Blood in Shoes
"Hei, kau pernah dengar mengenai sepatu berdarah yang akhir-akhir ini ramai dibahas di sosial media?"
"Jangan sekarang. Aku sedang makan."
Selera ingin makan salad yang dibuat pemilik rumah hilang setengah saat Rianna memaparkan sebuah topik. Ia baru saja sibuk menggulir layarnya, entah membaca apa, namun dilihat dari pertanyaannya barusan, Joe bisa menebak kalau dia menggulir dan membaca sebuah topik yang aneh.
"Ini bukan tentang pembunuhan, atau badan yang dipotong—"
Joe mengarahkan garpu makannya kepada Rianna. Gadis itu mengangkat tangan dengan mulut setengah terbuka. Mata besarnya melebar, memenuhi ukuran kacamata bulatnya. Dia terlihat menggemaskan terlebih rambutnya dikepang dua. Tetapi, Joe menggeram. "Hentikan." Rianna mengangguk. Joe menurunkan garpunya dan menusukkannya ke sehelai sayur kol di depannya.
Bukan tanpa sebab Joe bertingkah seperti tadi. Dua bulan yang lalu, ia terlibat sebuah kasus. Dia tanpa sengaja menemukan potongan tubuh di tempat sampah dekat apartemennya. Setelah diselidiki oleh tim forensik, potongan tubuh itu milik bayi. Joe muntah saat diberitahu. Itu membuatnya mendadak tak berani makan daging.
"Tapi bukan ...." Rianna berdehem-dehem, menyensor kata darah. "itu yang kumaksud."
Joe yang tadi menatap tajam, membuang napas. "Teruskan."
"Ini tentang sebuah sepatu yang dibuat di mana sepatu itu ada kandungan darahnya!"
Joe mengernyit. "Bagaimana mereka tahu itu mengandung darah?"
Gadis itu menjawab dengan semangat. "Si peliris yang memberitahu publik."
Joe mengunyah sebentar makanan dalam mulutnya, sebelum menyahut, "Entah kenapa orang-orang sekarang terang-terangan mengungkapkan kalau mereka tidak normal."
"Yah." Rianna mengendikkan bahu. "Semua orang sedang membicarakannya. Sepertinya menarik untuk kita ikuti."
"Hanya kau." Gadis berambut hitam lurus itu menolak. "Aku tidak tertarik."
"Berani taruhan?"
"Serius, An."
Rianna terkekeh kecil sebelum lanjut menggulir sesuatu di layar ponselnya. "Baiklah, terserahmu." Joe lanjut memakan saladnya hingga habis sebelum bangkit dari kursi untuk pulang ke rumah. Tugas kelompoknya bersama Rianna telah selesai. Di rumah, ia akan memeriksa kembali pekerjaan mereka.
***
Sudah jam 11 malam saat Joe bangkit karena tak bisa tidur. Entah kenapa sepatu yang diceritakan Rianna tak pernah berhenti menghantui pikiran.
Joe penasaran akan sepatu itu. Bagaimana pelirisnya tahu itu mengandung darah? Darah siapa yang dipakainya?
Joe turun dari kasur, ke meja belajar, menyalakan komputernya. Tak peduli akan hasil kerja kelompoknya yang berserakan, ia mencari informasi mengenai sepatu itu di internet.
Sepatu itu diliris oleh seorang aktris yang bekerjasama dengan sebuah organisasi kolektor seni. Sepatu itu berjenis air max. Sol sepatulah yang mengandung darah manusia.
Pertanyaannya, apakah benar ada kandungan darahnya? Atau pihak peliris hanya ingin menjadi kontroversial agar sepatunya laku?
Apa pun itu, Joe tidak tertarik. Baginya orang-orang itu hanya berbual yang tidak-tidak. Mentang-mentang zaman sekarang orang-orang menganggap ilmu hitam itu keren.
Hingga datang esok hari di mana gadis berdarah Tiongkok-Amerika itu siap pergi ke sekolah. Ia memperbaiki posisi tas di bahu dan membuka pintu. Baru saja akan melangkah, dia dikagetkan akan seorang pria yang memasang postur akan-mengetuk-pintu-rumah.
