Genjer-Genjer
"Genjer-genjer nong kedokan pating keleler." Bukan sebab menakuti Rum bernyanyi. "Genjer-genjer nong kedokan pating keleler." Dulu pernah dia punya mimpi ingin seperti Lilis Suryani. "Emake thulik teka-teka mbubuti genjer." Diundang ke istana. Mendendangkan lagu kesukaannya. "Emake thulik teka-teka mbubuti genjer." Terkenal hingga dapat dia belikan dua ekor sapi untuk bapak. "Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih." Sayang, belum sempat dia mencicipi panggung, digerebek rumahnya. "Genjer-genjer saiki wisi digawa mulih." Semua itu karena Darsono.
***
Lampu minyak baru disangkut pada paku, ketika ada yang menggedor kuat. Tak lama setelah lempar tatap dengan bapak, Rum membuka pintu. Terkejut dia. Sinar petromaks beserta senter serta-merta menusuk mata dan membanjiri bagian dalam rumah. Rum mundur beberapa langkah. Baru, setelah senter dimatikan dan petromaks tidak lagi diangkat, dia dapat melihat siapa yang bertamu. Darsono. Darsono datang dengan seolah dikawal. Ada tiga orang berperawakan besar tegap berdiri di belakang Darsono. Mereka menatap seakan Rum tertangkap basah tengah menyatroni rumah tetangga. Dan yang membuat jantung Rum mulai berdegup cepat, tiga orang ini memakai seragam.
"Maaf." Rum mendadak serak. Dia berdeham kemudian melanjutkan, "Ada perlu apa, Kang?" suaranya serupa bisik, tetapi Darsono bisa mendengar dengan baik.
"Ada Pak Tarsimi-nya, Rum?"
Berkerut jidat Rum. Sekonyong-konyong timbul rasa tidak enak di dada. "Aku panggilkan dulu, Kang."
Sengaja Rum tidak mempersilakan mereka masuk. Mendadak kalut pikirannya. Juga semakin pekat perasaan tidak enaknya. Apa yang didengar beberapa hari ini berputar bagai lagu Lilis Suryani di radio; berulang-ulang. Konon, sekelompok pria berseragam menangkap yang terlibat pertikaian dan yang merasa jemawa atas kemenangan yang hanya sampai ayam berkokok. Ikhbar dari mulut ke mulut itu sudah menjelma begu yang lebih menakutkan dari di hutan. Berpikir Rum perihal apa yang sudah dilakukan. Tidak ada yang menyimpang. Bapak kerja seperti biasa, sedang Rum masih jadi buruh kerupuk di tempat Darsono. Mereka tidak ikut permusuhan atau perayaan apa pun. Lantas, kenapa mereka disambangi?
"Siapa, Rum?" Bapak sedang duduk di pinggir dipan saat Rum masuk bilik.
"Kang Darsono. Mencari Bapak." Sebenarnya, tak sampai hati Rum memanggil bapak. Bapak pasti sudah dengar kabar yang beredar. "Sama tiga orang berseragam, Pak."
Meski hanya berpenerangan lampu minyak, air muka bapak terpampang jelas. Tidak semringah. Sorot matanya tampak menerawang. Berat embus napasnya. Rum menerka detak jantung mereka sudah seirama kencang. Kemudian bapak berjalan mendahului Rum. Sebelum keluar bilik, bapak berbisik, "Jangan resah, Ndhuk."
Bapak menghadapi Darsono dan ketiga orang itu dengan tenang. Walau sangat gemetar kakinya, suara bapak tidak ikut bergetar kala menanggapi apa yang ditanya. Sebagaimana mestinya, bapak bilang bahwa dia hanya pengurus kebun dan sering mengangon kambing tetangga. Bapak juga menceritakan sedikit tentang ibu yang sudah meninggal. Disangka tuntas pertanyaan, bapak diminta ikut.
