#6 : Heartbeat
I only got one thing on my mind
You got me stuck on the thought of you
You're making me feel brand new
(Dazy ft Nicky Youre - Sunroof)
***
Gerakkan Btari terhenti saat akan memasukkan dus-dus susu ibu hamil ke tas belanjaannya. Perhatian wanita itu kemudian berpaling pada Alaska yang sedang bolak-balik antara meja makan dan kulkas untuk memasukan persediaan cemilan serta minuman kemasannya.
Di kepalanya masih menyimpan tanya, mengenai alasan pembelian susu ibu hamil ini dalam jumlah banyak. Sekaligus alasan lain yang menyebabkan suasana hati Alaska menurun hingga pria itu mengomel setelahnya.
"Pak Alaska," panggil Btari. Wanita itu tidak tahan. Dia harus bertanya sekarang atau tidak sama sekali.
Alaska yang tengah berjongkok di kulkas hanya membalas dengan gumaman. Segera saja Btari melanjutkan pertanyaan, "Kalau saya boleh tahu, kenapa kamu ambil dus susu ibu hamil ini banyak banget dan berakhir emosi?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia memilih untuk berdiri seraya menutup kulkas. Ditatapnya Btari dengan kening berkerut seolah memikirkan jawaban.
"Oh kejadian itu tadi, saya kesal aja dibilang suami nggak perhatian karena nggak beliin kamu susu ibu hamil terbaik. Makanya saya langsung beli banyak banget biar ibu SPG-nya tutup mulut."
Seketika Btari memelotot mendengar jawaban Alaska. Dia cukup terkejut karena Alaska beranggap sebagai suaminya, padahal pria itu bukan.
Agak ketus, Btari berkomentar, "Tapi Bapak kan emang bukan suami saya!"
Pria itu meringis. Tangannya menggaruk kepala belakangnya. "Iya juga ya, saya kan bukan suami kamu, Mbak. Abisnya tadi saya merasa kayak bertanggung jawab sama kamu dan anak kamu, jadi kebawa kesal pas dibilang bukan suami yang baik."
Kemarahan seperti mulai merasuki Btari. Saking kesalnya, kepalanya jadi mulai pusing sekarang. Kedua tangannya bahkan sampai mengepal menahan amarah.
"Mbak Btari, kamu baik-baik aja, kan?"
Tahu-tahu saja Alaska sudah berdiri di sebelah Btari. Wanita itu menggeleng. Dia sama sekali tidak baik-baik saja. Alaska bosnya, sedangkan suami Btari adalah Damar. Tidak boleh ada yang menggantikan posisi itu sekalipun hanya sebuah perasaan tanggung jawab.
"Saya rasa, saya ... nggak baik-baik aja," aku Btari.
Alaska terbelalak. Pria itu menyentuh lengan Btari. "Ada yang sakit, Mbak? Kamu mau duduk dulu atau mau saya ambilkan sesuatu? Gimana kalau kita langsung ke dokter aja? Jangan-jangan ini efek mual-mual pagi tadi."
"Nggak perlu," jawab Btari seraya menarik lengannya dari sentuhan Alaska.
"Mbak ...."
"Kamu bukan suami saya, Pak Alaska." Nada suara Btari tahu-tahu saja meninggi. Alaska sampai mundur selangkah saking terkejutnya. "Dan selamanya nggak akan pernah jadi suami saya."
Persetan dia atasan gue! Gue kesal! Teriak Btari dalam hati. Untuk segala hal yang Alaska lakukan padanya sampai kesal kemarin bisa wanita itu tolerir, tapi tidak dengan menganggap pria itu sebagai suaminya.
"Mbak Btari, saya nggak maksud seperti itu."
"Tapi kenyataannya kamu sudah beranggapan seolah kamu suami saya, Pak Alaska, padahal bukan." Napas Btari mulai tersengal. "Saya sangat berterima kasih karena Bapak merasa bertanggung jawab terhadap saya karena bagaimanapun saya bawahan Bapak. Cuma saya nggak terima kalau Bapak beranggapan lebih dari itu karena sampai kapan pun suami saya hanya Damar, bukan Pak Alaska!"
