COVID 5G

Sudah bukan rahasia lagi, penyakit berkembang mengikuti zaman. Semakin maju suatu kaum, maka semakin beragam penyakit yang bermunculan. Mulai dari yang ringan tak dihiraukan sampai berat mengikis raga dan pikiran.

Mungkin kalian pernah mendengar kasak-kusuk ibu rumah tangga bersama Pak RT yang berdedikasi mengurus keluarga di kala istri bekerja, kalau radiasi ponsel dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah tumor otak. Penyakit yang sangat menakutkan dan sering kali dikoar-koarkan sebagai momok untuk membuat anak mereka melepas permainan adiksi dan tonton tidak senonoh yang disebarkan melalui ponsel pintar itu.

Dunia jelas semakin tua dan kita semakin bodoh karena terus berputar mengikuti arus kebohongan yang kemudian memaksa para ilmuwan melakukan penelitian guna menghentikan gosip tak berdasar.

Sampai akhirnya dua penelitian yang menggunakan studi kohort dan case control selesai dilakukan dan tidak ada satu pun penelitian itu yang menunjang hipotesa yang dibuat asal oleh masyarakat umum. Dan apakah mereka peduli dengan hasil didapatkan? Sepertinya tidak, karena masih banyak desas-desus yang dikumandangkan oleh mereka yang tidak percaya ilmu pengetahuan untuk menakuti sang buah hati.

Sangat ironis, bukan?

Sekarang, setelah semua berlalu dan bumi kembali berputar dengan pemikiran-pemikiran jenius yang tidak masuk di akal. Sebuah virus kembali menyerang bumi, mengurangi jumlah populasi dengan cepat setiap harinya, dan tidak berhenti bermutasi. Tidak berbeda dengan sebelumnya, teori konspirasi kembali beredar sampai menghantam keras beberapa negara, apalagi jika bukan keberadaan virus COVID dengan jaringan komunikasi 5G.

"Gema, apa yang mau kamu lakukan dengan semua koran dan laporan kasus yang ada di mejamu? Covid and 5G? Are you out of your mind? Kita bahkan belum tuntas meneliti tentang virus corona yang terus bermutasi dan sekarang kamu fokus ke teori konspirasinya?" tanya Fahril, pria tiga puluh lima tahun berambut hitam sebahu dengan tubuh kekar yang tidak sesuai dengan profesinya, kepada kawannya yang tengah menyeduh kopi di pantry.

Mereka berdua adalah ahli virus kelahiran Indonesia yang bekerja di pusat penelitian penyakit menular di Inggris. Ini adalah tahun kedua mereka ditarik untuk membantu penelitian tentang COVID dan selama ini mereka ditugaskan untuk mencari tahu bagaimana cara kerja virus di dalam tubuh, kecepatan replikasinya, apa yang menghambat perkembangannya, sampai tindakan yang bisa mematikan virus di udara.

"Tanya saja ke Profesor Shane. Beliau yang memintaku untuk melakukan semua ini," jawab pria yang satu kepala lebih pendek dari Fahril sambil memasukkan lima kemasan kecil gula ke dalam cangkir.

"Aku sudah bertanya kepada beliau dan menurutnya kamu yang meminta izin dari Profesor Shane untuk meneliti ini. Untuk apa?" Fahril bergidik dan air liurnya bahkan segera surut hanya dengan melihat jumlah gula yang akan dikonsumsi.

"Aku diminta oleh perusahaan Vodapone untuk meneliti hubungan antara covid dan 5G. Karena saat ini mereka sedang mendapat tekanan dari beberapa pihak yang mengancam akan membakar tower 5G mereka," terangnya cuek sambil menyisip perlahan minuman hangatnya.

"Baru sebatas mengancam, kan? Belum kejadian? Cukup tugaskan lebih banyak petugas keamanan saja di tower mereka dan selesai. Setahuku uang bukan hal yang besar di sana."

Gema melirik kawannya dan menghela napas panjang. "Kamu dan berita. Mau sampai kapan kalian bermusuhan?"

"Sampai mereka, para jurnalis, berani melakukan sumpah pocong untuk menjaga profesionalis mereka." Dia menyeringai.

