#19 - Kualat
I was stayin' by your side just so I knew you were okay
Then I was openin' the door just to see if you would walk through
(Rex Orange County - The Shade)
***
Untuk kesekian kalinya Btari melamun. Tatapannya kosong menatap pantulan diri di cermin. Kedua tangannya terkulai lemas di atas meja rias sambil memegang kuas rias dan juga wadah bedak. Lagi dan lagi Alaska menjadi alasan sikap tidak normalnya pagi ini.
"Kalau kamu lihatin saya kayak gitu, saya bisa benar-benar suka sama kamu."
Kalimat itu memang dikatakan dengan nada bercanda, tapi malah menetap di kepala Btari. Seolah kata-kata itu mengejeknya. Benar, tapi mana berani atau mungkin tidak mau mengaku.
Belum lagi keadaan mereka serta tanggung jawab yang Btari emban menyulitkannya jauh-jauh dari Alaska. Kemudian ditambah obrolan-obrolan saat makan bersama tiga kali sehari. Hal itu sukses mengacaukan debar jantung dan ketenangan hidup Btari.
"Btari, jangan gila ya lo!" Btari menarik napas dalam-dalam, lalu menggeleng. Sambil menatap cermin, dia berkata dengan tegas. "Apa pun perasaan lo sama Alaska harus lo kubur dalam-dalam!"
Begitu berhasil menguasai kesadarannya kembali, Btari kembali fokus merias wajah. Hari ini, tugas dia untuk ke kantor. Saat melihat namanya muncul dalam putaran spin the wheels, Btari langsung mengiakan. Sekalipun banyak orang termasuk Alaska mengkhawatirkannya.
Alasannya, bukan hanya karena risiko pekerjaan, tapi juga Tuhan sedang membantunya bernapas. Karena semakin dekat dengan Alaska, lalu kenyataan yang membentang lebar di depan mereka, menjadikan Btari sering sesak napas. Nasib kisah cintanya sungguh menyedihkan dari dulu hingga sekarang.
Tepat saat setengah delapan pagi, Btari sudah keluar apartemen. Rambut panjang sepunggungnya dia ikat satu. Riasannya juga sederhana, tapi harus tetap mengenakan lipstik merah kebanggaan. Sekalipun mengenakan masker dan lipstik itu akan tertutupi, tapi dia harus tetap memukau saat terpaksa melepas masker atau apabila ada rapat onlien nantinya.
Baru beberapa langkah bergerak menuju lift, tiba-tiba terdengar suara pintu apartemen seberang terbuka. Tak lama derap langkah kaki terdengar dan tahu-tahu saja tangan Btari dicekal.
Wanita itu menoleh. Ekspresinya cukup terkejut menemukan pakaian Alaska yang setengah selesai, kemeja hitam lengkap dengan dasi. Sedangkan bawahan hanyalah kolor hitam di atas lutut. Pria itu juga tersengal.
"Mbak," ucapnya di sela-sela bernapas. "Biar saya aja yang ke kantor."
Kening Btari berkerut. "Pak, tapi kan nama saya yang muncul kemarin, jadi saya harus berangkat."
"Tapi kamu lagi hamil, Mbak." Nada suara Alaska terdengar sangat khawatir. Dan itu sukses membuat jantung Btari yang tadinya baik-baik saja sekarang malah berpesta pora. "Selain Anya, para pegawai kita satu per satu mulai tumbang karena Covid. Apalagi sekarang kan angka terinfeksi mulai meningkat di Indonesia."
Pernyataan Alaska sejujurnya masuk akal, tapi Btari tidak mau. Wanita itu juga butuh udara segar karena bosan di rumah dan terjebak dengan Alaska dan terus Alaska.
"Pak, ini kan risiko pekerjaan saya."
Cekalan tangan Alaska mulai menguat. Pria itu menatap Btari lekat sambil terus menggeleng. "Saya tahu ini risiko pekerjaan, tapi sebagai atasan kamu, saya nggak mau kamu berangkat. Nggak boleh. Demi anak kamu, Mbak Btari."
