Arkadia
Pada umumnya, kala ada seseorang yang berhenti melangkah dan memutuskan untuk menepi pada salah satu sisi jembatan, orang-orang yang lain akan mengambil sikap untuk abai. Siapapun itu pasti tahu si pelaku pasti memiliki hari yang buruk atau mungkin terlebih lagi berat. Memberi waktu untuk berhenti dan sedikit berpikir pastilah sebuah kemewahan tersendiri, selain itu apa yang bisa dilakukan oleh orang asing?
Masing-masing dari mereka yang melintas memiliki kehidupan yang menyeret serta beberapa masalah.
Masa bodoh untuk mendengarkan apa lagi membantu menyelesaikan urusan orang lain, urusan sendiri saja belum tentu terselesaikan.
Orang-orang yang melintas biasanya baru akan bereaksi kala mereka yang menepi memutuskan untuk mengambil langkah guna pergi dari dunia. Tindakan seperti berdiri di pagar pembatas pastinya dapat dengan mudah terbaca, yang sedikit menyesakkan adalah kala orang-orang itu memutuskan untuk jatuh tanpa sempat memberi kabar maupun pertanda terlebih dahulu.
"Habis putus cinta, ya?" Seorang anak berpostur tinggi namun cungkring dengan pakaian berwarna kecoklatan itu mendekat pada seorang yang sore ini memutuskan untuk menepi. Dalam sekali pandangan, dia tidak lebih terlihat seperti seorang gelandang pada umumnya dengan rambut berantakan dan wajah seperti tidak tidur selama tiga hari. Tapi jika diperhatikan lebih dalam, pakaian yang dia kenakan terlalu rapi untuk sekedar gelandang. "Biasanya anak-anak seusia kita menepi karena merasa patah hati."
"Tuhan tidak menyayangiku." Sebuah suara kecil terdengar keluar dari belah bibir si lawan bicara. Seorang gadis yang tengah menundukkan pandangannya pada sungai di bawah sana.
Menghela napasnya. "Ya, seperti inilah dasar remaja. Langsung berpikir jika Tuhan tidak berpihak padanya hanya karena putus cinta, dunia memang mengerikan," ucap si pemuda. "Hidupmu tidak akan berakhir hanya dengan tidak dicintai oleh seorang yang kau cintai Nona Muda. Ada banyak pria lajang nan kaya raya yang bisa kau manfaatkan hartanya dengan wajahmu itu."
"Kau tidak akan paham."
"Tentu saja tidak, aku tidak akan menjadi bagian dari mereka yang menepi hanya karena di putus cinta," balas si pemuda yang justru ditatap kesal oleh si gadis. Seakan tidak menghargai apa yang tengah gadis itu sesali atau mungkin pendam, dan hanya menarik kesimpulan sederhana namun bersifat menyudutkan. "Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu menepi?"
"Seseorang merebut apa yang seharusnya aku miliki."
"Itu saja?" Si pemuda bertanya dan dijawab dengan anggukan kepala. "Dasar anak jaman sekarang, dia bahkan belum menikah denganmu dan kau sudah mengklaim kalau dia milikmu?"
"Mereka sudah menikah."
"Tunggu! Kau jadi selingkuhan?!" Kali ini dengan nada yang cukup tinggi hingga membuat beberapa pejalan kaki menoleh. Si gadis tentu tidak tinggal diam, mendelik tajam kemudian menendang tulang kering salah satu kaki si pemuda entah yang mana. Masa bodoh.
Dia yang sebelumnya bermaksud untuk menepi kini memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya dengan sebal. Mengabaikan panggilan dari si pemuda yang coba dia abaikan. Gadis itu menghentakkan kakinya beberapa kali kala menyadari jika si pemuda mungkin tidak lagi bersuara namun masih saja mengikuti dirinya. Berpikir bila si pemuda mungkin akan pergi bila si gadis bersikap abai, namun ternyata tidak.
