Harapan
Sebelumnya kami bercanda ria. Saling menyulut batang rokok dan menghabiskannya. Asap-asap ini mengepul putih di tengah udara dingin dan keheningan malam. Kulihat hasil melaut kami yang menggunung di ujung sana sembari membicarakan berita yang menghebohkan beberapa pekan lalu. Seorang penyelam menemukan batu permata biru yang indah di dasar lautan. Batu itu memancar selayaknya diberi cahaya dan menimbulkan bayangan yang indah.
"Batu itu sudah dimuseumkan. Hah, kalau sudah ada di sana, susah untuk berpindah tangan," ucap kawanku sebelum kami saling terdiam melihat keadaan sekitar dan saling pandang.
Langit gelap dengan awan bergerombol. Tiupan angin mengeringkan keringat dingin. Kami menyaksikan angin di depan berpusar siap menerjang kapal. Ombak saling bersaut mengombang-ambingkan raga kami dalam kebimbangan dan keputusasaan untuk terjun ke laut. Hingga keteguhan tiba, kawanku berucap, "Siap kawan?"
Kami saling mengangguk dan menyelam ke dalam lautan yang sedang bergejolak.
*
Kupikir gelombang ombak dan badai itu akan menghancurkanku bersama kapal--- mengambil seluruh napasku menuju keabadian. Kenyataannya antara iya dan tidak. Ombak membawaku menuju dasar lautan. Kegelapan sejati menyelimuti pandangan. Namun, sekelebat pandanganku menangkap setitik cahaya keemasan dan manusia berekor ikan menyembul keluar bersama dengan suara halusnya yang memabukkan.
"Kami tenggelam dan selamanya berada dalam kegelapan. Harapan kami lebur tetapi kesempatan akan datang. Suatu nanti."
Itulah kata-kata yang dapat kutangkap. Sebelum wanita berekor itu merengkuhku dan melawan arus yang mengubur kami. Sesaknya air tergantikan dengan udara segar. Saat kutilik wajahnya, hidungnya mancung, kulitnya pucat, dan telinganya memanjang seperti tanduk. Mata birunya menatap ke atas, mengisyaratkan bahwa dia akan menyelamatkanku dari kematian. Hingga akhirnya langit mendung dapat kulihat dengan mata kepala sendiri. Dia menggeletakkanku di atas batu besar pada tengah pantai. Tatapannya kosong, ujung bibirnya tak bergerak sama sekali. Dia berbalik pergi menjauh dan itu mengumpulkan tenagaku untuk duduk dan berteriak, "Terima kasih."
Dia menoleh dan mengangguk. Ini membuatku terkejut, wanita ikan itu paham.
*
Air mataku belum sepenuhnya kering semenjak raga kawanku belum ditemukan. Kawan yang saling dukung kala melaut kini telah menjadi kenangan yang perih kala dikenang. Apakah mereka ditemui wanita berekor itu? Diselamatkan di pulau lain? Lalu, mungkinkah kawan-kawanku masih hidup?
Kuharap demikian. Setiap malam langkah kakiku selalu tertuju pada pantai. Melihat langit bertabur bintang sembari mengenang dan berharap wanita itu hadir lagi. Selayaknya kemarin-kemarin, dia membenamkan diri dan menyembulkan kepalanya. Rambut keabu-abuannya terjuntai lurus dan menampakkan mata seindah langit musim kemarau. Saat kuhampiri, dia menjauh dan menyelam lagi.
Kali ini, kudatangi lagi. Aku berenang malam-malam untuk meraih batu besar di pantai dan menanti kehadirannya, "Apakah kamu melihat temanku? Mereka sejenisku, laki-laki. Rambutnya pendek---"
Ucapanku terpotong kala dia ikut naik ke atas batu, sembari memperlihatkan ekor bersisik yang berkilau biru diterpa sinar rembulan. Kusadari, bajunya tertutup, tidak seperti putri duyung dalam khayalanku.
"Kenapa diam? Jumlah mereka 4 orang?" ucapnya dengan suara lembut.
Aku mengangguk, "Di mana mereka?"
Dia menoleh, "Apakah mau kunaikkan mayat mereka?"
Mataku melotot, rasa perih di ulu hati menyambung ke dada hingga berdenyut nyeri. Kulihat dia menunduk dan terkikik, "Hanya bercanda."
Emosiku telah naik di ubun-ubun, "Perkataanmu keterlaluan," ucapku dengan suara rendah menahan amarah.
Dia menoleh kembali, "Mereka diselamatkan temanku, entah dibawa ke mana ..."
Mendengar ucapannya, sebagian dari amarah dan kesedihan menguap, "Bisakah kau tanyakan pada temanmu, di mana mereka?"
Dia mengangguk, "Ada persyaratannya." Tangan dinginnya menyentuh dahiku. Seketika semua terlihat berkabut dan gelap. Perlahan cahaya muncul dan menerangi pandanganku untuk melihat gedung dengan ukiran di tembok terbentang artistik. Jembatan-jembatan saling menghubungkan bangunan satu dengan yang lain. Kubah-kubah dengan jarum seperti emas menggapai langit. Namun, pemandangan ini sepertinya akan sirna. Sebuah goncangan dahsyat mengoyak ukiran dinding menjadi retakan dan runtuh ke tanah. Para makhluk menyerupai manusia itu tunggang langgang pergi menuju daratan bebas bangunan. Tetapi, satu orang tetap di dalam bangunan, sembari mengampitkan tangan sembari menatap permata biru yang ditangkup oleh wadah kaca.
Kupikir dia akan tamat. Dan benar, sayangnya seluruh makhluk di sini benar-benar akan hilang. Daratan ini amblas dan seluruh lautan di sampingnya saling bertubrukan untuk menguburkan bangunan megah itu menjadi sejarah yang tidak kuketahui sama sekali.
Bersamaan dengan kejadian ini, batu biru yang dipuja tadi memancarkan cahaya. Seluruh orang yang tenggelam menahan napas dan memperlihatkan perubahan tubuh. Kakinya berubah bentuk menjadi ekor dan memudahkan mereka untuk hidup dalam samudra.
Satu hal yang sangat janggal. Batu itu sangat tidak asing.
"Iya benar, batu itu telah dicuri penyelam. Kami kehilangan satu-satunya harapan kami untuk bisa bertahan lebih lama semenjak Atlantis hancur," ucapnya membuyarkan lamunan yang diberikan.
"Bisakah kau mengambilnya untuk kami?" tambahnya.
Kini pikiranku buntu. Atlantis, duyung, dan permata. Baiklah, tapi bagaimana permata itu bisa kucuri dari museum dengan tingkat keamanan yang tinggi itu?
"Bagaimana?" tanyanya lagi dengan mata penuh binar harapan, "Aku tidak bisa berlama-lama di daratan, harapanku hanya kamu satu-satunya."
Kini pikiranku buntu, tetapi hanya itu harapan satu-satunya supaya kawanku bisa kembali ke rumah, "I-iya, akan kuusahakan."
Dia tersenyum, "Terima kasih."
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top