Teori Konspirasi

Katanya manusia tidak pernah ke bulan, area 51 adalah tempat penelitian alien, dan Jeff the Killer masih merajalela sampai sekarang. Konon, Indonesia adalah serpihan Atlantis yang hilang, covid-19 tidak nyata, dan sebentar lagi pulau Jawa akan tenggelam.

"Percayalah, bumi itu datar!" Sonia mengepalkan kedua tangan di depan dada. Ia memelototi kami satu per satu, membaui pengkhianatan keyakinan. Dalam klub literasi, ia adalah ketua tak resmi yang selalu memimpin diskusi.

Seharusnya kami membahas The Great Gasby, tetapi teori konspirasi jauh lebih menarik.

"Son, bumi itu terlalu luas untuk dilihat dengan mata telanjang. Jika bumi itu datar, kita seharusnya bisa melihat kapal di ufuk cakrawala. Bukan satu per satu bagian mulai dari tiang sampai lambung kapal." Bintang membantah. Dia adalah oposisi utama yang akan selalu menyanggah.

"Lalu, kalau bumi itu bulat, kenapa kita tidak jatuh di sisi bawah?"

"Karena gravitasi," jawab Vio. Seketika kami menoleh ke arahnya. Beberapa detik kemudian Vio masih bungkam. Rupanya ia tidak berkenan menjelaskan apa-apa.

"Gravitasi itu bullshit," pungkas Sonia. Seketika Bintang membuka buku fisika dan menjelaskan gaya tarik massa dan percepatan gravitasi. Debat dimulai. Sonia kukuh dengan bukti lintasan pesawat, dinding kutub selatan, dan atmosfer yang tebal. Sementara Bintang menunjuk-nunjuk teori di buku fisika dan mencontohkan Galilelo Galilei yang mati karena berseberangan dengan pihak gereja: sebab beliau percaya matahari adalah pusat tata surya.

Jika sudah ribut begini, aku, Vio, dan Yoga akan lanjut pada aktivitas masing-masing. Vio membaca Orhan Pamuk-nya, aku dengan Kafka, dan Yoga dengan Genshin Impact-nya (Iya, Yoga join klub literasi demi mendapat akses wifi dan tempat main yang tenang).

Anggota klub literasi lain sudah pulang. Mereka datang sekadar membaca buku, bercengkerama sesaat, dan menghilang satu sampai dua Minggu kemudian. Hanya kami berlima anggota tetap yang rajin. Duduk di kursi yang mengelilingi meja panjang di tengah ruangan. Seperti tempat perjamuan. Tas-tas diletakkan dalam loker besi berkarat, sepatu dilepas, diganti sendal hotel hibahan salah satu anggota klub yang tajir. Sonia dan Bintang biasa duduk bersebarangan. Vio di ujung meja memunggungi jendela. Aku dan Yoga di sisi kanan, dekat rak buku dan berkas.

Jika sudah pukul empat sore, Yoga menyalakan PC satu-satunya milik klub dan mengenakan earphone. "Guys," panggil Yoga, sambil memutar punggung dan menyampirkan earphone di bahu. Jika Yoga memanggil, Sonia dan Bintang bisa tenang seperti kucing rumahan yang kenyang. Vio yang cuek menoleh. Aku menutup buku dan mengganti tempat duduk ke kursi dekat PC, ikut menatap monitor.

"Thread baru."

****

Anggota inti klub literasi punya agenda tambahan untuk memuaskan rasa penasaran. Konspirasi adalah kulit, di dalamnya kami menangani kasus-kasus tak masuk akal dan mendokumentasikannya dalam folder biru berjudul Case Closed. Baru belasan yang berhasil kami pecahkan. Salah satu yang terbesar adalah kasus penculikan anak untuk dijual organnya. Awalnya Yoga tidak sengaja tertangkap. Ia yang bertubuh kecil dan lemah, dibius di pinggir jalan saat berangkat ke fotokopian. Yoga segera menelponku berkali-kali sebelum kesadarannya hilang. Merasa ada yang tidak beres, aku menghubungi teman-teman lain dan masuk ke akun e-mail Yoga (kami berbagi password) sembari melacak keberadaannya dengan Find My Device. Dari sana kami bergegas ke kantor polisi dan berhasil menyakinkan mereka teman kami hilang diculik.