Beberapa kali gadis itu menengok ke belakang kala sampai di pertigaan atau perempatan jalan, dan si pemuda seakan selalu berada dalam jarak sepuluh langkah dari dirinya. "Anak aneh," desis gadis itu.
"Siapa namamu?" tanya si gadis yang lebih mirip dengan sebuah sentakan kala si pemuda ternyata masih mengikutinya bahkan saat hampir mendekati rumahnya.
Dengan tawa canggung. "Ah, jadi kau tinggal di sini rupanya." Menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, mungkin merasa sedikit malu kala ketahuan tengah menguntit seseorang, terlebih-lebih seorang gadis berusia tidak sampai 14 tahun. "Jangan berpikiran buruk dulu, aku hanya berjaga-jaga. Siapa tahu kau memutuskan untuk menepi di tempat lain. Sebentar lagi malam dan banyak orang dewasa dengan pikiran kotor berkeliaran. Bisa saja kau menghilang dan baru ditemukan esok hari di salah satu gang sempit tadi."
"Cepat jawab saja, siapa namamu."
"Peter Panacar." Si gadis agaknya sedikit membatin, nama yang aneh.
Oh, orangnya juga aneh. Tidak heran.
"Ada memangnya dengan namaku? Tunggu! Kau ingin melaporkannya pada Mr. Hook?!"
Nama itu sebenarnya tidak begitu asing di telinga si gadis. Teman-teman di sekolahnya sering membicarakan pria yang bertugas sebagai pengendali anak-anak. Guru konseling yang agaknya terlalu kelewatan. Meski begitu sosoknya bisa dikatakan cukup berjiwa sosial tinggi, terlihat dari rekap jejaknya sebagai salah satu relawan untuk mencari anak-anak yang hilang. "Tidak juga, hanya untuk berjaga-jaga. Lagi pula kenapa kau seperti takut dengan pria itu? Dia pria baik."
"Aku? Takut? Tidak. Pria itu yang seharusnya takut padaku." Pundak dan dada di pemuda yang sedikit membusung seakan menjadi pertanda tegas bila dia tengah menyombongkan diri. "Percayalah, dia bukan pria baik-baik."
"Dasar tukang bual," ucap si gadis bermaksud untuk masuk ke dalam area pekarangan rumahnya meski dalam hati juga sedikit berpikir. Orang baik mana yang akan memiliki luka di mata kiri dan kehilangan tangan kanan?
"Kau tidak ingin memberi tahu namamu?"
"Oyku."
Dalam posisi hendak menutup daun pintu, dapat gadis itu lihat si pemuda yang menatap ke arahnya penuh senyuman. Tangan kanan melambai riang seperti orang bodoh. "Dasar bodoh."
Hanya orang bodoh yang memberitahukan namanya pada orang asing. Atau mungkin, akan menjadi hal yang lucu kalau hal seperti yang justru terjadi beberapa hari kemudian. "Namamu bukan Peter Panacar."
"Dan namamu juga bukan Oyku." Si pemuda menyilangkan kedua tangannya di depan dada seperti menangang. Keduanya kembali bertemu pada tepi jembatan. "Baiklah kita impas. Aku bertanya pada penjaga area rumahmu dan dia menjawab tidak ada seorangpun di sana yang bernama Oyku. Lagi pula itu nama yang aneh. Kau sendiri? Tahu itu bukan namaku dari mana?"
"Tidak ada nama keluarga Panacar di kota ini."
"Eh? Padahal yang itu benar-benar nama keluargaku."
"Dasar tukang bual."
"Oh. Bagaimana kabar seorang yang kau sukai itu? Kau masih mau jadi selingkuhannya?"