Rum langsung mengamit lengan bapak. Ingin menangis dia. Bisik-bisik perkara penangkapan berdesakan di telinga. Bagaimana kalau bapak dibawa ke tempat yang jauh, disiksa dan tak boleh pulang? Bapak tidak lebih dari lelaki tua yang kurus kering dan sedikit bungkuk. Gigi bapak pun sudah tanggal banyak. Dalam mendengar dan berbicara juga kurang jelas. Terlebih, bapak tidak pernah ikut-ikutan. Lelaki tua itu hidup hanya untuk bisa menafkahi diri dan anak semata wayangnya. Lalu, atas dasar apa mereka ingin membawa bapak?
Rum terlalu takut untuk bertanya langsung. Dia menatap Darsono sebagai gantinya. Darsono tentu tahu bagaimana bapak dan dia. Darsono bisa meyakinkan tiga orang ini agar membiarkan bapak di rumah.
"Sampean juga ikut." Salah satu dari pria berseragam menatap Rum. Kemudian mengalihkan pandang ke Darsono.
"Tidak apa-apa, Rum, Pak. Bapak-bapak ini hanya ingin bertanya lebih lanjut. Kalau di sini, kan, sudah gelap. Tidak akan lama. Saya jamin cuma sebentar."
Mendengar tuturan Darsono, perasaan awas Rum sedikit berkurang. Wajah bapak yang tegang juga sudah menampakkan senyum. Jika Darsono sudah menjamin, mereka boleh percaya. Lagi pula, seperti kata bapak, 'Tidak perlu ada yang diresahkan.' Toh, mereka hanya wong cilik yang tidak mengerti huruf.
Bersama Darsono dan tiga pria berseragam, Rum dan bapak di bawa ke tanah lapang. Tanah lapang yang biasanya dijejeri dipan-dipan tempat Rum dan pekerja lain menjemur kerupuk, kini diisi beberapa truk bak terbuka. Truk-truk itu besar dan keluar suara menggeram yang saling bersahut-sahutan. Di sini Rum berpisah dengan bapak. Bapak diminta menaiki truk di sebelah utara, sementara Rum di kidul.
Perasaan tidak enak yang sempat menipis kembali menyerang, manakala Rum naik truk. Ternyata banyak perempuan. Semua berdiri termasuk Rum. Dari tangkapan sinar senter seorang pria berseragam yang tadi menarik Rum ke atas, dijumpai Rum beberapa wajah yang dikenal. Mereka tampak kuyu dan ada yang terisak. Rum membuang muka ke truk tempat bapak berada. Setidaknya, dia dan bapak sudah dijamin Darsono. Mereka bakal boleh pulang.
Dari tempat yang tidak terkena sorot lampu mobil, Darsono berdiri. Ditatapnya truk yang berisi Rum. Dua hari lalu, Darsonolah yang naik truk itu. Bersama kamitua dan seorang ustaz, dia digiring ke sebuah bangunan tingkat tiga. Tak elak, Darsono banjir keringat dingin. Bayangan dilucuti serta dipecuti menemani langkahnya menapaki anak tangga. Hingga mereka dibukakan pintu pada satu ruangan, sekujur tubuh Darsono sudah gemetaran. Dia bahkan sampai dipapah si ustaz.
Bertiga, mereka duduk di hadapan seorang petugas bertubuh tinggi besar. Nyalang tatapnya membuat Darsono semakin ciut. Dan ketika nama mereka disebut, Darsono sudah pasrah. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah bukan interogasi. Pun tidak ada yang dilucuti maupun dipecuti. Hanya satu map yang disodorkan si petugas. Map itu dibukanya perlahan. Masih nyalang matanya, dia berujar tegas dan penuh penekanan bahwa yang tertera adalah nama-nama yang terlibat. Patut bagi Darsono, kamitua, dan ustaz untuk menjaga orang-orang yang di daftar agar tidak keluyuran keluar desa sampai para petugas datang menjemput. Dan penangkapan itu bersifat mendadak serta rahasia.
