#21 : The One Who Always There
Selama 28 tahun hidup, Btari tidak pernah merasa selemah ini. Sampai-sampai bangun dari tempat tidur saja tidak sanggup apalagi menjalankan aktivitas. Belum lagi seluruh badannya meriang. Tenggorokannya juga sakit hingga menyulitkannya bersuara.
Samar-samar wanita itu mendengar suara yang familier di sekitarnya. Pria itu tengah berbicara pada seseorang. Sontak Btari menoleh ke sisi jam dinding, sudah pukul 7 malam. Bukankah seharusnya dia sendirian dalam apartemennya, lalu kenapa pria itu tetap ada?
"Alaska," panggil Btari dengan susah payah. Saking susahnya menyebutkan satu nama saja dia sampai terbatuk.
"Alaska." Sekali lagi dia memanggil Alaska.
Untungnya panggilan kedua ini terdengar karena tak lama terdengar derap langkah mendekat. Alaska masih memegang ponsel. Dia bergumam, "Sebentar, Mbak."
Setelahnya, pria itu tidak pergi. Dia malah duduk di sisi ranjang. Tangannya dengan santainya mengusap-usap puncak kepala Btari seolah tengah menina bobokan wanita itu.
"Iya, Anya. Kamu kan sudah lebih baik, seharusnya udah mulai bisa kerja atau paling nggak lihat laptop? Sekarang gantian Bu Btari yang sakit, jadi tentu saya kekurangan orang buat di kantor." Alaska mendesah napas panjang. Ditatapnya Btari dengan lembut. "Saya harap selama kamu sanggup beraktivitas, kamu bisa sedikit meringankan pekerjaan saya dan lainnya ya. Selamat malam."
Setelahnya Alaska menutup ponsel. Pria itu langsung mencurahkan seluruh fokusnya pada Btari. Dengan senyum lembut, dia berkata, "Gimana keadaan kamu saat ini, Mbak? Masih sakit semua badannya?"
Btari mengangguk. Agak terbata dia menjawab, "Lemes."
"Kalau gitu waktunya makan malam." Seketika Alaska meringis. "Tapi sebelum itu saya mau minta maaf dulu, Mbak. Karena kondisi kamu saya memaksa diri memasak, jadi maaf kalau bikin dapur kamu kacau terutama bikin kamu harus menelan makanan nggak enak yang saya buat. Saya nggak berani pesan makanan di luar tanpa persetujuan kamu, karena ya ... kamu sendiri yang bilang nggak terlalu suka makan makanan yang dibuat sama orang yang nggak kamu kenal."
"Kamu ... nggak perlu memaksa diri."
Alaska terkekeh. Dia menggeleng. "Saya nggak merasa memaksa diri, Mbak Btari. Udah jangan mikirin saya."
Pria itu segera beranjak. Keributan di dapur terdengar lagi. Dan tak sampai lima menit, pria itu kembali dengan semangkuk makanan dan juga segelas air putih.
"Biasanya kalau saya sakit, saya suka minum teh hangat yang super manis. Cuma karena setelah makan kamu harus minum obat, jadi air putih hangat dulu ya, Mbak," ucap Alaska seraya menduduki sisi ranjang Btari. "Nanti agak malam baru saya bikinin teh hangat manis. Karena menurut saya banyak mengkonsumsi manis bikin kita cepat merasa lebih baik."
Btari mengangguk. Perhatiannya tercurah pada makanan dalam mangkuk. "Itu apa?"
"Sup ayam yang saya campur nasi." Alaska meringis. "Karena saya nggak bisa masak, jadi sepenuhnya pakai bumbu jadi. Terus wortelnya agak kebesaran maaf ya."
"Nggak apa-apa."
Senyum Btari merekah, begitu pula senyum Alaska. Pria itu dengan telaten menyuapi makanan Btari. Terkadang juga memberikan air untuk diminum.
Sambil mengunyah sup yang sebenarnya agak terlalu asin itu, Btari mendadak tertarik dengan koper asing yang ada di dekat ruang tamu rumahnya. Mulutnya pun bertanya begitu saja, "Itu ... koper kamu?"
Baca kelanjutan kisah Alaska dan Btari di KaryaKarsa yaaa. Link akan saya bagikan di beranda Wattpad.
***
Surabaya, 11 Oktober 2022
Hai hai, terima kasih untuk kamu yang sudah baca cerita ini! Mungkin cerita ini akan saya lengkapi setiap babnya entah kapan atau mungkin nggak pernah lengkap karena saya pindahin ke KK yaaa. Penulis lagi butuh cuan nih mohon maklum ya ges ya :')
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top