#8 : The Look
I never know what you see
But there's somethin' in the way you look at me
(Christian Bautista - The Way You Look At Me)
***
Untuk kesekian kalinya Btari menguap. Selepas jam makan siang selalu membawa kantuk untuknya. Belum lagi sejak tadi dia hanya bisa duduk sambil menanyakan pertanyaan yang sama untuk beberapa kandidat sekretaris baru Alaska.
Fathir tahu-tahu saja bertitah agar Btari terus menjadi pembimbing Alaska sampai wanita itu cuti. Atasannya itu juga menyuruh untuk mencari seorang sekretaris yang akan membantu Btari dan Alaska membagi tugas mereka selama beberapa bulan ke depan.
Hanya saja proses perekrutan adalah hal yang Btari benci. Walaupun pihak HRD sudah menyeleksi sebaik mungkin agar calon pegawai yang sampai di Btari dan Alaska tidak membludak, tapi tetap saja mereka harus menyeleksi setidaknya minimal sepuluh orang hari ini.
"Capek, Mbak?"
Dengan refleks Btari menoleh menuju sumber suara. Alaska tengah menatapnya lekat. Segera saja wanita itu mengangguk sebagai jawaban, "Lumayan capek, tapi lebih kebosan. Kasih pertanyaan yang sama ke beberapa orang, tapi jawaban mereka nyaris sama juga."
Alaska hanya manggut-manggut. Tiba-tiba saja cowok itu meraih sebotol air mineral yang masih bersegel. Dibukanya botol itu. Kemudian, disodorkannya pada Btari.
"Minum, Mbak. Jangan sampai dehidrasi. Ingat, kamu lagi hamil," peringat Alaska.
Tanpa ragu Btari langsung menerimanya. Dia menggumamkan terima kasih, sebelum menenggaknya hingga tandas.
Setelahnya keheningan kembali melingkupi. Btari mulai sibuk melihat daftar riwayat hidup calon pegawai yang ada di depannya. Ketika menemukan hanya tersisa satu lagi calon pegawai yang akan diwawancarai, wanita itu mengembangkan senyuman lebar dan menghela napas lega.
Btari sudah akan bersorak girang, tapi tertahan dengan suara pintu terbuka. Seorang anak HRD muncul, berkata calon pegawai yang akan mereka interview sudah datang. Dan tak lama seorang wanita berambut pendek sedagu muncul. Badannya mungil dan ramping. Langkahnya tegas dan tegak. Sayangnya wajahnya tidak jelas karena tertutup masker dan pelindung wajah. Kalau dari foto di CV wajahnya cukup manis dengan kedua lesung pipi saat tersenyum.
"Silakan duduk," ucap Btari seraya menunjuk kursi di tengah ruangan. Karena pandemi membuat seluruh duduk mereka bertiga berjarak.
Sesaat Btari meraih CV terakhir itu untuk dia baca isinya, terutama namanya. "Anya Rahadian. Benar?"
Anya mengangguk.
"Sebelum sesi wawancara dimulai, saya akan memperkenalkan diri dulu." Btari menunjuk dirinya sendiri. "Perkenalkan saya Btari Parmadita, pegawai senior keuangan di Facayu. Sedangkan pria di sebelah saya adalah Pak Alaska Ganendra, manajer keuangan saat ini. Sekarang waktunya Anya untuk memperkenalkan diri."
"Selamat sore, Pak, Bu." Anya mulai berbicara. Suaranya lantang, nilai tambah Btari berikan. "Perkenalkan saya Anya Rahadian. 23 tahun. Lulusan salah satu universitas terbaik di Surabaya jurusan administrasi bisnis. Sebelumnya pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta, tapi karena pandemi perusahaan kolaps, jadi saya di-PHK. Saya—"
"Berhenti, berhenti." Tiba-tiba saja Alaska memotong ucapan Anya. "Saya rasa kita lompati saya perkenalan diri kamu, Anya. Lagi pula kami bisa baca semua itu di CV yang kamu kirimkan. Dan kita sudah cukup lelah mendengarkan orang menarasikan isi CV-nya sepanjang hari ini. Jadi, Bu Btari, tolong langsung melontarkan pertanyaan paling penting saja ke Anya."