Darsono, kamitua, dan ustaz mengangguk manut. Sebelum keluar ruangan si petugas memberi ucapan tambahan, "Mungkin yang di daftar tidak terlibat langsung. Tapi penting untuk sekarang kita tidak lengah. Baiknya memang dibawa dan diinterogasi semua. Untuk itu, jika ada yang kabur, maka penjenengan semua yang bertanggung jawab. Lalu, tambahkan yang menurut panjenengan semua juga terlibat. Bila perlu, sampai nomor terakhir."
Darsono pulang dengan pikiran penuh. Segera, dia meminta kamitua untuk menutup desa. Dengan alasan keamanan, untuk sementara jangan ada yang keluar desa. Dia juga menyuruh si ustaz mengumumkan lewat surau. Penting untuk menahan yang di daftar agar tidak pergi.
Sebab itu, Darsono tak bisa tidur. Dia menghabiskan berbatang-batang rokok di ruang tengah sembari membaca lagi nama-nama yang tertera. Tak habis pikir, daftar nama itu lebih dari sepuluh orang. Padahal, sepengetahuan Darsono, mereka tidak pernah neko-neko. Wong, cari lauk utuh saja susah dan berharap selalu ada bantuan.
Darsono sudah akan beranjak ke kamar untuk mencoba tidur lagi, ketika pintunya diketuk. Terdengar salam dari luar. Tanpa takut itu lelembut, dia membuka pintu. Ternyata kamitua. Lelaki tua itu segera masuk setelah dipersilakan dan menolak disajikan apa pun. Dia datang dengan kesungguhan yang bahkan di mata awam Darsono sangat kelihatan.
"Aku mau isi daftar itu, Dar."
"Jenengan mau isi siapa? Memang, ada lagi yang terlibat?" Yang di daftar saja sudah membuat kening Darsono mengerut. Seumur hidup di desa ini, tak pernah sekalipun dia lihat orang bawa-bawa parang. Berteriak menentang Tuhan. Merampas hasil panen. Atau malah membunuh.
"Ada." Sesaat si kamitua tampak ragu. Namun, kemudian tatapnya kembali yakin. "Slamet."
Makin berkerut jidat Darsono.
"Kamu pasti tahu, 'kan, si Slamet tidak pernah ke surau."
Jenengan pun sama.
"Dia pernah menerima bantuan dari partai itu."
Jenengan pun iya.
"Mau bukti apa lagi? Jelas si Slamet ini juga terlibat. Tulis namanya, Dar."
Darsono tak langsung menurut. Dia amati terlebih dulu lelaki tua yang duduk di sampingnya. Datang nyaris larut malam cuma untuk menambahkan satu nama. Slamet. Tak lama Darsono paham duduk perkaranya. Memang Slamet dan lelaki tua ini tak pernah akur. Pernah sekali Darsono menjadi penengah keduanya. Pernah pula Darsono melihat Slamet memukul si kamitua. Dendam itu ternyata sudah kesumat.
"Saya ambil pulpen dulu."
Tak lama, Darsono sudah menambahkan nama Slamet di daftar. Sepeninggal Kamitua yang pulang dengan air muka puas, niat mencoba tidur berubah jadi merokok lagi.
Asap yang keluar dari hidung dan mulut Darsono seolah membentuk wajah seseorang. Mendadak dia teringat Rum. Beberapa hari lalu Rum mengembalikan gelang yang dia berikan. Padahal sudah banyak yang Darsono lakukan. Memberi pakaian, makanan, bahkan memperlakukan bapak Rum laiknya ayah sendiri. Namun, gadis itu menolak ketika dilamar. Dan yang lebih membuat Darsono sakit hati adalah Rum mengembalikan gelang itu di hadapan dua istri dan para karyawannya. Memang, semua menduga Rum memasang susuk, tetapi Darsono merasa harga dirinya sebagai orang berada sudah dicoreng.
