Perjalanan Angkasa
"Kamu tahu kenapa Bumi berputar cepat?" tanya Shei pada sahabatnya yang sedang merajuk.
"Karena bentuknya bulat," balas Shei saat Lana tak membalas.
"Memang ada hubungannya dengan bentuk?" tanya Lana. Gadis itu akhirnya bersuara, walaupun pandangannya masih di arah yang berlawanan dengan tempat duduk Shei.
"Kalau Kotak, pelan-pelan saja."
"Apa, sih. Garing. Lelucon zaman apa coba." Lana menusuk cimolnya dengan beringas—mencolok lima buah makanan itu dan langsung memasukannya ke dalam mulut. Tidak seperti Shei yang menusuk banyak cimol tapi memakannya satu persatu.
Shei menggaruk kepalanya bingung. Ia tidak tahu lagi bagaimana membujuk Lana agar berhenti merajuk setelah ia tak sengaja menjatuhkan es krim seharga lima buah es krim stik yang biasa ia beli milik sahabatnya. Kalau saja Shei membawa lebih banyak uang, waktu di taman hari ini pasti menyenangkan.
"Kamu percaya Bumi datar atau bulat?"
"Aku nggak percaya Bumi. Itu planet akal-akalan elit global!" amuk Lana sebelum pergi meninggalkan Shei sendiri.
Shei buru-buru menyusul. Sahabatnya yang satu itu memang susah sekali diajak bicara saat sedang marah. Meskipun dia juga akan begitu jika mengetahui es krim yang ia beli dari hasil menabung selama seminggu jatuh begitu saja.
"Kamu percaya alien nggak?"
"Kamu alien!"
Lana duduk lagi untuk ketiga kalinya. Sudah berulang kali keduanya saling menyusul, lalu duduk, dan kembali saling menyusul.
"Udah dong, marahnya." Shei mulai lelah. Dia jadi ingin beli es krim rasa coklat dengan warna pelangi.
"Kamu tunggu di sana," pesan Shei sambil berlalu pergi menuju penjual es di pinggir taman.
Seperti biasa, penjual es krim yang ternyata tetangganya itu melayani Shei dengan wajah tidak bahagia. Mungkin dia tidak senang dengan pekerjaannya.
Shei memberikan satu buah es krimnya pada Lana. "Ini buat kamu."
"Menurut kamu, bentuk asli bumi itu gimana, sih?" tanya Shei lagi.
"Bumi itu lonjong. Kalau enggak, bentuknya donat," balas Lana. Ia sedikit lebih tenang sekarang. Mungkin karena makan coklat.
"Kamu kok nggak milih di antaranya sih?"
"Aku tahu kamu bakal jawab lonjong."
"Iya, sih."
"Jadi kenapa bisa gitu? Apa buktinya? Aku mau tahu kebenarannya dari pengalamanmu."
Shei mendelik. Mana bisa dia menunjukkan bukti bentuk Bumi dari pengalamannya? Tapi kemudian, dia teringat. "Kemarin, aku pergi ke langit. Hari ini aku juga mau pergi. Kamu mau ikut?"
*
"Halo, Lana. Sudah siap pergi ke langit malam ini?" tanya Shei dari balik jendela kamar Lana.
Lana yang masih kebingungan akibat bangun tidur, tidak menjawab, hingga Shei menarik paksa tangan gadis itu pergi ke luar.
Setelah keduanya sampai di halaman, Shei meminta sahabatnya untuk melompat bersama. Lana langsung mengiyakan, meskipun semua rasanya sulit dimengerti.
Tubuhnya terasa ringan, Shei juga memenuhi janjinya menjemputnya pada malam hari—rasanya aneh, namun sulit dijelaskan, padahal dia sendiri yang menyetujui untuk dijemput setelah tidur, karena Shei bilang, ia akan datang pada tengah malam.
"Satu," ucap Shei memberi aba-aba. Kakinya ia tekuk. Lana yang melihatnya, lalu mengikuti.
"Dua." Shei berkata lagi sambil menarik napas panjang.