Btari menurut. Segera saja dia mengajukan pertanyaan penting mereka hari ini. "Sebelum saya mengajukan pertanyaan, kamu harus menganggap saya dan Pak Alaska adalah seorang teman. Jadi, lupakan kedudukan kami di kantor ini. Kita bertiga sedang berdiskusi saat ini. Pertanyaannya adalah, menurutmu apa sih kualitas yang harus dimiliki oleh seorang manajer keuangan?"
Pertanyaan itu sukses membuat mata Anya melebar. Btari mendengkus pelan. Semua orang akan langsung menjawab dengan jawaban standart. Dan baik dirinya dan Alaska jawaban aman tidaklah menarik.
"Baik. Menurut saya kualitas terpenting seorang manajer keuangan harus memiliki ketelitian tinggi dan ingatan super mengenai angka-angka. Dan itu adalah dasar kualitas seorang manajer." Anya menatap Btari dan Alaska bergantian. "Namun, dua hal itu tentu tidaklah cukup. Saya selalu berpendapat bahwa seorang manajer—pemimpin saya adalah sosok yang harus memiliki sifat kepemimpinan bukannya tukang perintah. Memberi arahan, bukan asal suruh. Melindungi kami bawahannya, bukan asal tuduh apalagi sampai menjadikan kami tumbal ke pihak atasan yang lebih tinggi. Terakhir ini hal yang paling penting, manajer keuangan harus punya wajah tampan."
Jawaban Anya yang terakhir sukses membuat Btari tertarik. Hanya saja Alaska lebih dulu bertanya, "Kenapa harus tampan?"
Anya menatap Alaska penuh percaya diri. Kemudian, dia menjawab, "Kita semua tahu bagaimana pekerjaan dalam divisi keuangan, isinya hanya angka dan angka. Kalau punya manajer keuangan yang tampan, setidaknya kami, para bawahan jadi memiliki pemandangan indah selain hanya angka. Ya intinya, melihat wajah manajer yang tampan dan tersenyum lebar adalah salah satu motivasi untuk bekerja dengan benar hari itu."
"Oke, kamu bilang seperti itu karena kamu wanita. Bagaimana dengan pegawai pria? Nggak ada efek apa pun dong dari wajah tampan manajer?" Btari menimpali.
"Saya rasa ada, Bu Btari." Mata Anya yang tiba-tiba menyipit seperti memberitahu bahwa ada senyum lebar di balik maskernya. "Pria selalu punya sifat kompetitif dalam segala hal. Jika ada manajer tampan yang berhasil mencuri perhatian, maka pria lain cenderung berusaha keras agar dapat diperlakukan hal yang sama dengan rekannya. At least dapat say thanks yang serupa atau pujian ketampanan yang sama dengan atasan."
Alaska tiba-tiba saja bertepuk tangan. "Setuju, setuju. Kalau kamu berhasil masuk Facayu sudah dipastikan manajer keuangan kamu tampan, Anya."
Seketika Btari mendengkus di balik maskernya. Mau mengejek, tapi Alaska memang tampan dengan fakta bahwa dia adik kandung salah seorang penyanyi tercantik di Indonesia. Jika pria itu diam dan serius, Alaska sedikit mirip dengan Ahn Hyo-Seop minus poni yang menutupi keningnya.
Pertanyaan pamungkas telah dilontarkan, maka selesai sudah wawancara hari ini. Begitu Anya beranjak, Btari menarik kedua tangannya tinggi-tinggi. Dia bergumam, "Capek."
Btari menoleh ke arah Alaska. Seketika napas wanita itu tertahan sejenak, sebelum akhirnya membuang muka. Perasaan wanita itu mendadak tidak tenang, terlebih saat menemukan Alaska menatapnya selekat itu dengan sorot mata yang berbeda. Btari mulai bertanya-tanya.
***
Semakin hari semakin malam pulang Btari. Semua berkat satu hal, perekrutan pegawai baru yang ternyata semakin hari semakin banyak saja jumlahnya. Belum lagi membimbing Alaska. Atasannya itu memang cepat paham, tapi Btari saja yang terlalu takut melepaskan pria itu begitu saja.