"Siapa yang mau jadi selingkuhan? Yang aku maksudkan itu orang tuaku sendiri." Dengan tangan terkepal gadis yang memperkenalkan diri sebagai Oyku tanpa diketahui identitas sebenarnya itu menatap sengit. "Aku benci. Aku benci. AKU BENCI SAAT ADA YANG MEREBUT APA YANG SEHARUSNYA AKU PUNYA!" Yang memperkenalkan Peter secara refleks menutup mulut si lawan bicara, meski tidak benar-benar bisa mengatasi suara nyaring dan cempreng hingga menjadi pusat perhatian beberapa orang.
"Aku pikir karena kau masih anak-anak, tapi sepertinya kau itu kekanakan," keluh Peter. "Jadi siapa? Kau cemburu pada ibumu? Kalau itu kau gila namanya."
"Aku benci pada ibuku tapi aku tidak segila itu," ketus Oyku dengan sedikit pertimbangan apakah dia bisa menceritakan masalahnya atau tidak.
"Lalu siapa yang kau benci?" Peter sedikit mencondongkan tubuhnya, mengamati raut wajah si gadis yang jelas-jelas kini menunjukkan sorot waspada. "Ah, aku tahu rasanya memang aneh untuk membicarakan masalah dengan orang asing. Tapi apa kau mau tahu sesuatu? Ini sebenarnya rahasia. Kemari." Mendekatkan wajahnya untuk memudahkan berbisik pada telinga kiri Oyku. "Aku itu sebenarnya malaikat pelindung."
Dan sebuah pukulan di ulu hati agaknya dipikir sebagai respon yang paling bagus. "YAK! KAU BENAR-BENAR GILA YA?!"
"Kau yang gila karena mengaku sebagai malaikat."
"Kau tidak percaya Tuhan memiliki tangan-tangan tambahan?"
"Aku percaya, tapi itu jelas bukan dirimu."
"Coba buktikan."
Oyku tidak tahu apakah dia merasa tertantang karena demi apapun yang di hadapannya ini benar-benar tidak mempunyai aspek untuk mengaku sebagai malaikat. Seperti yang diceritakan oleh para pengasuh yang sayangnya berubah menjadi menyebalkan, malaikat itu adalah perwujudan atas kesucian dalam rupa yang rupawan, terlebih lagi memiliki sepasang sayap. Menatap penuh selidik pada Peter, jelas-jelas dia bukan malaikat. Tidak ada malaikat yang terlampau kurang kerjaan untuk menemaninya berjalan-jalan pada sore hari. "Intinya kau itu bukan malaikat."
"Kalau kau tidak bisa membuktikan, biar aku saja yang buktikan."
Dalam sesaat Peter hanya memperbaiki posturnya untuk dapat berdiri dengan tegap, baru Oyku sadari bila tubuh pemuda itu benar-benar terlalu bagus bila sekedar menjadi gelandangan. Oyku hampir saja berpikir bila Peter benar-benar membual kala pemuda itu berbalik, memunggungi dirinya. Namun dalam satu rotasi mata, Oyku bisa melihatnya.
Sepasang sayap yang kuat terlihat keluar dari bekas sobekan pada pakaian Peter. "Kau percaya sekarang? Hanya kau yang bisa melihat sayap ini karena menurutku kau anak yang spesial." Entah apakah Oyku menyadarinya atau tidak, tapi suara Peter terdengar sedikit berbeda. "Kau sudah mengetahui rahasiaku sekarang, jadi jawab pertanyaanku, siapa yang sebenarnya kau benci?"
Daging tak bertulang milik Oyku seakan terhipnotis untuk menjawab pertanyaan itu secara spontan. "Adik-adikku." Dua kata yang terdengar cukup konyol pastinya kala mengetahui ada seorang Kakak yang memiliki dendam terhadap adiknya. Inilah yang ditakutkan si gadis, bilamana orang lain tahu masalahnya, mereka pasti akan menganggapnya terlalu berlebihan menanggapi.
Mainan yang direbut.
Perhatian yang harus terbagi.
Dan itu dikarenakan oleh kedatangan seorang makhluk yang bahkan baru orang tuanya kenal.
