Montaks Ipen Jan 22

Semua orang sedang sibuk. Berlalu-lalang di hadapanku. Keluar masuk mengangkut barang dari dalam rumah ke mobil. Oh, iya. Hari ini keluargaku akan pindah rumah ke salah satu kota besar. Berkat jerih payah kakak dan ayah, akhirnya kami bisa pindah dari kontrakan yang sempit dan usang.

"Na, jangan diem aja! Bantu bawa barang-barangmu juga."

"Eh? O-oke."

Di atas kasur lipat berwarna pink, sudah ada beberapa dus besar dan tas. Semua itu adalah barangku. Ternyata kalau dibungkus seperti itu jadi terlihat banyak. Padahal tadinya kupikir hanyak punya sedikit barang. Kugendong tas ransel yang biasa dipakai ke sekolah dan juga mengangkat satu kardus yang cukup ringan.

Sambil berjalan perlahan, kuperhatikan sekeliling. Meski tempatnya sempit dan tidak mewah, aku telah tumbuh selama bertahun-tahun di sini. Sudah banyak hal terjadi di kamar kontrakan ini.

"Dek, sini!"

"Iya, Kak!" Aku menghela napas. "Kak, rumah baru kita keren banget ada taman di depan rumahnya. Adek liat ada bunga mawar juga yang dulu kita tanam bareng."

"Kamu tau darimana? 'Kan kamu belom pernah kesana."

"Lho, bukannya udah?"

"Kamu mimpi kayaknya."

Oh, iya, benar juga. Kenapa aku bisa tahu rumah baruku bagaimana, padahal belum pernah lihat sama sekali. Mungkin aku cuma berkhayal.

Aku masuk ke mobil baru yang merupakan hasil jerih payah kakakku juga. Mencari posisi nyaman dan kemudian memainkan ponsel sambil menunggu mereka selesai memindahkan barang.

Aku menemukan sebuah artikel yang sangat 'gila'. Disitu seseorang yang jenius mengatakan bahwa ada kemungkinan kita hidup dalam sebuah simulasi besar yang dijalankan oleh sebuah organisasi yang lebih pintar. Menarik, jadi menurutnya kita ini tidak benar-benar hidup. Tubuh, pikiran, dan semua tindakan yang kita lakukan merupakan sebuah program yang sudah diatur sedemikian rupa.

Sebentar, jangan mengatakan kalau kita memang diatur oleh Tuhan. Artikel ini membahas sebuah teori berdasarkan ilmu pengetahuan dan sains, bukan berdasarkan agama. Jadi, tolong singkirkan segala pemikiran bahwa hidup dan takdir kita memang sudah diatur oleh Tuhan.

Kembali ke pemikiran bahwa kita hidup di dalam simulasi. Alasan dia mengatakan itu adalah karena kemajuan teknologi saat ini. Pada zaman ibu bapak kita masih kecil, jangankan ada ponsel pintar, listrik saja masih susah, tapi dalam kurun waktu beberapa tahun saja sudah banyak penemuan-penemuan yang membawa manusia ke dalam kemajuan peradaban. Salah satunya adalah komputer dan internet. Kalau dipikir secara logika orang zaman dulu, mustahil sesuatu seperti internet dan komputer itu bisa ada. Benar-benar seperti sebuah keajaiban bisa menemukannya. Komputer dan internet pun setiap harinya mengalami banyak perkembangan.

Sekarang game sudah bermacam-macam. Dari puzzle balok sederhana, sampai yang memiliki karakter persis seperti manusia asli. Hal itu yang kemudian membuat seorang jenius berpikir bahwa bisa saja kita hidup dalam sebuah simulasi, seperti di dalam game yang sering dimainkan.

Kalau dipikir memang benar, sih. Kita hidup dalam simulasi dan suatu hari kita akan terbangun dari mimpi panjang, menghadapi kehidupan yang sebenarnya.

"Oi!"

