Halo. Penulis Dark HIStory di sini! Saya ingin berterima kasih kepada sahabat saya karena sudah mau berdiskusi mengenai judul cerpen ini. Tanpanya, mungkin saya akan selamanya stuck dan tidak akan mengikuti monthly challenge hahahahaha!
Para pembaca, selamat menikmati!
~*~*~*~*~
Kabarnya, dia meninggal karena overdosis obat. Seluruh dunia berduka akan suatu kesalahan yang diciptakan oleh dokter pribadinya. Yah, seolah seperti … kejahatan yang halus, mengingat kejadiannya sama sekali tak terduga.
Namun, percaya atau tidak, saat ini ia sedang berdiri dengan kedua kakinya.
Bagaimana bisa?
Entahlah. Bagaimana kalau tanyakan saja ambulans yang seharusnya membawa jasadnya itu? Ya, yang tinggal nama ini baru saja turun dari sana, dan melenggang dengan santainya di pintu belakang.
Meski dalam kondisi tenang, tetap saja kini ia akan mulai berhati-hati dalam setiap langkahnya. Kalau bisa, ia tidak akan ditemukan oleh sepasang mata siapa pun yang berada di sini.
Juga pasang demi pasang manik seisi dunia yang sudah ia tipu dengan kematiannya, tentu saja.
Hanya si dokter forensik ini yang tahu akan keberadaannya, tiada seorang pun selain dirinya yang hendak ia temui ini. Seseorang yang kebetulan memilih tinggal di dalam ruangannya sekarang.
Barangkali memang sengaja menunggu di tempat yang seharusnya ia tidak ada di dalam sana?
Sebab tepat di kala yang tinggal nama memasuki ruangan, sama sekali tiada keterkejutan dalam air mukanya. Malah, ia tersenyum sembari berdiri dan berisyarat kepada tamunya untuk duduk menghadapnya.
“Silakan, Tuan Jackson.”
Yang disebut namanya semula membalas senyuman kala ia menyambut undangannya. Lantas, ia pula bertutur dengan sopan, “Sebenarnya Michael pun tidak masalah.”
Mereka pun duduk berhadapan.
Cukup lama mereka saling jauh oleh sebab hening yang mereka ciptakan. Lagi, ia seolah belum ingin membalas tatapan si dokter yang menerawang ke kacamata hitam yang ia kenakan.
“Lakukan apa saja, Dokter. Hidung yang hancur, botak permanen, tato alis ….” Suara lembutnya melantun, lantas mendesah pasrah. “Apa saja yang bisa membuat mereka mampu mengisi kabar berita. Kau tahu, mereka tidak begitu benar-benar peduli mengenai kita, bukan?”
Si ahli foreksi mengerjap. Pun, ia sampai melepas kacamata bacanya.
“Kau boleh mengataiku jahat, tetapi ….” Lagi-lagi lawan bicaranya menjeda panjang. “Entahlah, Dokter.”
Dia lelah. Dokter beranggapan dalam hati. Dan hanya itu satu-satunya jawaban atas teka-teki yang diciptakan si lawan bicara. Lagi pula, memanglah sulit menerka setelah semua hal yang terjadi.
Baru saja ia mengumumkan bahwa ia akan kembali ke dunia musik dengan mengadakan konser. Pengumuman itu dikumandangkan begitu membara, dipersiapkan penuh semangat.
Namun, lihatlah dia sekarang. Kemilau di sepasang netranya menghilang, satu-satunya sumber di mana siapa pun mengerti kapan ia sedang bersenang hati. Barangkali, memang benar mengenai ancaman yang selalu menghantui sepanjang hidupnya.
“Lakukan apa saja untuk membuat dokter pribadiku itu jatuh. Kalau saja aku tak menyadarinya, obat itu akan benar-benar menghentikan jantungku.” Kemudian patahan kata ini keluar darinya seolah membenarkan pikiran si dokter forensik saat ini. Demikian ia terkekeh pilu, “Mereka sungguhan ingin membunuhku.”
Si dokter mendapatinya bergerak menggeser sebuah map. Barangkali riwayat-riwayat operasi dan kesehatan yang entah nanti akan membantunya untuk membuat laporan otopsi.
Memang mudah saja rasanya membuat pemalsuan dengan dokumen-dokumen itu.
Hanya saja ….
“Apa yang akan Anda lakukan setelah semua ini?”
Sekali lagi pertanyaan yang dilontarkan membuat ia termangu dalam waktu yang cukup lama. Dia berpaling. Sejenak berpaku kepada sudut langit-langit, lalu beralih kepada sudut meja seolah contekan atas jawaban yang ia cari ada di sana.