"Akhirnya rebahan," ucap Btari seraya merebahkan diri di sofa.
Baru beberapa detik memejamkan mata, deringan ponsel membangunkan Btari. Agak malas-malasan dia meraih ponsel di dalam kantong jas. Saat membacanya sekilas, mata wanita itu terbelalak. Ibunya menyuruh melakukan panggilan video sekarang. Mau menolak, tapi jika ibunya sudah meminta seperti ini artinya Ibunya sudah keburu kangen.
Dengan malas-malasan Btari bergerak menuju kamar tidurnya untuk mengambil laptop. Kemudian, dia kembali ke ruang tamu hanya untuk menelepon dari sana. Dia malas di tempat tidur karena takut kenyamanan tempat tidur membuatnya terlelap.
"Bu," sapa Btari. Dia mencoba memberikan senyum. "Kangen banget sama Ibu."
Ibunya, Nia malah mendengkus keras. Rambut yang sudah beruban keseluruhan itu bergerak mengikuti gelengan kepala wanita itu. "Kalau kangen itu sering telepon, Btari, bukannya disuruh telepon baru telepon."
Seketika Btari meringis. "Maaf deh, Bu. Sekarang lagi sibuk-sibuknya di kantor, jadi ini aja baru pulang kerja."
Ekspresi Nia tampak tidak senang. "Bukannya kamu bilang kalau kantor kamu ada sistem WFH? Kok masih pulang pergi kantor? Kamu lagi hamil harusnya bisa dong ambil WFH aja, jadi nggak banyak gerak, Btari."
Btari menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Dia menjelaskan pelan-pelan, "Saat ini lagi jadwal kerja di kantor, Bu. Btari juga ditunjuk atasan buat jadi pembimbing bos baru."
"Kamu kenapa sih nggak mau resign dan balik aja ke Jakarta, Btari? Ibu itu sedih tiap hari mikirin kamu yang sendirian di Surabaya dalam keadaan hamil."
"Ibu doain aku kuat aja. Itu cukup buat aku sekarang, Bu," ucap Btari lirih. Sebenarnya kata-kata Nia sukses meremas hati Btari karena bagaimanapun seorang anak tak mau membuat Ibunya sedih. "Ibu tahu benar alasanku belum mau resign, karena aku harus selesain cicilan apartemen ini. Uang tunjangan kematian mas Damar emang bisa menutupi sampai beberapa bulan ke depan, tapi kan nggak semuanya. Apalagi saat ini pandemi bikin susah, Bu, cari kerjaan dengan gaji dan fasilitas bagus di tempat baru dengan cepat itu mustahil. Belum lagi kondisiku lagi hamil. Bahaya untukku jalan-jalan di luar dengan virus di mana-mana."
"Kamu tuh susah ya dibilangin, Btari." Nia geleng-geleng.
Btari sudah siap kembali merespons, tapi suara bel berbunyi menghentikan obrolan mereka.
"Ada tamu, Btari. Siapa malam-malam datang?" todong Nia.
Seketika Btari meringis. "Kayaknya—"
"Mbak Btari, buka, Mbak!" Terdengar teriakan di luar disusul gedoran pintu. "Mbak, tolong, Mbak Btari!"
"Btari, buka sana pintunya!"
Perintah Nia berikut gedoran dan teriakan Alaska yang tidak ada hentinya memaksa Btari bergerak. Dibukanya pintu dan tahu-tahu saja atasannya itu main masuk rumah orang begitu saja.
"Pinjem kamar mandi, Mbak. Kebelet banget. Permisi."
Btari mengangah di tempat. Kepalanya geleng-geleng dengan ekspresi tak percaya mendapati kehebohan Alaska.
Namun, saat tatapannya jatuh pada layar laptop yang ternyata menghadap langsung pintu masuk, seketika Btari membeku di tempat. Tatapan Nia tampak menusuk dengan sorot menuduh, seolah-olah wanita itu ketahuan berselingkuh.
***
Surabaya, 28 Agustus 2022
Jeng jeng! Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya? Mari ditunggu. Semoga suka ya ceritanyaa hihihi
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top