The Researcher
Disclaimer!!!
Cerpen ini adalah fiksi yang ditulis berdasarkan beberapa teori konspirasi yang sudah beredar di masyarakat. TIDAK ADA SATU PUN FAKTA dalam tulisan ini, semuanya murni pengembangan dari teori yang sudah tersebar.
***
Televisi menyala, menayangkan sosok seorang pewarta berambut sebahu, mengenakan blazer abu-abu rapi. Headline berita hari itu adalah Virus yang menyerang Wuhan teridentifikasi: SARS-Cov-2. Layarnya menyala terang dengan suara yang memenuhi ruangan.
Aku tidak peduli, Tere juga tidak. Perempuan itu baru saja menghempaskan pantatnya di sofa sebelahku, melepaskan sepatunya dan melempar benda itu ke arah pintu depan. Aku mematikan televisi yang mungkin sudah menyala semalaman-baik Tere dan aku sibuk di laboratorium sejak kemarin sore, dan mungkin kami lupa mematikan televisi, sehingga begitu tiba di apartemen pagi ini, kami disambut oleh siaran berita nasional.
"Menurutmu, sampai berapa lama ini akan bertahan?" Tere bersandar di sofa, menatap langit-langit. Namun, aku tahu bahwa dia tengah berbicara denganku.
Aku menghela napas, berdiri dari sofa-meninggalkan jejak dalam sebelum sofa itu kembali ke bentuk semula-meraih handuk di hanger dekat dapur, bergerak ke kamar mandi, dan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan klisenya. Baik dia maupun diriku sendiri sudah tahu persis berapa lama hal ini akan berlangsung.
Sampai jumlah populasi manusia dapat kembali dikendalikan. Sampai tujuan para elite global bisa tercapai-keamanan dan stabilitas dunia. Setidaknya, itulah isi dari proposal kerjasama yang disetujui dan ditandatangani dua tahun lalu oleh beberapa orang penting dunia.
Menurut Libb, pemimpin dari proyek besar itu, dunia sudah mengalami overpopulasi, dan salah satu cara paling 'manusiawi' untuk mengatasi masalah itu adalah dengan menciptakan virus yang dapat menyerang manusia tanpa perlu melakukan kekerasan. Genosida tentu saja sesuatu yang terlalu kejam, tetapi proyek virus ini, bagiku, adalah hal yang sama.
Aku tidak pernah menampik bahwa padatnya populasi dunia memang menyebabkan beberapa masalah fundamental menjadi sulit ditangani. Kemiskinan, kriminalitas, jaminan kesehatan, juga stabilitas ekonomi, semua itu masalah-masalah yang dialami oleh hampir seluruh wilayah di dunia. Tetapi, aku tidak tahu apakah proyek ini memang suatu solusi yang tepat, atau justru terbilang agak berlebihan.
Laboratorium mengalami kebocoran, virus mungkin sudah tersebar di seantero Wuhan. Ini semua di luar rencana, apa yang harus kita lakukan?
Air yang dingin menyentuh kepalaku, aku terkekeh begitu mengingat kembali kalimat-kalimat yang bernada panik itu keluar dari bibir rekan kerjaku yang merupakan penduduk asli China.
Tidak, pikirku saat itu. Ini semua sudah sesuai rencana.
Mereka-ilmuwan-ilmuwan asli dari Wuhan tidak pernah diperlihatkan proposal yang sesungguhnya. Mereka hanya diberitahu bahwa akan diadakan penelitian tentang virus yang ada pada hewan, dan juga risiko-risiko yang akan kami hadapi sebagai peneliti. Mereka tidak pernah diberitahu bahwa ada alasan yang sangat jelas, mengapa pemerintah kami memutuskan untuk bekerja sama dan dengan senang hati mau mendanai penelitian itu.
Bahwa ada rencana besar untuk melahirkan kehidupan yang lebih berkualitas daripada sebelumnya, dengan menyisihkan sebagian populasi dengan DNA yang cacat. Dunia sudah terlalu tua untuk mengikuti alur yang menyesatkan, oleh karenanya Libb merasa proyek ini dibutuhkan untuk tatanan dunia yang baru, kendati ada banyak hal yang harus dikorbankan.
Selesai mandi, aku melemparkan handuk kepada Tere. Setelah ini kami akan berkeliling Wuhan, menikmati suasana malam, sebelum kembali terkurung di dalam laboratorium untuk proyek yang lebih serius.
