I am Melissa Vandella
Seberapa banyak yang bisa kamu berikan pada orang yang kamu cintai?
****
Dengung telepon tersambung menggema di telinga selama beberapa saat, seiring degupan jantungku yang bertambah. Sambungan beralih ke voice mail, seperti yang sudah kuduga. Dia bukan orang yang mau sembarangan menerima telepon dari nomor tidak dikenal.
Kutekan tombol satu pada panel nomor telepon untuk menyimpan pesan suara.
"Halo. Ini saya, Melissa. Saya tidak mau bicara banyak, jadi saya akan langsung ke intinya. Apa penawaranmu yang lalu masih berlaku? Kalau iya, kamu bisa menghubungiku kembali di nomor +14253323490 ...."
Kugantung gagang telepon kembali untuk menutupnya. Sekali lagi memperhatikan kartu nama hitam metalik dengan huruf tanam perak, dengan keterangan singkat Evan, Producer Music of Arista Records beserta contact info-nya. Sudut-sudut kartunya telah tumpul dan garis-garis kasar bekas remasan masih tersisa di sana. Tadinya kartu itu telah berada di dasar tempat sampah Centennial Park Toronto, sebelum dengan menyedihkannya kupungut, kubersihkan dari tempelan cairan kulit pisang, dan membawanya ke lorong rumah sakit hari ini.
Kuyakinkan lagi pada diri sendiri, siapa pun akan bersikap menyedihkan jika dihadapkan masa-masa sulit seperti ini. Persetan, harga diri!
Keraguan masih mengambang-ngambang dalam diriku, sampai tak terasa kakiku telah membawaku kembali ke depan kamar 301. Kutengok kaca kotak yang dipasang di pintu, pada pasien yang terbaring di kasur.
Anak gadis yang masih belia itu, adikku-Martha, terbaring lemah di atas kasur dengan mata tertutup, masker oksigen menutupi mulut dan hidungnya, dan segala macam kabel-kabel entah bernama apa menancap di dadanya. Kalau sekali lihat, orang-orang mungkin mengiranya mati, namun ia masih hidup berkat mesin-mesin yang harganya biadab itu.
Kuremas kertas nama menjadi bola kertas, membayangkan betapa tidak adilnya hidup anak menyedihkan itu. Kini pilihan hidupnya hanya satu, yaitu bersandar padaku.
****
"Sudah kuduga kamu akan kembali."
Kuhempaskan tas ke sofa dengan kasar. Membayangkan sedang menghempaskannya pada muka pria congkak yang sialnya kuharapkan menjadi penyelamat hidup Martha. Bahkan pada subuh ini pun, dia sudah dibalut jas bermerek, memakai arloji bertali emas, dan menata rambutnya pirang klimis, yang semakin memperkuat aura dominasinya sebagai tipikal pria kulit putih Paman Sam yang membosankan. Sok sekali. Dulu-dulu untung mau kusuruh pakai kaos oblong tanpa bolong.
"Ini bukan karena kamu," balasku.
Kugosok mata beserta bileknya, merasa pusing terserang cahaya lampu chandelier sepagian ini, juga dari sebagian besar pantulan dari perabot kaca, kristal, dan lainnya yang mewah entah terbuat dari apa yang amat mengilap. Entah ini karena pengarku belum hilang atau memang level sensitivitas cahaya di matanya terlalu rendah.
"Kamu membuatku sakit hati," guraunya, membuat hampir muntah. Sarapan roti apelku sampai merayap naik ke tenggorokan. Aku sempat mengudap sebelum tiba-tiba mendapat panggilan telepon darinya.
"Setahuku kamu bukan orang yang peduli hati. Kalau iya, kamu tidak akan mungkin membuangku."
Evan menertawai jawabanku. "Sarkasme-mu memang tidak pernah berubah. Ini yang membuatku makin merindukanmu."
Aku mengangkat bahu, tak ingin membahasnya.
"Jujur, kamu selalu menjadi kenangan terbaikku di masa muda. Kamu ingat waktu itu, kita berkeliaran ke café-café rendahan dan bernyanyi di jalanan? Kamu sebagai penyanyi dan aku sebagai pemusiknya. Kita girang sekali tiap mendapat bayaran, walau hanya beberapa ribu dollar, dan merayakannya dengan minum bir kalengan di minimarket."
"Ada juga masa-masa itu," ungkapku, ikut terserang nostalgia.
