Kunci
Dia adalah David Blair; berumur tiga puluhan, dengan rambut cokelat dan berbadan tegap. Pria yang akan berdiri beram-jam di samping sang nahkoda, atau Kapten Smith—sebagaimana Blair sering memanggilnya—dan bercengkerama.
Hal yang paling aku suka dari Blair adalah ia selalu meletakkanku di tempat terbuka, seperti menggantungnya di pinggul bersama sabuknya, juga beberapa kunci lainnya. Jadi ketika kakinya yang panjang menjejak, kami akan saling bergesek dan bergemerincing. Tidak seperti kantong yang sempit, sumpek dan gelap, di pinggulnya aku bisa melihat dunia.
Sejujurnya, aku suka Blair, dan aku yakin Blair pun menyukaiku. Aku tahu melalui caranya menatapku.
Aku masih ingat bagaimana aku dan Blair bertemu. Aku yang saat itu masih tersimpan dalam saku mantel Kapten Smith mendengar seseorang mengetuk pintu. Tentu saja, aku tidak kenal suaranya. Tapi dari bagaimana mereka bercengkerama, aku yakin mereka adalah semacam teman lama.
Pembicaraan itu tidak berlangsung lama, namun diawali basa-basi tentang kabar keluarga, sampai akhirnya Sang Kapten berujar, "Aku punya dua kabar. Satu kabar baik, dan yang lain kabar buruk. Mana yang ingin kau dengar dulu?"
Blair tampak berpikir sejenak. "Buruk."
"Aku akan segera pensiun."
Wajah Blair tampak masam. "Yah, aku sadar rambutmu sudah dipenuhi uban," guyonnya, untuk menutupi rasa kecewa. "Lalu, kabar baiknya?"
"Sebelum aku pensiun, aku akan menjadi nahkoda RMS Titanic pada pelayaran pertamanya."
Kapten Smith tersenyum, dan mata Blair yang cokelat itu membola. "Titanic yang itu?"
"Ya, yang itu." Kapten Smith tergelak tertawa dan membuat perut besarnya bergetar. "Titanic yang belakangan memenuhi kolom berita utama di koran-koran."
Blair ikut tertawa. "Kalau Kapten, aku tidak heran."
"Terima kasih, tapi aku butuh bantuanmu."
"Apa pun itu, Kapten. Selama aku bisa membantu."
"Maukah kau bertugas bersamaku?" tanya Kapten Smith penuh harap. "Untuk yang terakhir kali, Blair."
Blair tersenyum. "Sebuah kehormatan." Lalu berdiri dan membungkuk sambil meletakkan satu tangannya di dada.
"Kalau begitu, kunci ini kuberikan padamu."
Begitulah bagaimana aku berpindah tangan.
--
Awalnya, Blair tampak bangga pada dirinya sendiri. Membawaku menggantung di pinggul dan berlenggang melewati geladak kapal, melihat orang-orang bekerja dikejar waktu, berteriak, berlari-lari. Namun, perlahan-lahan aku merasa Blair berubah. Dia menjadi lebih diam, jarang tersenyum, pun lebih banyak merenung.
Pernah sekali ia melihat deretan sekoci dengan dahi mengerut lama, lalu berputar-putar seperti mencari sesuatu. Dan suatu kali, ia pergi ke lambung kapal. Melihat bekas kebakaran akibat kelalaian pekerja, dan sekonyong-konyong wajahnya merah padam.
Ia berlari ke geladak atas, ke tempat Kapten Smith kemungkinan besar berada. Pria tua itu, dengan seragam putih kebanggaannya, sedang berdiri di dekat jendela dengan seorang pria kaya dengan cerutu yang terselip di antara belah bibirnya.
"Bagaimana mungkin?" Blair mendengar nada tinggi keluar dari mulut Kapten Smith. Pria tua itu tampak marah.
"Tentu saja mungkin, Kapten. Kita dikejar waktu. Ada banyak hal yang perlu disiapkan. Batalkan latihan sekoci, karena tenaga pekerja harus dikeraskan pada hal-hal lain. Atau kalau Anda tidak bersedia, ada barisan orang yang sanggup menggantikan posisi Anda."
Kapten Smith bungkam. Lalu pria kaya itu menepuk bahu Kapten Smith seraya berujar, "Selamat bekerja, Kapten." Sebelum pergi melewati Blair.
Ia hanya melirik selikas padaku, dengan kepala yang sedikit terangkat angkuh.
"Kapten," panggil Blair khawatir. Amarahnya menguap. "Bukankah itu sangat ... sangat riskan?"
"Aku tak punya pilihan."
"Lalu bagaimana dengan kerusakan lambung kapal?" cecar Blair.
"Itu sudah diperbaiki."
"Lalu bagaimana jika terjadi sesuatu dalam per—?"
"Dengarkan aku Blair," titah Kapten Smith sebelum mengambil napas dalam. "Aku bisa mengendalikannya. Semua baik-baik saja. Kapal ini akan berlayar dengan kecepatan penuh untuk meminimalisir kemungkinan terburuk jika terjadi sesuatu pada lambung kapal."
"Lalu bagaimana dengan sekoci-sekoci?"
"Mereka berkata sekoci membuat kapal ini terlihat penuh. Mengurangi estetikanya. Lagi pula, sekoci tidak diperlukan untuk kapal yang tidak bisa tenggelam."
Wajah Blair memerah.
"Aku akan bicara pada mereka."