"Tiga!"
Mereka terbang, melampaui bangunan-bangunan tinggi. Dapat keduanya lihat, di bawah sana masih ramai dengan orang-orang yang mengobrol.
"Cantik, kan?" tanya Shei saat menunjuk kota yang penuh dengan lampu.
Lana mengangguk. Tidak pernah ia melihat suasana kota dari tempat yang tinggi kecuali di internet. Itu pun gambarnya tidak bagus karena sinyalnya jelek.
Semakin jauh mereka meninggalkan tanah, tubuhnya berbalik, menghadap bulan yang mulai terlihat jelas—cantik sekali. Keduanya terhipnotis hingga tak sadar bahwa mereka telah keluar dari atmosfer.
"Kok aku bisa napas sih?" tanya Lana kaget setelah beberapa saat.
"Tidak tahu." Shei mengangkat bahu.
Lana mulai berpikir. Mungkin dia sedang bermimpi, karena apa yang dialaminya malam ini mustahil dilakukan—iya, dia pasti sedang bermimpi. Lagipula, mana mungkin Shei menjemputnya tengah malam, dia pasti ketahuan tetangga cupu yang sedang jaga. Bisa-bisa Shei kena amuk besok.
Shei menepuk bahu Lana. Ia lalu menunjuk Bumi yang berbentuk lonjong, sedikit mirip bola rugbi. Mungkin, jika Bumi berwarna coklat, alien-alien yang pernah berkunjung diam-diam akan mengira bahwa mereka tinggal di dalam bola rugbi.
"Kamu tahu tidak, Jupiter bentuknya kotak?" Shei bertanya dengan kepala yang diangkat. Kedua tangannya ia lipat di depan dada.
Lana menggeleng. Dia tidak tahu. Selama mengamati planet lain melalui teleskop, ia tidak pernah menemukan planet berbentuk kotak. Apa rotasi Jupiter akan pelan seperti jika Bumi berbentuk kotak?
"Ayo, ikut aku."
Lana dan Shei kembali terbang, kali ini melewati Planet Merah, Mars. Saat melewatinya, Lana berhenti sebentar. Mars rupanya lebih indah dari yang ia kira. Selama ini dia hanya bisa mengamati lewat teleskop dengan resolusi mungkin kurang dari 144p.
Setelah beberapa saat, ketika planet Mars kembali terlihat jauh, Lana dan Shei sampai di atas planet Jupiter. Tidak seperti apa yang dikatakan Shei, planet di belakang Planet Merah ini berbentuk bulat.
"Bentuknya bulat." Lana protes.
"Belum kutunjukkan." Shei mengayunkan tangan di depan wajahnya. Ia lantas menggandeng tangan Lana dan turun, masuk ke dalam kumpulan gas.
Semakin dalam, semakin terlihat isi dari Jupiter itu sendiri saat gas sedikit demi sedikit menipis. Bentuknya datar, tapi ada lengkungan di sisi-sisinya. Ia lalu pergi ke sana dan melihat bentuk yang sama seperti yang pertama.
Shei kembali menarik Lana. Mereka mendekati dataran itu hingga dapat melihat siapa yang tinggal di sana.
"Ini adalah Jupiter, tempat tinggal para alien."
Baru kali ini Lana melihat alien. Ternyata bentuknya tidak seperti yang diceritakan. Mereka tidak botak dan memiliki rambut, tapi sepertinya sangat kasar dan kusut. Ukuran mereka juga sangat besar. Rumahnya di Bumi mungkin tidak sebanding dengan kepala mereka.
"Bagaimana mereka tinggal di planet kotak?" tanya Lana. "Maksudku, benar-benar kotak dan berujung. Kenapa mereka tidak jatuh?" jelasnya.
"Alien itu punya kekuatan di kakinya. Jadi menempel seperti permen karet. Oh, omong-omong soal permen karet, kamu mau lihat permen karet angkasa?" tawar Shei yang langsung dibalas anggukan Lana.