Alaska kembali menyentuh Btari. Namun, sekali lagi wanita itu menarik tangannya. "Mbak Btari tenang dulu ya, saya nggak bermaksud untuk mengambil peran suami kamu atau suami siapa pun. Perasaan tadi murni muncul karena mungkin cara salesgirl berbicara aja. Cuma kalau, Mbak Btari, nggak nyaman dengan sikap saya, saya minta maaf banget. Saya salah, Mbak."
Btari menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Saat mendapati ekspresi Alaska yang tampak sedih, wanita itu memilih untuk damai. Bagaimanapun Alaska adalah atasannya, dia tidak mungkin bersikap bermusuhan apalagi mereka akan semakin sering bersama.
"Saya harap perasaan itu nggak berlanjut ya, Pak. Tolong jangan begitu lagi, saya nggak suka." Btari menunjuk tas belanjaannya yang berisi dus-dus susunya. "Ini semua saya bayar sendiri."
"Nggak usah, Mbak. Ambil aja. Gratis. Anggap aja—"
Kata-kata Alaska terpotong saat Btari mendelik. Wanita itu kembali berteriak. "SAYA MAU BAYAR SEMUANYA SENDIRI!"
Alaska kembali meringis. Dia mengangguk. "I ... iya deh, Mbak.'
"Kirim ke saya nomor rekening, Pak Alaska. Saya pasti bakal langsung transfer," ucap Btari masih ketus
Setelahnya Btari langsung memasukan sisa belanjaan miliknya ke tas belanjaan. Sebelum akhirnya bergerak menuju pintu keluar dengan langkah tergesa yang penuh amarah.
Hanya saja ketika mendekati pintu, sakit kepalanya terasa semakin tak tertahankan. Sontak belanjaannya terjatuh pelan ke lantai.
"Mbak," panggil Alaska. Pria itu tahu-tahu saja sudah merangkulnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Belum sempat Btari menjawab, mata wanita itu terpejam. Ingatan terakhirnya hanyalah teriakan Alaska memanggil namanya.
***
Kesadaraan Btari kembali. Perlahan dia membuka mata. Langit-langit tinggi warna putih berikut aroma obat-obatan khas seolah memberitahukan keberadaannya.
Dengan sekuat tenaga dan juga kepala yang masih sedikit pening, Btari menoleh ke kanan-kiri. Sayangnya, mau menoleh ke kanan ataupun kiri, satu-satunya yang dia lihat hanyalah tirai pembatas. Bahkan depannya pun juga tertutup tirai.
Untungnya tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat, disusul suara tirai ditarik. Btari kembali menoleh. Sekalipun mengenakan masker di wajahnya, Btari tahu itu Alaska. Pria itu berdiam sesaat. Mata mereka bertemu. Sebelum akhirnya, Btari tertarik dengan beberapa lembar yang pria itu pegang.
"Kamu ... udah sadar, Mbak," ucapnya pelan. Alaska bergegas mendekat. "Saya barusan selesai urus berkas-berkas kamu."
"Saya ... kenapa harus di rumah sakit?" tanya Btari.
Terdengar desahan panjang Alaska. "Waktu kamu tiba-tiba pingsan tadi, di kepala saya saat itu hanyalah bawa kamu ke rumah sakit, Mbak Btari. Kamu lagi hamil dan tahu-tahu pingsan, saya rasa bukan hal yang bisa saya urus sendiri jadi saya butuh pertolongan yang lebih ahli. Cuma tadi karena saya khawatir, saya iyakan semua permintaan pihak rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan ke kamu. Maaf saya lupa nggak minta persetujuan kamu, Mbak. Kalau kamu oke, saya janji nggak akan ambil keputusan tentang kamu tanpa minta pendapat kamu. Kalau kamu nggak setuju, saya bakal bilang ke rumah sakit untuk batalin pemeriksaan kamu."
Kata demi kata Alaska sedang Btari coba untuk cerna. Seharusnya Alaska tidak perlu meminta maaf karena mengambil keputusan mendadak di saat Btari pingsan. Namun, pria itu sepertinya tetap mencoba agar Btari merasa nyaman terlebih setelah kejadian di apartemen tadi.
Sadar bahwa Alaska sudah bersikap baik, Btari tidak mungkin masih dengan galak menolak. Apalagi ini juga untuk kepentingan anak dalam perutnya.
