghabiskan waktu semalaman.
"Dengan jaminan apa Anda percaya beliau akan mengampuninya?"
"Kau terlambat dengan kegelisahan-kegelisahanmu." Sang Ratu Palsu mencibir. "Sudah terlambat sejak kau mengubur Elizabeth Tudor di dalam peti batu dan menyuguhkanku ke hadapan Henry VIII."
Kat Ashley terdiam. Wajahnya berkerut pahit. Ia sempat lupa, bahwa sosok Penguasa Tudor yang kini dilayaninya bukan lagi gadis pemalu yang ia besarkan dengan segenap kasih sayang. Gadis itu telah lama hilang terkubur dalam dusta-dustanya. Ia telah lama menukarnya dengan seorang bocah laki-laki canggung dari pelosok Bisley berkat terlalu takut mengabarkan kematiannya kepada sang Raja. Sudah terlewat lebih dari belasan tahun sejak saat itu, tetapi rasa sakit akan pengkhianatannya tak pernah mengabur.
Sang Ratu palsu tersenyum dalam kegetiran perasaannya. "Kau turut mengubur diri sejatiku dalam peti itu," katanya kemudian, "berkat janji-janji yang tak pernah kaupenuhi, aku melupakan namaku. Berdiri di sini hanya untuk menyangkal betapa kesetiaanmu terhadap kerajaan telah lama patah."
Saat pengasuh putri itu datang kepadnya, sang Ratu Palsu hanyalah seorang bocah. Tawaran-tawaran manis darinya seperti harapan keselamatan yang akan membawanya keluar dari jerat kemiskinan. Ia didadani dan dicekoki berbagai macam etiket guna menciptakan pengganti sempurna dari putri yang telah mati.
Bocah laki-laki Bisley itu rela membuang nama sejatinya dan tumbuh dalam kepalsuan sebagai Elizabeth Tudor. Sekiranya hanya untuk sementara. Kat Asley menjanjikan kebebasan dengan memalsukan kematiannya selepas perhatian Henry VIII memudar dan membiarkan ia hidup tanpa kekurangan di sisa hidupnya. Namun, ia salah mempercayai seorang wanita yang berdusta.
Selepas sang putri dinyatakan sah memiliki hak-haknya kembali sebagai pewaris takhta, bocah itu mesti mengambil perannya dan terkungkung dalam pengawasan istri terakhir sang Raja. Dijejali lebih banyak pengajaran sembari sekuat tenaga menutupi kenyataan bahwa dirinya hanyalah bocah desa yang baru bisa membaca. Setelah sang Raja wafat dan ibu tirinya menikah lagi, kesulitannya bertambah-tambah. Suami baru sang ibu tiri berhasrat menikahinya untuk mengambil alih takhta Inggris dan berakhir baginya pengusiran.
Ia hanya ingin melarikan diri dan hidup dalam diam tanpa terlibat dalam perebutan kekuasaan. Namun, lagi-lagi Kat Ashley tak dapat menepati janjinya. Mary I naik takhta dan mengurung saudari tirinya sendiri di Menara London untuk mencegahnya merebut mahkota. Menyangsikan kesetiaannya dan memberikan tuduhan-tuduhan pemberontakan. Bahkan, selepas terbebas dari pengurungannya, ia berada di bawah pengawasan penuh.
Rasa-rasanya ia selalu terlibat masalah sekali pun hanya bernapas, nyaris menerima hukum pancung. Agaknya memang Elizabeth Tudor—yang mati tanpa penguburan layak—telah mengutuknya dari alam baka. Sudah terlambat untuk menyesali pilihannya menerima tawaran gula-gula dari orang asing. Dan bocah itu telah tumbuh menjadi lebih tegar.
"Aku telah meneguhkan keputusanku."
Mungkin pemberontakan akan meledak di sepenjuru Inggris jika mengetahui orang asing duduk sebagai ratu mereka, alih-alih Putri Tudor. Namun, sang Ratu Palsu sudah tak dapat mundur lagi. Untuk menebus dosanya mengeklaim takhta dengan cara yang hina, ia mesti menjadi ratu yang layak meski harus berdandan sebagai wanita dan melajang selama sisa hidupnya. Ia bersumpah membawa Inggris pada masa keemasan dan membayar harga yang besar atas kebohongan-kebohongannya.
"Jika itu menjadi keputusan Anda, wanita ini akan mempersembahkan jiwa dan raganya sebagai penebus dosa."
FIN~
~~~***~~~~
Catatan Penulis:
Cerita ini terlahir berdasar teori konspirasi bahwa Ratu Elizabeth I sebenarnya seorang pria dari buku The King's Deception yang ditulis oleh Steve Berry.
Cerita ini ditulis dengan terlalu buru-buru dan kusadari bahwa narasinya lebih mirip salinan buku sejarah. Namun, sudah terlambat. Aku pun sudah terlalu lelah menulis ulang untuk yang kelima kalinya! Mungkin sampai di sini saja perjuanganku menulisnya. Terima kasih telah membaca.
Nb: Harap bantai sepuasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top