Pria itu menyapanya, memberikannya sebuah kotak. Dia semacam kurir, hanya saja pakaiannya serba hitam. Ia memakai topi kupluk berwarna cokelat, senada dengan warna pulpen yang disodorkan untuk menandatangani kertas penerimaan. Dilihat dari perawakan, dia orang yang tak tahu cara membersihkan diri. Joe meletakkan kotaknya di lantai, meraih kertas tadi, menempelkannya ke tiang pintu, sebelum mendapati ada gambar sebuah sepatu.
Sepatu tadi malam.
Bugh!
Joe dipukul. Pandangannya seketika hitam. Dirinya ambruk, mencium lantai apartemen. Sesuatu mengucur dari hidung. Terdengar teriakan histeris entah dari siapa.
Joe berusaha bangkit sebelum ia merasakan sesuatu yang kecil menusuk lehernya. Kepalanya ditahan untuk tidak bergerak, tangan diinjak oleh seseorang.
Benda itu sekecil jarum. Saat benda itu dilepaskan, pandangan yang mulanya hitam-kabur, hitam seluruhnya. Joe hanya merasa badannya diangkat.
Kemudian terdengar suara pintu yang ditutup. Ada derap kaki, lalu suara mesin. Setelah itu suasana mendadak hening.
Hingga di sebuah waktu, Joe bangun dalam keadaan diikat. Dia terbaring di atas sebuah kasur, di sebuah ruangan yang gelap.. Bajunya yang tadinya sweater warna hijau tua, berganti menjadi baju pasien warna biru.
"Di mana aku? Di mana aku!" Ia panik. Ia berusaha melepas ikatan di tubuhnya, membuat ranjang bergoyang-goyang, untunglah tidak sampai rebah. Joe berhenti memberontak, sebuah televisi menyala tak jauh di sampingnya. Ia menatap layarnya yang statis, sebelum menyadari televisi itu maju ke arahnya. Setelah tersisa jarak satu meter, ia berhenti. Keberhentian itu membuat segala layar yang tak terkira ada banyak dalam ruangan, menyala, memamerkan layar statisnya masing-masing.
"Apa-apaan ini!" Joe bingung, ia berteriak minta tolong. "Siapapun yang ada di sini, siapapun meski kamu bukan manusia, tolong aku!" Suara Joe sudah serak karena ia akan menangis. Layar-layar statis itu mendadak mengerikan di matanya. Titik-titik itu menyakiti matanya, membuat perasaannya tak dapat dijabarkan karena dicampur aduk. Hingga entah dari tadi telinga tuli atau baru saja suara itu terdengar, suara statis dari layar-layar itu dibunyikan. Telinga pun berdenging bukan main, gambar layar mulai berubah-ubah. Semua layar di ruangan itu menampilkan segala macam gambar yang membuat mata rasanya hendak bergulir keluar. Saat Joe hendak menutup mata, rasanya ada sebuah alat yang menahan matanya untuk menutup. Saat dia ingin memalingkan kepala, juga ada sesuatu yang menahan kepalanya. Ia dipaksa memperhatikan gambar-gambar menyakitkan tersebut.
Gambar-gambar itu berubah, suaranya tidak menentu. Kadang bernada rendah sebelum mendadak menjadi tinggi, kadang terdengar suara biola yang dimainkan secara kasar. Emosi Joe bergejolak. Tensi darahnya naik-turun dengan nadi leher menonjol.
Ia tak dapat mengendalikan diri. Gambar-gambar itu mulai menampilkan hal tak senonoh. Ketelanjangan, adegan ranjang sesama jenis maupun berlawanan, area sensitif wanita, membuat Joe mengerang-erang. "Hentikan! HENTIKAN!" Suaranya? Juga suara mendesah yang diganti-ganti, yang tak enak didengar. Satu menit terasa seperti satu jam akibat gambar-gambar itu. Selama itu, Joe hanya memberontak liar di atas kasurnya.
Gambar-gambar itu akhirnya berubah. Pergantiannya tidak secepat tadi. Itu membuat perasaan yang tadinya bergejolak menjadi sedikit tenang. Saking tenangnya, Joe seperti orang kejang-kejang. Seluruh badannya bergetar hebat, busa terbentuk di pinggir mulut. Matanya pedih akibat air mata sendiri. Lagi-lagi, ia tak bisa menutup penglihat barang sekali.