"Menggabungkan ilmu mistis dam ilmu modern. Sepertinya kamu tidak akan pernah berubah." Gema menjeda. "Sudah ada lima tower di Eropa dibakar oleh mereka yang percaya teori konsipirasi ini. Jika tidak dihentikan maka proyek triliunan mereka akan hancur hanya karena sekumpulan orang bodoh yang termakan gosip," ucap pria berambut klimis dengan kemeja putih yang terkancing sampai ke leher. Berbeda dengan kawannya, dia terlihat lebih cocok bekerja sebagai peneliti dengan penampilan culun dan kaca mata tebal pertanda hobinya dengan buku.

"Oh. Aku tidak tahu itu." Dia menggaruk kepalanya. "Jadi, apa hipotesamu?"

"Kupikir kamu tidak tertarik?" Dia memainkan matanya dengan malas ke arah teman yang kini menemani menyusuri lorong yang padat dengan ilmuwan lain menuju ruang kerjanya.

"Aku benci konspirasi. Tapi aku penasaran teori apa yang bisa membuat mereka beringas."

"Menurut mereka radiasi jaringan 5G menurunkan daya tahan tubuh sehingga virus corona dengan mudahnya menginfeksi mereka. Ada juga yang mengatakan kalau virus corona teraktivasi dan bertransmisi menggunakan radiasi 5G itu. Cukup gila, huh."

"Ada asap pasti ada api. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu?" Fahril mengerutkan kening.

"Semua karena Wuhan adalah area percontohan untuk 5G di Cina dan seperti yang kita tahu kota itu akhirnya berakhir mati selama enam bulan hanya untuk menghentikan penyebaran virusnya," jelas Gema sambil sesekali menundukkan kepala saat bertemu koleganya yang lebih senior.

"Apa mereka bodoh? Bukannya negara pertama yang menggunakan teknologi 5G adalah Korea Utara? Dan negara itu bahkan tidak mendapat peringkat sepuluh besar dalam jumlah kasus covid."

"Kamu katakan itu kepada mereka."

"Ah, percuma. Bicara dengan mereka yang percaya teori konspirasi sama saja dengan menyumpal mulut katak. Sama sekali tidak akan didengar." Fahril meletakkan kedua tangannya di belakang kepala dan lanjut melangkah menuju area yang lebih sepi—ruang kerja mereka.

"Karena itu, ketika telinga tidak dapat mendengar, maka gunakan mata supaya mereka bisa membaca dan berharap huruf-huruf yang dibaca tidak menyasar ke area otak yang lain."

Suara derit pintu terbuka dan aroma buku tua menyerang penghidu mereka. Bau yang sengaja Gema ciptakan untuk mengobati rasa rindunya akan perpustakaan lawas yang dulu sering dia kunjungi di Indonesia.

"Lalu sudah sampai mana penelitiannya?" Fahril menarik sebuah artikel yang menarik minatnya dari meja Gema yang seperti biasa berkilau tanpa sebutir debu yang tertangkap mata.

"Pengumpulan sampel."

"Gerak cepat, eh."

"Mereka membayarku mahal untuk ini dan sebagai balasan mereka memintaku bekerja cepat."

"Jangan lupakan aku mau laptop Asus Rog Zephyrus duo untuk ulang tahunku beberapa bulan lagi," ucap Fahril ringan.

"Kamu merampokku?" Gema berkacak pinggang mendengar keinginan yang sudah berkali-kali diucapkan.

"Kamu akan kaya setelah ini, bukan? Apa salahnya membagi sedikit rezeki dengan kawan baikmu ini." Pria berambut panjang itu tersenyum membujuk, tetapi seakan kebal dengan hasutan, Gema hanya bungkam dan menatap datar Fahril.

"Kalau begitu, analisa ini." Gema mendorong gunungan kertas berisi tulisan panjang.

"Apa ini?" Fahril mengerutkan dahi.

"Data penelitian pasien-pasien dari rumah sakit di London. Kamu kerjakan setengahnya dan laptop itu menjadi milikmu bulan Juli nanti." Gema menarik salah satu sudut bibirnya.

"Serius, kamu harus membedakan antara ikhlas menghadiahi atau memberi sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu, Gem."

"Tidak ada bedanya untukku. Kerjakan dan kamu mendapat apa yang kamu inginkan. Jadi, gerakan mata dan jari-jarimu! Kita tidak punya waktu seumur hidup untuk menganalisa ini semua."

-TAMAT-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top