"Beberapa kali kita dikejar polisi karena manggung tanpa izin. Di Centennial Park waktu itu, kita berbagi mimpi. Denganku sebagai produser musik dan kamu sebagai penyanyinya. Ini sangat mengesankan bagaimana dunia bekerja merangkai hidup kita." Matanya berlinang-linang waktu mengucapkannya, ia pura-pura menengadah, bersandar pada sandaran kursi singgasananya yang empuk, agar tidak ketahuan menangis olehku.
"Hanya berlaku untukmu. Kamu berhasil menjadi produser musik di label terkenal setelah menusukku dari belakang dengan mengaku lagu ciptaanku sebagai lagumu waktu nama kita mulai naik."
Evan mencebik. "Orang-orang harus mengambil kesempatan ketika mereka bisa. Itu yang akan dilakukan semua orang, tidak terkecuali kamu."
"Paling tidak saya tahu etika dengan tidak melupakan teman lama waktu sudah sukses," serangku.
"Saya tidak pernah melupakanmu, Melissa. Saya memilih salah satu penyanyi tenar saya di satu kontes di New York karena teringat suaramu. Orang itu sukses besar. Apa kamu tidak iri padanya?"
Kutegakkan badan dan menatapnya serius. "Bisa kita bicara soal bisnis dan berhenti bicara masa lalu?"
Rahangnya berkedut, kukira harga dirinya sedikit tercoreng karena bicaranya kupotong. "Kamu selalu tidak pernah suka basa-basi. Saya suka sifatmu itu."
Bacot. "Jadi, berapa lama kamu mau aku menggantikan penyanyi kesayanganmu? Sebulan? Dua bulan? Berapa lama Avril dirawat kali ini?"
Evan bangkit dari duduknya. Tangannya membawa buku bersampul tebal hitam yang empuk. Ia melempar buku itu ke meja, lalu menggesernya ketika aku coba membacanya. Sampul depannya berbunyi, employee aggrement.
"Avril adalah penyanyi favoritku abad ini. Dia cantik, pintar, berbakat, dan piawai memainkan perannya sebagai gadis misterius walau sebenarnya dia hanya orang pendiam yang benci berada dalam spotlight. Orang-orang menjulukinya pop rock queen. Aku menjulukinya, aset label. Sayangnya, Avril tidak mengetahui berapa besar kekuatannya dan tenggelam dalam obat-obatan sejak kematian kakeknya. Dasar anak malang. Mengapa anak jaman sekarang kalau merasa depresi sedikit, selalu merasa dunianya runtuh dan berakhir menantang maut?"
Bahuku berguncang waktu Evan menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menggeser tubuhnya lebih dekat denganku. Dia tersenyum ramah yang jatuhnya seperti ular licik. Bulu-bulu kudukku merinding waktu dia berbisik di telingaku, "Sayang, anak itu meninggal minggu lalu."
Napasku tercekat. Barang sedetik mungkin jantungku berhenti berdetak. Kupelototi dia, hingga kurasa urat-urat mataku menegang dan bisa kapan saja terlontar keluar.
"Apa?" ulangku tak percaya.
Evan tidak mengulang, malahan mengulum senyuman lagi.
"Karena itu aku membutuhkanmu menggantikannya," ucapnya tenang.
Emosi membuatku terlonjak berdiri.
"Aku tidak mungkin bisa. It's totally nonsense, Van! Seseorang mati! Ini bukan permainan atau tentang siapa yang salah lagi! Tidak ada yang bisa menutupi kebohongan sebesar ini! Tidak, labelmu! Tidak, kamu! Kamu harus menyiarkan kematian dia secepatnya!"
"Label ini akan kehilangan banyak. Aku tidak mau mempertaruhkan karirku yang sudah kubangun bertahun-tahun sampai sebesar ini hanya karena hati nurani yang konyol," dengkusnya seakan ucapanku adalah lelucon terkonyol tahun ini.
"Avril itu penyanyimu!"
"Dan, kamu punya suara yang sama dengannya. Bahkan, lebih merdu. Kamu selalu mau jadi penyanyi, kan? Ini kesempatanmu!"
"Dengan menjadi penyanyi pengganti?"
Evan meraih jemari tanganku, menggenggam ujung jarinya dengan lembut, ia menjawab masih dengan suara kalem.