Malamnya, Yoga ditemukan di gudang pelabuhan bersama belasan anak lain dalam keadaan pingsan. Beruntungnya ponsel Yoga berada di kantong penculik, sehingga mereka dapat segera dibekuk. Sejak saat itu, Yoga menyuruh kami mengenakan gelang ber-GPS yang dapat dilacak kapan pun dengan aplikasi khusus di smartphone.

Untuk kasus hari ini, lokasinya sangat dekat dengan klub literasi. Forum itu dimulai dengan sebuah pertanyaan "Apa kejadian paling mengerikan yang pernah kau alami?"

Seorang user dengan upvote terbanyak menjawab "Aku seorang siswa kelas dua belas di SMA XXX (Yoga: itu sekolah kita). Karena sebentar lagi ujian nasional, sekolah memberlakukan bimbingan belajar usai pembelajaran resmi sampai pukul lima sore. Awalnya tidak ada masalah, apalagi sekolah memfasilitasi makanan kecil dan sekotak susu untuk mengganjal perut. Sampai akhirnya guru menemukan kotak makanan pemberian sekolah dalam keadaan utuh di tempat sampah. Pak Guru sangat marah dan mengatai siapa pun yang membuang makanan tidak bersyukur. (Aku: pasti Pak Rudi).

"Awalnya kami tidak memperhatikan hal tersebut. Sampai besoknya, kotak makanan yang sama terbuang lagi. Kali ini berlangsung setiap hari. Dari kotak makanan, lanjut ke jumlah anggota kelompok yang tidak pernah genap. Murid di kelas kami berjumlah 36 orang. Kalau dibagi empat, masing-masing berjumlah delapan orang. Tetapi jika dihitung manual, salah satunya pasti berjumlah tujuh. (Vio: mungkin salah satu murid sakit jadi ada yang tidak masuk).

"Dari kejadian-kejadian tersebut, seseorang iseng menghitung jumlah kursi dan meja. Hanya ada 35 unit. Padahal di daftar absen ada 36 orang. Awalnya kami tidak percaya. Aku melapor pada wali kelas dan beliau berkata akan memperbaiki detail absen, mungkin kesalahan tulis.

"Sampai suatu petang dengan hujan lebat. Guru tidak memberikan bimbel. Untuk mengusir kebosanan, ketua kelas menginisiasi diskusi terbuka dan menyuruh kami duduk di lantai membentuk lingkaran. Kami diminta menceritakan keanehan 'siswa gaib' tersebut. Aku mulai dengan kotak makanan, siswa A cerita seseorang meminjam penggarisnya dan ia lupa siapa. Siswa B pernah melihat salah satu siswa tidak memiliki bayangan. Saat ke kamar mandi, siswa C bersama teman-temannya berjumlah lima orang, saat keluar jadi sisa berempat. Siswa D pernah memfoto satu kelas dan menghitung jumlah siswa di dalamnya genap 36 orang, besoknya jadi 35 orang. Siswa E bercerita tentang SMA di jaman kakaknya tiga tahun lalu, kalau di kelasku yang sekarang, pernah terjadi kasus siswa menghilang. Sampai sekarang kasus itu belum terungkap. (Bintang: jadi?).

"Ketua kelas menyimpulkan, kemungkinan ada hantu di kelas kami. Sekarang setelah lulus, aku masih memikirkannya. Ditambah dalam buku tahunan, ada lembar kosong seolah-olah itu lembar yang kelebihan oleh pihak pencetak. Padahal kami tahu, di sana pernah ada biodata si siswa gaib."

Kami berlima sama-sama menghela napas. Sonia langsung membuat keputusan "Siswa hantu! Tidak salah lagi, pasti hantu!"