Kemarahannya sedikit demi sedikit naik. Lalu, menguasai pikiran dan hati. Setelah menekan kuat puntung rokok pada asbak, tangannya menulis dua nama sekaligus dalam daftar. Pertama, Tarsimi. Kedua, Rumiyati.
Darsono meyakini, apa yang dia lakukan tidaklah salah. Seperti halnya Slamet dan si kamitua, Tarsimi juga pernah menerima bantuan. Terlebih, Rum sering bersenandung lagu Genjer-Genjer. Jadi, jelas bukan salahnya. Dia hanya menjalankan perintah. Menambahkan yang terlibat.
Meski sudah Darsono memantapkan hati, tetap ada sesal saat melihat truk-truk itu beranjak. Apalagi mendapati Rum dan bapak yang mempercayainya. Namun, kasam dalam hati Darsono jauh lebih pekat ketimbang nurani. Jadi dia sumpal segala rasa tidak enak dengan pikiran bahwa inilah cara tepat meraih harga dirinya lagi.
Andai Rum mau menerima pinangan, sudah pasti hidup enak perempuan itu. Tak perlu lagi jadi seperti Lilis Suryani untuk membelikan bapak sapi. Cukup diam di rumah dan siap melayani.
Darsono menyalakan lampu senter dan beranjak pulang. Dibuangnya semua bayang tentang Rum. Besok pagi, yang tadi diam-diam mengintip pasti butuh bahan perbincangan hangat. Karena Darsono turut menjemput Rum, maka dia yang akan menempati posisi utama sebagai pembicara atas apa yang menimpa keluarga Rum. Sederhana saja, Rum sering menyanyikan lagu yang dibuat untuk partai terlaknat itu guna menarik yang lain agar turut terlibat. Dan Tarsimi diam-diam sering menerima bantuan.
Darsono benar-benar tidak lagi memikirkan Rum. Lupa pada jaminan yang diucapkan. Sementara Darsono hidup enak, Rum tidak lagi melihat bapak. Sejak dibawa malam itu, Rum digiring ke sebuah gedung berlantai tiga. Dalam salah satu ruangan, dia ditanyai macam-macam. Dituduh ikut organisasi terlarang bahkan sampai harus melucuti pakaian. Rum yang ketakutan didesak untuk mengaku. Setiap geleng kepala mendapat kecaman bahkan pukulan. Tak tahan, Rum iyakan saja semua tuduhan. Ternyata, nasibnya tak lebih baik.
Keluar dari gedung itu Rum dipindahkan dari satu kota ke kota lain. Dari satu sel tahanan ke penjara lain. Hidupnya hanya untuk dicaci. Tidak lama dia bertahan. Tiga hari panas tinggi, roh Rum melayang. Dalam mimpi di hari terakhir, dia melihat bapak. Begitu kurus. Tampak sangat tua. Bapak menangis. Seperti halnya Rum, bapak memohon. Ingin sekali Rum memeluk bapak. Namun, begitu didekati, bapak menghilang. Hanya pekat yang tersisa.
"Genjer-genjer nong kedokan pating keleler." Jadi, biarkan dia menghibur diri. "Genjer-genjer nong kedokan pating keleler." Bahkan jangkrik pun mempersilakan suara Rum agar didengar alam. "Emake thulik teka-teka mbubuti genjer." Lagu ini memang menyatu dengan hidup Rum. "Emake thulik teka-teka mbubuti genjer." Sering dia dan bapak makan genjer-genjer. "Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih." Sekarang, biar dia juga menghibur yang lain. "Genjer-genjer saiki wisi digawa mulih." Tetap bernyanyi meski tak lagi memiliki jasad.
Selesai.
Sedikit catatan:
Banyak yang bersikeras bahwa yang terjadi di tahun 1965 memang sudah sepantasnya terjadi. Babat habis, bila perlu sampai ke akar.
Namun, tak sedikit pula yang beranggapan bahwa orang seperti Darsono dan Rum benar adanya.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top