Hanya satu perihal yang teramat jelas kini ia tahu : dia akan membuang semua yang sudah susah payah ia bangun.
Ya, semua karya-karya itu. Entah yang berkali-kali bertahan di daftar peringkat Billboard*, yang berjuta-juta albumnya terjual hingga ke ujung dunia, atau yang membuatnya menerima sejumlah rekor dunia dan penghargaan.
Dia akan meninggalkan Neverland; dia akan meninggalkan panggung, dia tak akan menyanyi atau menari dan melakukan moonwalk lagi bersama jasnya yang berkilauan, berikut dengan sepatu pantofel yang familiar itu. Tidak akan ada lagi tur konser; dia akan meninggalkan para penggemar yang tiada henti memujanya; tidak akan ada lagi paparazzi menangkap penyamarannya yang aneh-aneh seperti menempelkan catatan tempel di sekitar bibir.
Namun, bukankah begitu cara hidup berjalan? Selalu dan selalu dituntut untuk memilih. Terkadang ketika menginginkan sesuatu, ada yang terpaksa harus dilepas meskipun itu merupakan perihal yang paling dicintai.
Yah, memang setelahnya ia menjalani kehidupan damai.
Pembicaraan akan perubahan penampilannya dari kulit hitam manis menjadi cemerlang tak lagi semarak seperti semasa ia hidup. Setidaknya ia tak lagi mendengar tuduhan seperti ia tidak lagi mengharapkan dirinya menjadi orang berkulit hitam.
Rumor yang cukup menyedihkan, memang. Padahal jika ia berkulit hitam atau putih tetaplah dirinya tetaplah sama. Orang ini masih dikenal sebagai manusia yang seluruh dunia pun tahu. Namun itu menyenangkan, kala orang-orang tak lagi marak membicarakan perihal serupa.
Hanya saja … seusai memilih pun, selalu ada risiko yang harus diterima, meskipun sudah menentukan pilihan terbaik sekali pun.
Dia harus berpindah-pindah. Terpaksa harus jauh dari kakak-kakaknya, anak-anak yang paling ia cinta; keluarganya. Dia tidak harus membacakan cerita untuk anak-anaknya meskipun ia sudah lelah. Pun, ia tak lagi akan membuang-buang waktu untuk bermain di kolam, atau membeli es serut bersama anak-anak demi mendapatkan senyum dan tawa mereka.
Kuasa yang ia miliki yaitu sekadar memandang mereka dari jauh dan hanya itu satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja. Menontoni mereka lewat kabar berita seolah sudah lebih dari cukup.
Jika ingin ia melakukan tur kecil sendirian. Sekadar berkeliling atau berbelanja tak lagi menyenangkan. Mungkin ia tidak akan menemukan orang-orang yang berusaha menarik-narik topinya, tetapi kadangkala ia merindukan kilatan-kilatan kamera, orang-orang yang mengelilinginya. Lalu, tentu saja polisi dan pengawal yang berjaga agak tidak seorang pun mampu menyentuhnya. Tidak akan ada yang bisa ia ajak bicara dan bergurau ke mana pun ia pergi.
Dia jarang memegangi kameranya untuk menangkap momen-momen berharga, seperti di kala natal tiba. Di mana kala ia menerima tiga Super Soaker*. Barangkali ia benar-benar berpikir seolah tak ada lagi hal yang harus dikenang semasa hidupnya.
Pada akhirnya, titik terang yang ia temukan; yang telah lama ia rengkuh itu meredup. Ketenangan dan kedamaian ini menumbuhkan kesepian. Perasaan hampa senantiasa menyelimutinya.
Agaknya menyedihkan. Bahkan para pelayan dan pengawal yang tinggal hitungan jari; yang masih setia di sampingnya tidak mampu mengobati kesendiriannya.
Namun, dia tetap hidup dan terus menua. Meskipun dia memiliki akhir yang pahit.
Mati pun ia sendiri. Tidak ada acara pemakaman, tidak ada orang-orang yang tersayang mengelilingi makamnya di kala kumpulan orang terpercaya di sepanjang masa hidupnya, mulai meletakkan jasad itu ke pemakamannya.
Namun, siapa pun pasti percaya … bahwa dunia masih akan terus memanjatkan doa untuknya.
~*~*~*~*~
Desah kasar keluar dari Ellie tepat ia menekan tombol stop pada alat perekamnya. Lantas ia membuka bagian kaset, menoleh kepada salah seorang pemuda yang sepersekian sekon membalas tatapannya.
“Entahlah, Jason.” Ellie menggeleng-geleng, tampak gusar saat ia mulai menumpuk-numpuk empat kaset dan merapikannya. “Aku tak mengerti mengapa Ibu harus memberikan ini kepada kita.”