"Hantu di jaman sekarang?" Bintang meremehkan. "Kemungkinan ada kesalahan penomoran absen. Makanya kotak makanan kelebihan satu. Atau bisa jadi, kotak makanannya cukup, tetapi satu siswi sedang menjalankan program diet ketat. Ia membuangnya diam-diam. Masalah kamar mandi itu, pasti salah seorang dari teman siswa C pergi duluan. Masih abu-abu."

"Bagaimana dengan bayangan?" Sonia melipat tangan, bersikap defensif.

"Posisi dan intensitas cahaya bisa mempengaruhi kepekatan bayangan. Bisa jadi hari itu mendung." Bintang terus berteori. Akhirnya sebelum debat semakin berlanjut. Aku memisahkan mereka dan mengajak untuk menelusuri teori ini. Aku, Vio, dan Bintang pergi ke kelas berhantu. Sementara Sonia dan Yoga dapat pergi ke perpustakaan sekolah untuk melihat buku tahunan. Siapa tahu ada petunjuk.

Usai membagi tugas, kami sama-sama mengaktifkan aplikasi pelacak gelang. Yoga hanya paranoid. Ia memastikan kami ada dalam jangkauan radar. Tetapi anehnya, titik merah kecil di layar cuma berjumlah empat.

"Maaf, gelangku sepertinya jatuh," Vio mengetatkan jaket lengan panjangnya. Kami memaklumi dan tetap menelusuri petunjuk.

"Padahal itu gelang mahal," gerutu Yoga. "Aku tidak mau salah satu dari kita diculik lagi."

"Yuk!" potongku. Segera mengamit lengan Vio dan Bintang. Di luar klub, udara terasa lebih sejuk dan bebas. Tetapi kenapa hari ini terasa dingin sekali?

"Panasnya," keluh Bintang. Ia mengipas-ngipasi diri dengan tangan. Dasar aneh. Vio saja memakai jaket. Usai berpisah dengan Yoga dan Sonia. Kami menuju lapangan basket, selasar kelas sebelas, dan naik ke tangga menuju lantai dua: kelas dua belas.

Sekolah di malam hari sangat mencekam. Selasar terlihat lengang dan bisu. Bagian dalam kelas yang kosong tampak gelap dan sepi, seperti kamar mayat tanpa jenazah. Kami bisa meneboros masuk dengan kunci duplikat yang ditinggalkan penjaga sekolah. Klub literasi terkenal paling lama pulang.

Setelah masuk, hawa dingin menguar merindingkan bulu tengkuk. Rasanya aneh sekali, karena aku familiar dengan kelas ini. Hiasan foto pahlawan di dinding, lukisan karton di dinding, jadwal piket, jadwal mata pelajaran, dan vas bening berisi bunga plastik ungu.

"Kita tidak salah ruangan, kan?" tanyaku. Bintang dan Vio menggeleng. Kami memeriksa satu per satu meja. Sampai pada barisan paling belakang, Vio tiba-tiba terkesiap. Ia mundur dari salah satu meja dan menarik lengan jaketnya lebih ketat ke telapak tangan.

Ketika aku dan Bintang menghampiri, kami mendapati meja rusak berisi coretan-coretan pudar. Hantu. Mati. Kutukan. Aruni.

Aruni itu namaku!

Tiba-tiba smartphone Bintang berdering. Seketika wajah bundarnya memucat. Aku bertanya ada apa, tetapi Bintang segera mematikan telepon dan menyuruh kami pergi ke lapangan untuk diskusi mendadak.

"Sonia dan Yoga menemukan sesuatu."

Bintang dan Vio berlari mendahului keluar dari kelas. Tetapi nahas, tiba-tiba pintu tertutup. Seolah-olah embusan angin kencang menerbangkan daun pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Teman-teman!" teriakku, "Tolong!!" aku takut. Saat menoleh ke belakang, kelas tiba-tiba semakin gelap dan memekat. Seakan ruangan menjadi sempit. Napasku tersengal-sengal, tekanan yang sangat hebat menekan dada, dan membuat pusing sampai berkunang-kunang.

"To... long," lirihku. Merosot di kaki pintu. Seketika pengelihatanku mengabur. Bau tanah, amis mayat, dan lembabnya debu tercium menyesakkan.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top