"Iya. Kamu juga bisa menjadi produser dan menulis lagu sesukamu. Kita, membuat lagu bersama lagi. Seperti masa lalu."
Kuhempaskan tangannya. Menatapnya dengan tajam dan takjub. Apa yang sudah industri musik perbuat ke otaknya hingga dia bisa membuat rencana semengerikan ini?
"Kamu benar-benar bejat." Kutarik tas jinjingku. Rasanya semua udara di ruangan itu berubah pengap dan berbau tengik, kakiku mengentak keluar. "Lupakan kesepakatan ini! Aku pergi!"
"Bagaimana dengan adikmu yang sakit?"
Langkahku sontak terhenti. Seperti sedang berada di pinggir tebing yang terjal dan kerikil yang jatuh kutendang menyadarkanku akan di mana keberadaanku selanjutnya bila aku lanjut melangkah.
Dengan suara congkaknya, ia berkata, "Kudengar adikmu akhirnya mendapat transplantasi jantung setelah menunggu bertahun-tahun. Kamu telah mengumpulkan uang bertahun-tahun untuk ini, tapi itu pun belum cukup karena biaya rawat adikmu di rumah selama dua tahun ini. Kalau kuasumsikan dari kedatanganmu ke sini, kamu kepepet karena rumah sakit memberimu waktu tunggu satu hari untuk membuat keputusan. Jika tidak, jantung itu akan diberikan pada pasien lain.
"Aku selama ini membenci adikmu karena selalu menyusahkanmu dengan pengobatannya. Bahkan, dia menjadi alasan kamu menolak tawaranku masuk ke label waktu itu karena kamu jadi tidak punya waktu mengurusnya. Tetapi, dia membawaku pada tawaran ini."
Evan bangkit berdiri. Dengan lembutnya, ia menyingkirkan untaian rambut yang jatuh di dadaku dari belakang. Ia berbisik, "Menurutmu, berapa lama transplantasi jantung akan tersedia lagi di Toronto? Apa sampai saat itu, adikmu masih bisa bertahan?"
Aku membalasnya sengit.
"Kurasa tidak." Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Mau mengakui atau tidak, pilihanmu cuma aku."
Ia mengeluarkan buku bersampul hitam itu dari balik punggungnya. Employee Aggrement. Ia menepuknya ke lenganku. Dan, walau aku tahu akan menyesalinya, pada akhirnya, di akhir tahun 2003 itu, di atas kontrak kami bersepakat menjalin kerja sama.
****
Tepat pada tahun 2003, kehidupanku sebagai Avril Lavigne resmi dimulai. Sejujurnya, aku benci nama Melissa McCartney, nama pemberian orang tua yang membuangku dan adikku di tengah jalan kota Toronto. Juga membenci nama Melissa Vandella, nama panggung buatan Evan, yang sejak beberapa tahun silam kupakai sebagai namaku. Namun, semenjak semua orang mulai memanggilku Avril Lavigne, keberadaanku serasa hilang di dunia.
Ketika berhadapan dengan cermin, yang kini kulihat adalah sosok asing. Evan yang mengurus semua perubahanku. Mulai dari tanam benang di hidung dan dagu, potong rahang di meja dokter plastik, mengecat rambut coklat kemerahan kebangganku menjadi pirang seluruhnya, dan hampir setiap hari dalam sebulan wajah dan badanku disamakan dengan foto mayat Avril Lavigne. Label itu memang biadab. Tega sekali menggali kuburan orang hanya untuk menyamakanku dengan penampilan terakhir mendiang.
Mereka selalu skeptis dengan pandangan media. Kata mereka, ratusan isu palsu bisa tersiar ke seluruh jagad maya hanya karena satu netizen menyadari bentuk hidungku beda satu senti. Itu membuatku tergelak, mana bisa mereka tahu perubahanku kalau semua tingkah laku, penampilan, bahkan gaya nyanyiku pun diatur oleh label?
Aku terlahir kembali sebagai boneka palsu Avril Lavigne. Hari-hariku dilalui dengan bernyanyi dari panggung ke panggung. Dari yang lokal hingga ke internasional. Setiap hari tersiram kilatan kamera, di setiap aku berjalan, berpose dalam suatu acara, bahkan ketika makan. Kehidupan bak tinggal di kebun binatang.