***
Sesuai dugaan, kasus orang-orang yang terpapar virus semakin meluas, dengan cepat menyebar ke seluruh kota, bahkan dunia. Kasus kematian meningkat tajam, orangtuaku beberapa kali menelpon untuk memastikan aku baik-baik saja. Mereka tidak pernah tahu bahwa aku juga terlibat dalam proyek besar ini. Mereka hanya tahu aku adalah mahasiswa yang lulus dengan predikat terbaik dan segera bekerja di laboratorium kesehatan.
Beberapa bulan setelah kasus-kasus bermunculan dan menggemparkan dunia, langkah selanjutnya dimulai. Ini adalah tindakan lanjut setelah pengurangan populasi, yakni pengendalian populasi: Vaksinasi.
Tere dan aku dikirim kembali ke negara asal kami-bukan untuk beristirahat, tentu saja. Kali ini kami berdua ditugaskan untuk membuat vaksin bersama orang-orang yang tidak pernah kami temui sebelumnya. Beberapa di antaranya ahli IT, para ilmuwan, dan para ahli kesehatan.
"Senjata paling ampuh untuk menaklukkan manusia adalah mengendalikan ketakutannya, memberikan sesuatu yang mampu menangguhkan rasa takut itu. Virus adalah ketakutan dan teror, dan vaksin adalah penangguhnya. Tidak ada yang akan menolak statement itu."
Pidato Libb berakhir. Aku lagi-lagi berdiri di paling pojok, mengamati semuanya dari sana, dan dapat merasakan gejolak aneh yang tidak dapat kuvalidasi sama sekali. Sesuatu yang mengundang kecemasan, sesuatu yang penuh ketidakpastian. Setelah vaksinasi, lalu apa?
Meski sudah kembali ke negara asal, kami tidak diizinkan kembali ke rumah. Tidak ada yang boleh pulang kecuali proyek telah selesai.
"Menurutmu, apa kita juga akan divaksin?" Tere menyikutku, berbisik-bisik di balik maskernya.
"Tidak tahu, tidak ada yang pernah mempertanyakan itu pada Libb, bukan?" sahutku. Entah sejak kapan aku juga berhenti mengabaikan Tere, sebisa mungkin aku tanggapi semua celotehannya. Sebab kini, tidak ada yang bisa menjamin apakah kami semua-orang-orang yang mengetahui dengan pasti semua proyek ini-akan tetap diizinkan hidup, atau akan tiba-tiba dihilangkan.
"Entahlah, Hanne, aku tidak bisa membayangkan sepanjang hidup akan berada di bawah kendali orang lain, selalu diawasi. Kita berdua akan kehilangan semua privasi yang pernah kita jaga satu sama lain." Baru kali itu aku juga merasakan ketakutan yang sama.
Biasanya aku tidak pernah peduli. Bahkan jika Tere panik dapurnya terbakar, aku tidak pernah takut. Namun, kali ini rasanya semua semakin penuh ketidakpastian. Tidak ada siapa pun yang dapat kupercaya lagi.
Tetapi, kami tidak pernah bisa berlari atau melawan.
***
"Aku hanya takut kau tiba-tiba menghilang."
Suara itu samar, menggema dalam kepala, seperti ingatan yang hanya sekelebat. Rasanya seperti berada dalam koma, kosong, gelap, hanya suara-suara. Aku menyadari napasku terputus-putus.
Dengan satu sentakan, segalanya melintas seperti bayangan, lalu permukaan atap putih adalah hal pertama yang dapat kulihat. Sejenak aku tidak ingat siapa aku, lantas kemudian ingatan tentang 'proyek besar' itu menyeruak seperti headline besar pada koran di minggu pagi.
Wajah pucat Tere adalah hal terakhir yang mampu kuingat.
"Sistem mendeteksi niatan memberontak dalam dirinya, karena itu dia akan segera dilenyapkan."
Begitu saja Tere menghilang.
Terjawab sudah pertanyaan Tere kala itu. Ya, kami semua, tanpa terkecuali, juga adalah objek yang ingin dikendalikan oleh Libb. Kami, orang-orang bodoh yang telah membantunya mewujudkan semua rencananya. Pengendalian populasi hanyalah kamuflase, yang sebenar-benarnya terjadi adalah dia berencana untuk menghancurkan kami semua dengan tangan-tangan kami sendiri.
-Selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top