"Tidak. Itu tidak berguna. Aku akan bekerja semaksimal mungkin untuk membawa para penumpang sampai dengan selamat ke New York."
Dada Blair mencelus. "Kalau begitu, tolong siapkan lebih banyak teropong."
Kapten Smith tersenyum, lalu mengangguk lemas.
--
Beberapa hari ini Blair nyaris tidak bisa tidur. Ia hanya berharap bahwa Inter-Governmental Maritime Consultative Organization tidak memberikan izin layar. Terlalu banyak kejanggalan, tetapi pada akhirnya Blair tahu, bahwa kapal itu sudah mendapatkan izin. Bagaimana bisa? Apakah ada suap?
Untuk ke sekian kalinya Blair pergi menemui Kapten Smith. Pria itu tampak sibuk seperti biasa. Kali ini nyaris tidak mau mendengarkannya.
"Apakah kau tahu sesuatu, Kapten? Bagaimana kapal ini bisa mendapatkan izin dari IMCO?"
"Tolong jangan tanya aku! Berhenti datang seolah akulah penjahatnya! Aku mencoba membantu sebisaku!"
"Kalau begitu aku akan bertanya kepada Mr. White."
"Apa kau gila? Aku yang mengajakmu. Kau bisa diberhentikan!"
"Apa peduliku? Aku lebih memilih tidak bekerja di sini daripada mati tenggelam!"
"Kita tidak akan tenggelam!"
Blair menggeleng tidak percaya, dan pergi tanpa kata-kata.
--
Blair datang setelah bekerja, saat matahari memerah dan nyaris tenggelam. Ia kira, di kantor itu tidak akan ada banyak orang, tapi ia mendapati pemandangan yang tidak kurang ricuhnya dari suasana di geladak kapal Titanic. Pekerja di sini pun lembur. Segala hal terasa tidak benar baginya.
Ia pergi ke menghampiri meja reseptionis dengan seragam kerja yang lusuh dan bau keringat. Gadis itu, yang ditahui bernama Verona Seutchman—dari tag namanya di dada—memandangnya dengan aneh, namun berusaha sopan dengan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Bisakah aku bertemu dengan Mr. White."
"Sudah buat janji?"
"Belum."
"Maaf, Tuan. Tapi Mr. White sangat sibuk sekarang. Dan baiknya Anda membuat janji terlebih dahulu."
"Kalau begitu telepon dia, dan katakan bahwa Mr. Blair datang untuk memberikan bukti bahwa Titanic tidak pantas berlayar."
Verona terdiam, namun tanpa mengatakan apa-apa segera menelepon atasannya, menyampaikan apa yang Blair katakan, sama persis. Setelah ia meletakkan kembali gagang telepon, Verona kembali berkata, "Silakan ke lantai lima. Ruangan sebelah kanan. Lift ada di sana." Dengan tangan menunjuk lift di sudut ruangan.
"Terima kasih."
Blair mengikuti instruksi Verona, dan dengan mudah menemukan kantor Mr. White. Sayangnya, ia disambut dengan cercaan, teriakan, yang untungnya bukan ditujukan untuknya.
Ketukan menghentikan semuanya. Hening.
"Masuklah."
Blair membuka pintu, dan melihat dua orang pria. Semuanya berpakaian necis dan salah seorang mereka membawa koper, yang lainnya memakai topi tinggi.
"Kami akan datang kembali besok."
Mr. White tidak membalas, dan sekonyong-konyong melempari Blair tatapan membunuh. "Sekarang apa maumu?"
"Titanic tak pantas berlayar. Ada masalah di lambung kapal. Kita kekurangan sekoci. Bahkan para awak—"
"Lalu apa urusannya denganmu?"
"Maaf?"
"Aku tidak bisa menghentikannya. Aku sudah mengeluarkan terlalu banyak uang untuk Titanic. Ribuan tiket sudah terjual. Apa kau gila? Aku tidak mungkin mengembalikan semua uang yang sudah aku gunakan untuk keperluan pelayaran!"
"Lalu bagaimana dengan nyawa kami?"
"Karena itu aku merekrut Kapten Smith!" teriak Mr. White murka. "Kau lihat orang-orang itu? Mereka pemodal yang menolak segala kekacauan ini! Jika aku berhenti, aku pun bisa bangkrut!"
"Tapi Tuan—"
"Berhenti! Kau kuberhentikan! Keluar sekarang!"
Blair terdiam, lalu dengan wajah marah berbalik badan dan pergi sambil membanting pintu. Ia lupa mengembalikanku. Memberikanku pada seseorang yang seharusnya memegang teropong besok.
Namun, ketika ia melihatku keesokan hari, ia pergi sambil membawaku berlari tunggang-langgang. Menaiki mobil dan mencoba menembus kemacetan, namun saat itu, Titanic baru saja berlayar.
Blair lemas. Aku hampir saja jatuh dari genggamannya. Lalu aku mendengar sesuatu, "Apakah menurutmu orang itu akan meledakkan lambung kapalnya?"
"Tentu saja. Aku sudah memastikan tidak ada teropong di sana, dan membuat berita bahwa Titanic tenggelam karena menabrak gunung es."
Lalu kedua pria itu tertawa. Pria yang sama yang kulihat dalam kantor Mr. White. Namun, aku tidak yakin apakah Blair mendengarnya juga atau tidak. Aku harap dia tidak akan menyalahkan dirinya.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top