Yang membuatku bertahan mungkin perasaan aneh ini. Rasa membara dalam dadaku ketika berdiri di panggung melihat jutaan orang datang untuk menikmati nyanyianku. Menatap wajah-wajah sumringah yang tidak kukenali satu per satu karena gelapnya stadium, dan mereka mengiringi nyanyianku dengan jutaan flashlight ponsel yang indahnya seperti bintang di langit, lalu kami bernyanyi bersama-sama. Kupikir aku sudah melupakan kenikmatan bernyanyi, terkubur bersama tagihan-tagihan rumah sakit di dasar lantai berdebu rumahku.
"Perform-nya menyenangkan, kan?" Evan menyodorkan sebuket bunga mawar merah. Ada kartu congratulations tersemat di tangkainya. Dia duduk di kursi samping meja rias, masih memakai setelan jas cokelat resminya.
"Selalu seru, sampai kamu datang," desahku jengkel menerima buket. Semilir harum bunga segar tercium.
Para stylist sedang berada di ruang sebelah untuk menyiapkan busana pulangku. Kugulir laman twitter yang tengah membahas konserku barusan saat Evan menengok layar ponselku.
"Berhentilah terobsesi sama pandangan media. Kerja mereka mencari masalah. Bukannya membahas gimana konsernya, yang dibahas malah," Evan membaca satu judul berita gosip, "'tampilan sensual Avril di konser terbarunya', berita macam apa ini?"
Aku mengeratkan handuk yang menutupi cocktail dress hitamku. "Mereka juga mengomentari perawakanku yang jauh lebih tinggi dibanding dulu, juga bentuk hidungku lebih kecil."
"Tinggimu selalu sama, tetapi sekarang kamu lebih banyak memakai heels berhak tinggi. Hidungmu indah berkat make up. Simpan jawaban itu untuk interview-mu."
"Bagaimana dengan Martha? Kamu sudah mengurus pendaftaran sekolahnya?"
Evan menyalakan rokok dan mengisapnya. "Sudah." Asap diembuskan dari mulutnya yang lalu menghilang ke udara. "Administrasinya sedikit sulit karena Martha telat setahun dari teman seumurannya. Aku menjelaskan itu karena masa pemulihan operasi jantung lama dan meyakinkan kalau dia aset yang penting."
"Martha cerdas," tambahku, membenarkan.
Setahun lalu, berkat biaya dari Evan operasi transplantasi jantung Martha berhasil. Ia menjalani setahun penuh untuk pemulihan dan kini dinyatakan dokter telah mampu beraktivitas normal. Ketiadaanku sebagai keluarga satu-satunya yang harus menjaganya, dijawab Evan kalau aku telah meninggal. Evan mengadaptasi cara kematian Avril sebagai kematianku, dan kubur Avril sebagai kuburanku.
Sebagai gantinya, Evan secara tulus menerima Martha sebagai keluarga. Ia membiayai sekolah dan sehari-hari Martha secara gratis, memakai kedok kalau itu semua adalah permintaan terakhirku sebagai mantan pacar. Kedoknya benar, bagian membiayai hidup Martha masuk dalam aturan kontrak kerja.
"Istirahatlah di mansion setelah ini. Besok pagi kamu punya jadwal mengunjungi kampanye peduli kanker di rumah sakit. Kurasa bernyanyi di sana bagus membangun image baik." Evan berbisik, "Dan ingat, jangan macam-macam. Aku memegang hidup Martha."
"I get it." Aku mengangkat tangan mengalah dan itu cukup menenangkan hati Evan. Lalu, stylist datang membawa satu set baju kasual.
****
Kampanye peduli kanker diadakan di halaman belakang suatu rumah sakit lokal. Acaranya tidak besar karena ini hanya agenda tahunan suatu komunitas lokal. Kebetulan salah satu pendirinya berteman baik dengan Evan. Label melihat tampil di acara sosial adalah kesempatan baik untuk menutupi isu operasi plastik yang tengah merudungku. Lebih bagus lagi kalau komunitasnya kecil dan ruang aksesnya terbatas untuk menghindari massa. Tak tahunya, para wartawan itu punya telinga sebesar gajah. Setibanya aku di rumah sakit pagi itu, belasan wartawan beserta kameramen berjejeran di pintu masuk rumah sakit merayu-rayu petugas keamanan untuk dimaksukkan.