Si gadis membenci hal itu, dengan sangat. Namun kala mencoba untuk membicarakan hal itu dengan sopan pada sang Ibu atau orang dewasa lainnya, mereka mengatainya kekanakan. Dan cara kasar seperti sedikit kecil pemberontakan serta kenakalan guna mendapatkan perhatian, yang gadis itu dapatkan justru bentakan.
"Aku paham dengan hal itu." Kalimat itu tentu bukan menjadi sesuatu yang diprediksi akan keluar dari mulut Peter. Beberapa orang yang konon dikata agamis yang didatangi gadis itu biasanya hanya menasehatinya untuk berpikiran lebih dewasa dan terbuka, namun Oyku tidak mau, dia tidak mau menjadi dewasa secepat ini. "Aku pernah bahkan sering bertemu dengan anak-anak sepertimu, itu normal. Kau akan beranjak menjadi dewasa, jadi ya, sedikit nakal di masa kini daripada menghancurkan dunia karena penyesalan tidak pernah mencobanya lebih awal.""Malaikat macam apa yang berbicara sesantai itu tentang kehancuran dunia."
"Ada. Aku buktinya," ucap Peter. "Mau aku tunjukkan sesuatu? Yang lebih menarik daripada sayapku?"
Terdengar menghiraukan, tapi langit sore adalah dinding pembatas yang tidak bisa gadis itu langgar. "Bagaimana bila besok?"
"Baiklah, besok. Aku akan menunggumu."
***
"OZGE TIDAK ADA DI KAMARNYA!" Seorang wanita berkepala tiga berteriak heboh kala tidak menemukan sang sulung di kamarnya pada saat matahari mulai menghilang dari pandangan.
Sang suami kebetulan berada di ruang kerja yang tidak memiliki pembatas dengan ruangan keluarga sedikit menengok. "Tunggulah beberapa saat lagi, Ozge sudah dewasa, dia mungkin bermain ke rumah temannya." Meski begitu jari jemarinya dengan telaten mencoba mencari kartu nama Mr. Hook yang terselip di antara tumpukan makalah yang harus dia selesaikan.
Si wanita yang tidak memiliki pilihan lainnya selain menuruti sang suami hanya bisa duduk pada sebuah sofa merah sambil terus memperhatikan jam yang ada di dinding. "Ozge tidak punya teman," gumamnya dengan sedikit takut karena si gadis sejauh ini selalu mengatakan jika dia benci sekolah dan benci semua yang ada di sekolah.
Tidak jauh dari tempat wanita itu, dua anaknya yang lain sibuk bermain sambil beberapa kali berceloteh ria. Membahas apa saja yang tertangkap mata maupun indra pendengaran mereka. Termasuk nama sang Kakak yang berbuah pada sebuah kisah yang selalu dia bacakan untuk mereka. Kisah yang baru pernah di dengar oleh sang Ibu, namun alih-alih mengerutkan keningnya. Tubuhnya justru menegang. Tidak butuh waktu banyak bagi wanita itu untuk kemudian berteriak, memerintahkan sang suami untuk sesegera mungkin menelpon Mr. Hook atau fakta bila anak sulung mereka mungkin tidak akan pernah kembali.
"Kata Kakak, malaikat memiliki sayap berwarna hitam yang tajam untuk menakuti musuh mereka dan tanduk sebagai mahkota."
Sebuah kalimat itu menjadi dasar atas pergerakan sekawanan orang dewasa untuk menyusuri tiap sudut kota di bawah aba-aba Mr. Hook yang secara khusus mengenakan tangan palsunya. Merasa bila malam ini tidak akan berakhir dengan begitu cepat. "Waktu kita hanya sampai besok pagi saat fajar."
Atau jika tidak, maka Ozge Wendy Kulegec akan benar-benar menghilang.
"Nyona Kulegec, apakah Ozge pernah menunjukkan gejala yang aneh? Seperti berkhayal bila dia bertemu dengan seorang pemuda?"
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top