Layar menampilkan keadaan sebuah tempat. Orang-orang di sana tidak seperti manusia normal, mereka dilahap api. Ada salah seorang dari mereka, bertubuh besar, berkepala kambing. Pentagram tergambar di dahinya. Manusia berkepala kambing. Tepat saat itu, suara statis tadi datang lagi, membuat kepala Joe sakit kembali. Gadis itu memberontak, melengkungkan tubuhnya, hendak mematahkannya akibat frustasi. Pikirannya kacau. Semua layar akhirnya mati dan suara itu menghilang. Joe ikut diam. Napasnya yang tadi berderu cepat, mulai melambat dengan tatap mata yang tak seagresif tadi.
Seperti baru saja diracuni, busa keluar dari mulut Joe. Hidungnya mimisan. Air mata tumpah lebih banyak.
Saat itulah terdengar percakapan. "Ambil darahnya. Kita harus memasarkannya secara gelap. Menyanyi saja tidak akan membuatku menguasai dunia." Terasa jarum di tangan. Joe mengerang sedikit, sebelum memejamkan mata dan hilang kesadaran.
"JOE!"
Byur!
Joe melompat dari tempat tidur, jatuh ke lantai di bawahnya. Bajunya basah kuyup, membuatnya berteriak kesal pada Rianna. "APA TIDAK ADA CARA LAIN UNTUK MEMBANGUNKANKU, RIANNA!"
"Kau mengigau," sahut Rianna, ketus. "Jika tidak berteriak-teriak tidak mengapa, tapi kau seperti seorang yang dirasuki setan! Mengerikan! Jadi aku menyirammu dengan air berharap kau bangun dari mimpi burukmu itu."
Napas Joe berderu, ia menenangkan diri sebelum merasa menggigil. Memeluk diri, Joe menoleh ke sana-sini. Dia rupanya tertidur di rumah Rianna. Melihat ke arah kasur, Joe terbelalak. "Kasurmu—"
"Aku bisa tidur di tempat lain. Aku akan melakukan apa pun untuk membangunkanmu yang hanya membisingkan rumah," potong Rianna, menyalakan pemanas ruangan. Suhu ruangan yang tadinya dingin—bagi Joe—menghangat secara perlahan. Joe turun dari kasur, mendapati kerja kelompoknya mencuat sedikit dari tas selempangnya.
"Aku membereskan tugasnya. Besok kumpulkan ke guru ya. Aku mungkin akan sedikit terlambat, tapi aku tetap datang untuk presentasi." Setelah Joe turun dari kasur, Rianna segera membereskan kasurnya. "Kita buktikan pada orang-orang rasis itu kalau kita tidak seburuk yang mereka kira."
Joe menghela napas. "Terima kasih," ucapnya. Meraih tas selempang dan mengambil biskuit buatan Rianna—dipaksa pembuat untuk dibawa, Joe pulang ke rumah.
Naik bus, turun di halte dekat apartemen, masuk ke sana, menyempurnakan tugas kelompok. Setelah matahari terbenam dan mata mulai lelah, ia naik ke atas kasur, merenung sejenak. Tugas kelompok itu mengangkat tema rasisme, rasisme akan orang berkulit gelap dan orang Asia. Dasar negeri orang, Joe mendengkus. Ia pun menutup mata, lalu keinginan mencari tahu sepatu berdarah itu mendadak menghantui pikiran, membuatnya bangun kembali dan mencari tahu di internet.
Setetes darah. Sepatu itu hanya mengandung setetes darah manusia. Joe menyipitkan mata, pasti darah si peliris. Namun di sisi lain ia membatin, siapa tahu itu bukan darah manusia, hanya darah binatang atau darah jadi-jadian—air yang diberi pewarna makanan berwarna merah.
Lelah menghadapi komputer, ia kembali ke kasur. Memejamkan mata kembali, pagi pun datang. Ia segera menyiapkan diri.
Setelah memasang sepatu di kaki kiri sambil berdiri, Joe membuka pintu. Baru saja hendak melangkah, ia dihentikan oleh seorang pria tak dikenal yang menyapanya. Dia menyerahkan sebuah kotak, ada foto di atasnya. Gambarnya sepasang sepatu, berjenis air max, berwarna merah dan hitam, disertai pentagram di tali sepatunya. Joe melebarkan mata, mencubit diri sendiri, kini semuanya nyata terjadi.
"Darah korban rasisme itu istimewa." Bugh! Pandangan menghitam. Entah apa yang terjadi, esok harinya tersiar sebuah kabar.
Sepatu berdarah itu kembali dirilis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top