Halaman rumah sakit itu tidak besar. Kapasitasnya bisa menampung kisaran seratus orang berdiri. Sebagian dari mereka adalah orang komunitas, keluarga pasien rumah sakit, para perawat, juga muda-mudi yang memang aktif komunitas. Ada juga penggemarku yang menyusup, kelihatan dari baju cetakan wajahku di dada mereka, juga sorak-sorai memuja penampilanku di panggung. Padahal itu hanya satu lagu, tetapi dua menit itu terasa seperti konser pribadi.
Terkadang, aku terbuai peran ini, sesaat mengira mereka menyukaiku, lalu menjadi depresi saat sadar sorakan dan cinta mereka adalah untuk mendiang Avril Lavigne. Jadi, saat penampilanku selesai dan manajer mengantarku ke mobil untuk persiapan ke jadwal selanjutnya, aku meminta waktu sepuluh menit untuk berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, menyusuri pekarangan, menghirup udaranya, dan merasa sebagian diriku kembali. Aku pernah berjalan dengan Martha di jalan setapak ini. Di bawah pohon maple itu kami bercengkrama. Dia mengungkap keinginannya waktu itu untuk menjadi seperti pohon maple yang walau tiap tahun daunnya berguguran, namun mampu hidup sampai ratusan tahun.
"Kakak?"
Suara nyaring yang akrab itu membuatku sontak menengadah, kemudian mematung.
Martha, adikku tersayang, berdiri menepuk pundakku dengan rupanya yang lebih tinggi dan sehat. Matanya yang sewarna daun maple itu membelalak. Rambutnya memajang melewati bahu. Pipinya yang rentan dingin menyemburat merah.
Gemerisik daun-daun maple yang berguguran jatuh ke tanah memendam ratusan tanya yang membengkak di kepala kami.
Martha memindai tampilanku atas-bawah, raut wajahnya berubah menjadi setengah yakin.
"Maaf. Saya mendengar nyanyian dari halaman belakang dan merasa mengenalinya. Suara itu mirip seseorang yang saya kenal, yang seharusnya sudah tiada. Jadi, aku mengikutinya." Wajahnya yang sesaat sedih, sedetik kemudian berubah takut. "Jangan salah paham! Saya bukan penggemar kakak! Saya hanya orang lewat yang kebetulan ada di rumah sakit!"
Lalu, ia kembali memasang wajah bersungut-sungut, "Saya hanya ingin bertemu kakak saya walau sebentar. Jadi ..., apa kakak melihat orang lain di sini?"
Ada sinar permohonan dan harap memancar di mata beningnya. Seakan jawaban dariku adalah air untuk dahaganya. Yang ingin kulakukan saat itu adalah bercerita banyak tentang setahun parah yang kulalui, mengeluarkan ribuan tanya tentang kesehatannya dan kekhawatiranku, atau memeluknya. Seharusnya ini menjadi temu haru dan hangat. Tetapi, semuanya tercekat di tenggorokanku. Mengendap di dalam pikiranku yang semrawut.
Kontrak kerja. Avril Lavigne. Evan.
Lalu, bagaimana kondisi Martha nanti kalau semua tipuan ini ketahuan?
"Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Saya tidak melihat siapa-siapa di sini. And, if you don't know who I am. I am Avril Lavigne," kataku.
Yang sama sekali tidak menenangkan. Wajah cerah Marta berubah murung sekali.
"Kamu mau tanda tangan?"
Dengan setengah bingung, setengah kepala kosong, Martha mengiyakan tawaranku, mengambil pulpen dan menyodorkan telapak tangannya. Terdengar suara langkah hak sepatu berkelotak pada semen di belakang-pastilah itu manajerku.
Kutandatangani telapak tangannya yang halus. "Kuharap, kamu bisa bertemu dengan kakakmu," pesanku padanya.
Ia melihat telapak tangannya sekilas, lalu membelalakkan mata. Sebelum ia memanggilku kembali, manajer datang sambil menunjuk-nunjuk jam tangannya. Wajahnya superkesal. Jelas, kami telat.
"Siapa gadis tadi? Penggemarmu?" tanya manajer waktu kami sampai di mobil. Ia memasang seat belt, tetapi matanya mengawasiku dari kaca spion.
Aku bertumpu dagu, menatap jendela mobil.
"Bukan, hanya orang tersesat," balasku, lalu menyembunyikan senyumku sambil menatap daun maple berguguran di jalanan.
****
Hope you will find your sis, Martha ^^
Melissa Vandella
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top