"Nggak apa-apa, Pak Alaska." Btari mencoba menyunggingkan senyum. "Kalau saya berada di posisi Bapak, saya pasti akan melakukan hal yang sama. Saya ... terima kasih."
Keduanya saling melempar senyum. Sebelum akhirnya diganggu dengan kemunculan perawat. Wanita berseragam putih itu membawa sebuah kursi roda.
"Tolong, Bu Btari, pindah ke kursi roda ya."
Btari mengangguk. Dipaksanya dirinya untuk bangun dari ranjang. Hanya saja, dua buah tangan tahu-tahu saja meraih punggung dan tungkai kaki Btari. Pelan-pelan badannya diangkat, kemudian didudukkan di kursi roda.
"Makasih, Pak," bisik Btari pada Alaska.
Pria itu mengangguk. Dia juga mengajukan diri pada perawat untuk mendorong kursi roda Btari. Kemudian, mengikuti perawat yang memandu jalan mereka.
Ternyata mereka masuk ke ruang pemeriksaan dokter kandungan. Pria itu juga dengan sigap memindahkan Btari dari kursi roda ke ranjang pemeriksaan, sesuai permintaan dokter.
Alaska sudah siap untuk pergi, tapi dokter malah menahannya, "Loh, kok pergi, Pak? Istrinya jangan ditinggal."
Terdengar ringisan saat Alaska menjawab, "Saya bukan suaminya, Dok."
"Pacarnya juga nggak apa-apa, Pak." Dokter berkepala plontos dengan sorot penuh kebapakan itu terkekeh di balik maskernya. "Saya sudah biasa dapat pasien masih pacaran, tapi sudah mau punya anak. Mau sedih dengan kondisinya, tapi yang penting nggak bunuh janinnya. Sini aja, Pak, lihat perkembangan anak dalam kandungan Ibunya. Biar Bapak dan Ibu setelah ini tahu apa yang harus dilakukan agar pingsan tidak terjadi lagi."
Alaska tidak merespons. Pria itu bergeming di tempat sambil menatap lurus Btari, meminta bantuan.
Sementara itu, Btari yang sadar jika Alaska tidak di sini, maka dokter tidak akan segera melakukan pemeriksaan. Pada akhirnya wanita itu mengangguk. Dia berkata, "Ikut aja."
Walaupun tampak terkejut dan bingung, Alaska pun kembali mendekat. Namun, pria itu berusaha untuk tetap sopan dengan menatap ke layar pemeriksaan alih-alih Btari.
Dokter memulai pemeriksaan. Disingkapnya kain di perut Btari. Kemudian, memulai menggerakkan alat USG di perutnya.
"Udah kelihatan ini wajahnya. Kira-kira mirip Ibu atau Bapak?" tanya Dokter.
Alaska menjawab lirih. Tatapan pria itu tak ke mana-mana selain layar yang terus berpindah-pindah gambarnya, "Ibunya, Dok."
"Sekarang saya dengarkan suara detak jantungnya ya."
Suara degup jantung pun mulai terdengar pelan. Btari kembali fokus ke layar pemeriksaan, bukan Alaska. Air matanya menitik karena bagaimana pun dia selalu merasa tidak percaya ada sesuatu yang tengah tumbuh dan berkembang dalam dirinya, seorang bayi.
Hanya saja, ketika Btari kembali menatap Alaska. Wanita itu terkejut menemukan air mata bosnya itu ikut menitik. Refleks, Btari menyentuh punggung tangan Alaska untuk dia genggam erat.
Untuk kali pertama selama dia mengandung, ada orang lain yang menemaninya melakukan pemeriksaan kandungan. Ada orang lain yang melihat perkembangan janinnya secara langsung. Sesaat rasa kesepian dalam dirinya seolah hilang. Btari tanpa sadar terisak haru. Genggamannya pada Alaska juga semakin erat seolah tak ingin wanita itu lepas.
***
Surabaya, 23 Agustus 2022
Hai hai, terima kasih sudah baca kisah ini ya! semoga suka :p Semoga tetep lucu walau sebenarnya sih enggak hahaha. Yang penting gak sedih-sedih deh huhuhu.
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top