#7 : Mesmerized
All I ever think about is you
You've got me hypnotized, so mesmerized
(David Archuleta - Crush )
***
Sepanjang pagi ini pekerjaan Alaska hanya melamun. Ralat, selama dua hari terakhir atau lebih tepatnya sejak mendengar detak jantung janin dalam kandungan Btari. Selama beberapa detik waktu itu, rasanya seperti sebuah magis yang membuatnya terpaku hingga air matanya menetes.
"Tidak, tidak, ini konyol!" omel Alaska pada dirinya sendiri. "Kerja, kerja, kerja!"
Segera dibuang jauh-jauh ingatan tentang momen itu, kemudian mengangkat pantatnya dari sofa. Perlahan dia bergerak menuju lemari sepatu di dekat pintu.
Sedikit kesal Alaska meraih sepatunya. Kemudian, membanting benda itu ke lantai hingga bunyi plok keras terdengar.
Begitu dia berhasil mengenakan sepatu kerjanya dan memasang masker di wajah, Alaska kembali menatap pantulannya di kaca. Sengaja pria itu menaruh sebuah cermin di dekat pintu masuk untuk memastikan penampilannya rapi sebelum berangkat bekerja.
Ditatapnya dirinya sendiri, lalu berkata, "Pikirkan Nisaka, pikirkan Nisaka. Lo suka Nisaka. Lo suka—"" Alaska terdiam sesaat, sebelum mengerang putus asa. "Nggak! Nggak! Nisaka istri orang. Kita cari wanita lain yang harus gue pikirkan."
Namun, baru beberapa detik, sosok Btari lagi-lagi mengisi isi kepalanya. Momen magis itu juga kembali membentuk kilasan balik yang indah. Kejadian itu selayaknya keajaiban Tuhan yang langsung menyentuh hatinya. Alaska frustrasi.
"Nggak nggak!"
Sekali lagi Alaska menolak tegas isi pikirannya. Buru-buru dipaksa kepalanya memikirkan pekerjaan. Sudah pukul delapan, waktunya dia berangkat kerja.
Baru saja membuka pintu, pintu seberang unit juga ikut terbuka. Sosok yang sejak tadi mengacaukan Alaska tahu-tahu saja berdiri di depannya. Selayaknya dalam film dan drama roman picisan, rambut Btari yang diurai bergerak karena tiupan angin yang entah dari mana.
Wanita itu memang tak terlihat memamerkan senyum, tapi matanya menyipit dan binar dari sorot matanya menunjukkan Btari tengah memberikan Alaskan sebuah senyuman. Gaun warna biru selutut tua membuat perut buncitnya tertutupi. Dan satu-satunya respons Alaska hanya diam terpaku sambil menatap Btari.
"Pak Alaska."
Sebuah panggilan dengan nada lembut sukses menyentak Alaska. Agak gugup pria itu membalas lirih, "Ya?"
Tiba-tiba saja Btari mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang tengah dia tenteng. Wanita itu mengulurkan sebuah kotak makan pada Alaska. "Buat Pak Alaska."
Mulut Alaska terbuka. Untungya masker yang dia kenakan berhasil menutupi ekspresi bodoh yang terpasang di wajahnya.
Tangan Alaska bergetar saat menerimanya. Dia bertanya dengan gugup, "Ini ... apa?"
"Itu sarapan, Pak," ucap Btari. Ada kekehan geli terdengar dari balik maskernya. "Kebetulan hari ini saya nggak sengaja bikin sarapan kebanyakan, jadi kenapa nggak berbagai sama tetangga, kan?"
Masih sedikit terperangah, Alaska membalas, "Makasih."
"Sama-sama, Pak. Saya berangkat dulu."
Setelahnya Btari berjalan lebih dulu menuju lift, meninggalkan Alaska yang masih terpaku di tempat.
Untungnya kesadaran Alaska cepat kembali. Dengan langkah lebar-lebar dia menyamai langkah Btari. Tangannya refleks mencekal lengan tetangga slash seniornya di kantor.
"Sori," ucap Alaska seraya melepaskan pegangannya. "Saya nggak bermaksud sentuh, Mbak Btari, sembarangan. Nggak sengaja tadi."
Btari mengangguk. Sebelah alisnya berkerut. "Kenapa, Pak?"