Jason, si pemuda, bergeser sembari ia terkekeh. “Memang, rasanya seperti menambah beban hidup saja. Iya, ‘kan?”
Ellie membuang pandangannya jauh-jauh dari catatan bersampul hitam yang tergeletak di lantai. Sementara Jason tertarik kepada buku catatan tersebut. Sejenak ia membaca, tetapi setelah mengetahui apa isinya, ia langsung menutup buku itu sebelum ia meletakkannya di atas tumpukan kaset.
Dia menoleh kepada Ellie dengan tatapan yang menerawang. Pikirannya sedang berjelajah selagi badannya masih di sini. Pastilah tak jauh-jauh soal ibu mereka atau perihal yang menyangkut tentangnya.
Ya, mereka sangat ingat betapa jarang sang ibu pulang. Sang ibu merupakan pelayan setia, satu-satunya yang bersedia menemani tuannya berapa pun ia dibayar. Tepat setelah pengumuman kematiannya saja, sang ibu bahkan memilih tidak pulang, dan memutuskan untuk menemani tuannya di kala natal.
Kini ia juga sudah tiada. Baru-baru ini, tepatnya seusai kematian sang tuan seolah ikut menyusul ke akhirat. Warisan yang dilimpahkan kepada kedua anaknya pun tak banyak. Uang, rumah, dan tentu saja kotak penyimpanan yang pertama kali menyita perhatian mereka.
Betapa tidak? Teramat banyak sekali gembok rantai yang melilit di kotak itu. Belum lagi mereka harus menerka-nerka kelima nomor gembok yang diatur dengan angka yang berbeda.
Terdapat lima kaset pita, satu di antaranya merupakan sebuah rekaman percakapan sang tuan dan salah seorang dokter forensik yang bersedia mengurus laporan otopsinya. Keempatnya merupakan cerita dari sang ibu kala ia masih bekerja.
Lalu, sebuah buku catatan yang baru saja dipegangi Jason. Isinya tak lebih dari ringkasan atas segala hal yang dilalui tuan dari sang ibu.
Padahal baru saja berkabung. Sekarang malah dipusingkan dengan benda-benda yang tak terduga dari sang ibu.
“Apa yang akan kita lakukan dengan semua ini?”
Akhirnya Jason memecah hening di antara mereka, sukses membuat Ellie mendekat secepatnya. Netra si gadis sekadar memerhatikan tumpukan kaset dengan buku catatan berukuran sedang di atasnya.
“Aku tidak ingin ketiga anak dari bintang ini bersedih,” jawabnya setelah cukup lama. “Prince, Paris, bahkan Bigi … mereka tidak pantas untuk kembali berduka atas kematian kedua ayah mereka.”
“Kematian kedua … ya?”
“Kau memikirkan sesuatu?”
Jason mengangkat bahu. Dia meraup kaset-kaset pita di hadapan mereka, berikut dengan buku catatannya. “Entahlah, tetapi aku berpikir beliau mati tiga kali. Yang kedua … kau tahu sendiri, semuanya tercantum di dalam catatan.”
Dia hidup, tetapi sudah merasakan mati sepanjang jalanan hampa.
Demikian Jason bangkit, meninggalkan Ellie merenung. Langkahnya yang menjauh dari sisi Ellie mengundang manik si gadis mengalihkan perhatiannya kepada punggung pemuda itu.
Sejenak ia berbalik, menahan diri untuk tidak membuka pintu. “Apa perapiannya masih menyala?”
Ellie termangu. Namun, lekaslah kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyum lebar.
Ya, barangkali akan lebih baik jika begini saja.
“Terima kasih, Jason.”
Sekadarnya Jason tersenyum tepat sebelum ia benar-benar meninggalkan loteng.
Langkahnya mengetuk-ngetuk tangga, persis seperti kuda yang sedang berlari. Dia berbelok, mendapati pernak-pernik natal yang sama sekali belum beres. Di ruang tengah, Jason mendapati perapian yang sudah lengkap hiasannya. Api masih senang menjilat-jilat kayu yang masih enggan menjadi arang.
Maka Jason melanjutkan langkahnya menghadap perapian, berjongkok sembari mengalihkan pandangan kepada lima kaset dan buku catatan yang masih utuh di tangannya. Satu per satu ia mulai melempar kaset-kaset itu menjadi makanan bagi api unggun yang kian meliar di tempat.
Namun, ia sempat berhenti kepada buku catatan ….
Sekadarnya Jason meninggalkan perapian tanpa menunggu kumpulan kaset tersebut meleleh dilahap api.
~*~*~*~*~
*Super Soaker: Pistol air mainan dari Nerf, salah satu merek mainan asal Amerika Serikat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top