Kedua sahabat itu kembali terbang, menjauhi Jupiter. Kali ini, mereka akan mengunjungi tempat yang memiliki permen karet angkasa.
"Permen karet angkasa, biasanya ada di planet bercincin."
"Kita akan ke Saturnus?" tanya Lana.
"Planet Uranus dan Neptunus juga punya cincin, kok. Meskipun kadang diceritain kadang enggak dan nggak sebesar J1407b."
Kelopak mata Lana menyipit, di dalamnya ada bola mata yang berputar—kesal. Dia tidak tahu apa kata terakhir Shei. Padahal di dekat planet-planet itu ada Saturnus sebagai pembanding, tapi gadis berambut kecoklatan di sampingnya malah mengatakan hal yang sulit dimengerti.
Tapi, berharap saja. Semoga harinya menyenangkan.
"Tidak ada permen karet," ucap Lana setelah turun di salah satu benda yang menurutnya batu.
"Kamu sedang berdiri di atas permen karet. Itu adalah permen karet yang pernah dimakan alien bertahun-tahun yang lalu," tunjuk Shei.
"Dan ini, dan ini." Shei melompati satu persatu benda yang terlihat seperti batu.
"Bagaimana kamu membedakannya?"
"Bau jigong."
*
Ketika bertemu dengan makhluk-makhluk yang tidak pernah ditemui, Lana dan Shei pikir itu menyenangkan. Ternyata memang menyenangkan, meskipun keduanya tidak paham makhluk-makhluk baru yang ditemuinya bicara apa.
Mereka terbang semakin jauh, melewati banyak nebula, dan mengamatinya dari kejauhan. Namun di sana, banyak benda berbagai bentuk yang luar biasa besarnya sedang mengangkut makhluk-makhluk lain. Tempat pemberhentiannya tepat di depan nebula berwarna biru-jingga.
"Kali ini, kita tidak sedang melihat masa lalu," kata Shei. "Tidak terlalu masa lalu, maksudku. Cahaya yang sampai mungkin hanya beberapa tahun cahaya," lanjutnya sambil menghindar dari batuan yang hampir menabraknya.
"Ya. Aku pernah melihatnya di internet—cahaya ribuan tahun yang lalu. Apa sekarang mereka masih ada? Atau sudah berubah?"
Shei menggeleng. Dia tidak yakin. Mungkin cahayanya sudah mati. Mungkin masih ada. Shei tak melihat satupun yang seperti ia lihat di Bumi.
Shei dan Lana berhenti. Mereka beristirahat di atas batuan. Di belakangnya, ada beberapa makhluk lain yang juga duduk, tampak menunggu, entah apa dan siapa.
Tidak lama, sebuah benda datang. Bentuknya seperti bus. Ada jendela, tapi tidak beroda. Dari luar, terlihat ada banyak penumpang yang sedang duduk.
"Kita juga naik."
"Kenapa?"
"Karena ini tempat pemberhentiannya. Sekarang, kita pergi ke tempat lain dengan ini," jelas Shei.
Lana mengangguk, lalu masuk ke dalam bus, diikuti Shei di belakangnya. Di sana, ia melihat makhluk besar yang tengah mengunyah sesuatu, lalu mengeluarkannya dan membungkusnya dengan semacam kain tipis.
"Saat di Saturnus tadi, aku bertanya-tanya. Apa alien makan permen karet? Ternyata iya. Tadinya kupikir bohong. Kira-kira bahannya dari apa, ya? Enak tidak, ya?" tanya Lana setelah mendapat tempat duduk dekat jendela.
"Mungkin di pemberhentian berikutnya kita bisa makan permen karet angkasa. Semoga saja."
*
"Temannya meninggal kemarin. Sekarang, dia menyusul."
"Hari ini, kita kembali kehilangan seorang pemimpi." seorang gadis dengan rambut coklat sebahu berdiri di hadapan gundukan tanah basah. Di belakangnya, beberapa anak seusianya tengah melamun dengan mata sembab.
"Selamat jalan, anak-anak baik."
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top