"Saya ...." Alaska mulai mencari alasan kenapa dia menahan Btari. Jujur saja sikapnya tadi murni gerakan tanpa sadarnya. "Gimana kalau ... gimana kalau kita berangkat bareng ke kantor? Kamu benar, pandemi adalah ajang untuk kita berhemat. Jadi saya rasa dengan tujuan yang sama kita bisa berangkat ke kantor bersama. Hemat budget, kan?"
Selama sepersekian detik Btari hanya menatap Alaska. Mata wanita itu mengerjap beberapa saat. Sebelum akhirnya wanita kembali berbicara, "Ide bagus sih, Pak. Tapi apa nggak ngerepotin Pak Alaska?"
"Nggak repot sama sekali." Jawaban Alaska yang terlalu cepat sukses membuat pria itu memaki dirinya dalam hati. "Saya selalu suka punya teman, Mbak. Ya walaupun temannya cuma buat berangkat dan pulang kantor, tapi rasanya menyenangkan. Kalau ada temen ngobrol kan macet ataupun ngantuk di jalan jadi nggak kerasa."
Pada akhirnya, Btari mengangguk. Keduanya bergerak bersamaan memasuki lift. Mereka hening selama beberapa waktu, sebelum akhirnya Btari kembali memanggil, "Pak Alaska."
"Ya?"
"Sepertinya saya harus jujur." Ucapan Btari membuat Alaska menoleh. Kedua mata mereka bersirobok di udara. "Terima kasih, Pak Alaska. Sabtu kemarin Bapak mau temenin saya periksa kandungan. Jujur itu ... sangat berarti buat saya. Sejak hamil, saya yang nggak punya siapa-siapa di sini mau nggak mau melakukan segala hal sendirian di Surabaya. Dan saat itu saya senang punya teman yang bisa membuat saya merasa nggak sendirian lagi walau cuma sesaat."
Saat itu Alaska memilih diam menatap Btari. Mulutnya terlalu keluh. Saat mata pria itu jatuh ke perut Btari, Btari tengah mengusapnya dengan sayang.
Dalam hati Alaska bertanya-tanya, bagaimana rasanya menyentuh perut itu. Apakah rasanya akan sama menakjubkan seperti mendengar debar jantungnya waktu itu? Pada akhirnya, Alaska hanya bisa berangan-angan.
***
Sepertinya kutipan mengenai banyaknya pekerjaan akan membuatmu melupakan permasalahan hati tidak berlaku untuk Alaska saat ini. Karena bagaimanapun dia mencoba mengusir Btari, wanita itu tetap bergerak ke sana-kemari di sekitarnya. Aroma bunga dari parfumnya bahkan memenuhi seisi ruang kantornya.
"ARGH!"
Tanpa sadar Alaska berteriak. Rambut dia acak-acak. Lama-lama dia merasa gila karena pikirannya terus terbelah menjadi dua antara pekerjaan dan Btari.
Tiba-tiba saja terdengar langkah kaki mendekat. Sontak Alaska mendongak. Matanya langsung terkunci oleh sepasang mata gelap Btari. "Pak Alaska, baik-baik aja? Ajaran saya bikin pusing kah sampai teriak barusan?"
Buru-buru Alaska mengalihkan tatapannya. Dia berdehem pelan seraya kembali duduk tegak. Dia menggeleng. "Nggak, ajaran kamu oke-oke aja. Nggak ada yang bikin pusing."
"Terus kenapa kayak orang frustrasi barusan?"
SAYA FRUSTRASI KARENA MIKIRIN KAMU, MBAK BTARI! Alaska ingin meneriakan itu. Namun, pria itu hanya membalas dengan cengiran yang tidak akan Btari lihat karena maskernya.
"Oh tadi ... tadi ada yang salah sama kerjaan saya, tapi sekarang semua baik-baik aja."
"Yang bener semua baik-baik aja?" tanya Btari. Matanya menyipit seolah tak mempercayai Alaska. "Pak, ini sistem keuangan lho! Kita nggak boleh salah masukin data karena satu salah, semua perhitungan juga jadi salah."
"Saya tahu, Mbak." Alaska mengangguk. "Kalau nggak percaya cek aja sendiri."
Segera saja Btari menduduki kursi di seberang meja Alaska. Wanita itu segera memutar layar komputer Alaska menghadapnya.