Aku terperangah, ponsel di tangan hampir saja terlempar. Sedangkan orang yang mengejutkanku malah tertawa. Seketika membuatku jengkel. "Bisa nggak, sih, nggak usah ngagetin?"

"Nggak bisa."

"Nyebelin."

Kakakku duduk di sampingku. "Lagian serius banget. Liat apaan, sih? Lagi chat pacarnya, ya?"

"Bukan. Tadi adek liat artikel ini." Aku menyodorkan ponsel ke hadapan kakak. Setelah membacanya selama semenit, dahinya mengernyit.

"Apaan, nih? Ya iya lah, kita emang hidup udah diatur sama Tuhan. Gak bener nih orang yang nulis ini."

Menghela napas. "Itu mah juga adek tau, tapi kan liat deh dari sisi sains."

Kakakku menepuk keningnya. "Kamu, tuh, jangan keseringan baca ginian. Bahaya. Iman kamu masih lemah."

"Lah, apa hubungannya sama iman?"

Dia mencubit gemas pipiku. "Ini anak siapa sih bikin gemes pengen gigit pipinya."

"Ih, gak jelas. Sakit kakak."

"Udah, deh. Mending kamu baca cerita yang lain."

Aku mendorongnya perlahan. "Nggak mau! Adek lebih suka baca artikel kayak gini daripada baca komik cinta-cintaan gak jelas."

"Ohh... pantesan kamu jadi sering ngelindur."

"Ngelindur apa?"

"Tadi, tuh. Kamu bilang udah pernah liat rumah baru. Padahal belom pernah kesana."

Aku hanya cengar-cengir. "Adek cuma nebak aja, kok."

"Tuh, 'kan. Kamu kebanyakan baca artikel ga jelas jadi error otaknya."

"Kakak, tuh, yang nggak jelas."

"Yaudah, deh. Kakak mau bantuin lagi. Dahh..."

"Eh, Kak! Jangan lupa cek semua mesin mobilnya. Aku nggak mau kalo sampe mogok lagi."

Satu detik. Dua detik. Kami terdiam. Aku menyadari kalimatku barusan sangat janggal. Ini adalah kali pertama aku naik mobil milik kakak. Lantas, kenapa aku bisa mengatakan 'mogok lagi' seolah sudah sering berpergian dengan mobil ini.

Kakak langsung menyentuh keningku dengan punggung tangannya. "Beneran deh ini anak mulai nggak beres."

Aku hanya tersenyum masam dan kakakku berlalu sambil tertawa. Tunggu, tapi benar rasanya aku bersama keluargaku pernah pergi ke suatu tempat naik mobil ini. Lalu, di tengah jalan mobilnya mogok karena kehabisan bensin, terpaksa waktu itu kami mendorong mobil ke tempat isi bensin terdekat. Untung saja tidak sampai lima ratus meter. Lalu, setelah itu kami sampai di rumah baru. Kenapa, ya? Apa benar hanya mimpi?"

Rasanya aku pernah membaca di internet. Sebuah keadaan dimana kita merasa seperti telah melakukan sesuatu yang dilakukan saat itu. Istilahnya disebut Déjà vu. Sering sekali aku merasa familier dengan hal yang sedang dilakukan, rasanya seolah aku pernah melakukan ini di tempat yang sama persis.

Oh, iya. Déjà vu tadi berkaitan dengan teork simulasi. Aku masih tidak habis pikir dan bertanya-tanya. Apa benar kita hidup dalam simulasi?

Aku pusing.

Tidak mengerti kenapa ada orang yang berpikir seperti itu. Tapi jika benar bagaimana? Bagaimana kalau sebuah kelompok makhluk planet lain yang memiliki teknologi lebih maju, tengah datang ke bumi dan berencana menguasai bumi. Entahlah.

Tak lama kemudian, kakakku kembali masuk mobil. Kali ini disusul ayah dan ibu. Sepertinya semua barang sudah beres. Hanya tinggal kami berangkat ke tujuan. Aku tidak sabar ingin melihat rumah baruku. Apakah sama dengan yang di mimpi? 

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top