Sementara Btari sibuk dengan sistem akuntansi perusahaan, Alaska malah asyik memperhatikan Btari. Wanita itu tidak lagi mengurai rambutnya, sudah dikuncir asal-asalan. Anak-anak rambut yang berantakan sukses membuat tangan Alaska gatal untuk memperbaikinya. Namun dari itu semua, aroma parfum Btari terasa semakin tajam dan itu menambah debaran jantung Alaska semakin tidak keruan.
Tahan, Alaska, tahan!
"Oke. Udah bener semua, Pak."
Ucapan Btari membuat Alaska kembali fokus pada wanita itu. Agak sedikit bercanda, Alaska berkata, "Kan sudah saya bilang kalau semuanya oke."
"Baiklah, Pak." Btari berdiri. Tangannya melirik jam tangannya. "Udah masuk makan siang. Saya mau izin ke kantin bawah buat makan siang ya, Pak."
"Kamu nggak ngajak saya makan siang atau bawain makan siang juga buat saya, Mbak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Alaska.
Ekspresi Btari langsung berubah serius. Kepalanya menggeleng. "Kan makan siang di kantin gratis, kalau Bapak lapar silakan ambil sendiri. Saya hanya niat kasih sarapan aja, sisanya bapak usaha sendiri ya. Selamat makan siang."
Belum juga Alaska merespons, Btari sudah berbalik begitu saja dan menghilang di balik pintu. Alaska mendesah napas panjang. Sekarang pikirannya antara mengikuti Btari makan siang dengan menu yang sepertinya tidak menggugah selera atau memesan ojek online.
Cukup lama larut dalam pikirannya sendiri, sebuah ketukan di pintu mengalihkan Alaska. Pria itu mendongak. Senyumnya sudah sumringah berharap itu Btari. Namun, saat melihat Fathir, Alaska kecewa berat.
"Pak Fathir," sapa Alaska dengan datar.
"Nggak makan siang, Pak?" tanya Fathir yang langsung dibalas gelengan Alaska. "Saya tadinya ke sini karena mau coba peruntungan aja apakah bisa ketemu Pak Alaska langsung atau sudah ditinggal makan siang, ternyata saya cukup beruntung. Ada sesuatu yang mau saya bahas mengenai pekerjaan."
Alaska mengangguk. "Duduk, Pak."
Segera saja Fathir menduduki kursi yang baru ditinggalkan Btari tadi. Pria itu bertanya, "Udah seminggu kerja bareng Bu Btari, gimana? Lancar?"
"Lancar-lancar saja, Pak." Alaska manggut-manggut. Matanya memperhatikan sekitar. Ada sebuah agenda khusus berisikan catatan-catatan penting untuk pekerjaannya yang sudah penuh oleh ajaran Btari. "Cuma karena masih adaptasi, jadi beberapa hal masih butuh Bu Btari."
Fathir manggut-manggut. "Saya sudah diskusi dengan Pak Arsan, kayaknya Pak Alaska sama Bu Btari ini kita teruskan aja jadi tim sampai dia lahiran. Mungkin jadi asisten Pak Alaska, sekretaris. Cuma sambil menunggu Bu Btari cuti hamil, kita tetap rekrut satu orang lagi untuk jadi sekretaris beneran Pak Alaska. Gimana menurut, Pak Alaska?"
Untuk sesaat Fathir termenung. Dia berpikir, jika akan ada satu orang lagi di sini, maka orang itu bisa dijadikan alasan untuk mendistraksinya dari Btari.
"Boleh, Pak," ucap Alaska. "Biar kita semua sama-sama tenang dalam bekerja karena jobdesk-nya nggak tumpah tindih."
Sekali lagi Fathir manggut-manggut. Berbeda dengan Alaska yang tengah menyentuh jantungnya. Berharap orang lain ini juga bisa membuat jantungnya yang tengah berparade ini jauh lebih tenang dan pekerjaan jauh lebih bisa fokus, bukannya hanya Btari yang terus-menerus menari di kepala.
***
Surabaya, 26 Agustus 2022
Hai hai, terima kasih kalian sudah baca kisah ini ya! Ditunggu terus ya ges ya. Btw, nggak ada cast-cast ya bayangin sendiri. Oke!
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top