"Saya akan baik-baik aja, Pak Alaska," ucap Btari mencoba berpikir positif. Tangannya dengan pelan-pelan melepaskan cekalan Alaska. "Waktu suami saya positif, saya nggak ketularan, Pak. Kali ini dengan sedikitnya orang yang saya temui sepanjang jalan menuju kantor maupun saat di kantor, saya yakin kalau saya akan baik-baik aja. Kondisi saya juga sangat sehat."
Terdengar helaan napas panjang Alaska. Ekspresi pria itu tampak sedih. "Saya ... nggak bisa menahan kamu tinggal ya, Mbak?"
Btari tersenyum kecil di balik maskernya. "Saya hanya mau bersikap profesional, Pak Alaska. Saya berangkat. Jangan lupa nanti kita ada rapat pukul 9 pagi. Jangan terlambat online."
Setelahnya, Btari hanya memberikan tepukan singkat di lengan Alaska, sebelum akhirnya kembali bergerak memasuki lift.
Ketika pintu aluminium itu tertutup dan sosok bosnya tak terlihat, Btari menyandarkan diri pada dinding di belakangnya. Wanita itu mendesah panjang. Dia berharap sikap positifnya tidak diasumsikan sebagai sifat sombong yang malah berbalik arah padanya.
***
Kesadaran Btari kembali. Pelan-pelan matanya terbuka. Langit-langit kamar di atasnya terlihat. Seberkas cahaya tampak mengintip dari balik tirai menembus kamarnya. Namun, untuk kali pertamanya masih di tempat tidur dan belum menggerakkan badan, tapi sekujur tubuhnya terasa berat dan sakit.
Ini buruk. Btari mengerang pelan. Dia teringat dengan ucapannya kemarin pagi, kesombongan mengenai kesehatannya. Disusul dengan kejadian saat di kantor. Walaupun seluruh divisi keuangan bekerja di rumah, tapi divisi lain masih menerapkan separuh bekerja di kantor.
Beberapa orang yang mengenal Btari menyapa bahkan sempat mengajak makan siang bersama. Wanita itu juga ngidam makan pempek abang-abang yang mangkal di depan apartemen saat pulang kerja. Dan dia membeli banyak sekali untuk dia makan sekali duduk.
Semuanya baik-baik saja hingga malam menyapa. Mendadak tenggorokan Btari terasa tidak enak, seperti sesuatu yang mengganjal. Dia sudah antisipasi dengan meminum obat flu. Hanya saja dia masih kesulitan tidur ditambah juga memikirkan Alaska. Sialnya, Btari tidak menyangka hal ini berdampak besar saat bangun pagi ini. Sekarang sekujur tubuhnya terasa kaku dan meriang.
"Aku ... harus bangun," ucap Btari. Dia mencoba untuk menggerakkan badannya. Sayangnya, hanya bergeser sedikit karena pada akhirnya, dia menyerah dan memilih berbaring kembali.
Btari kembali memejamkan mata. Dia memutuskan untuk istirahat sejenak karena matanya juga ikut berat.
Baru beberapa detik Btari merasa tidur, tiba-tiba dering telepon menyentaknya. Agak sedikit gelagapan wanita itu mencari keberadaan ponselnya. Hingga benda itu ditemukan di nakas sebelah tempat tidur.
"Halo," jawab Btari begitu berhasil meraih ponselnya dengan susah payah. Suaranya serak dan dia bicara dengan setengah sadar.
"Mbak, suara kamu kok serak begitu?"
"Pak ... Alaska?" tanya Btari memastikan karena dia tidak melihat siapa peneleponnya. Kemudian, terbatuk.
"Iya, kamu kenapa, Mbak? Kok sekarang batuk?" tanya Alaska. Nada suara pria itu terdengar tidak sabaran.
Btari menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Agak kepayahan dia menjelaskan kondisinya, "Kayaknya ... gara-gara pempek gerobak yang kemarin saya beli. Semalam saya udah ... nggak enak tenggorokan. Sekarang suara saya nyaris ... nggak ada. Badan saya juga sakit semua. Pak ... kayaknya saya nggak bisa ... masakin kamu hari ini."
"Astaga, Mbak, kesehatan kamu jauh lebih penting daripada masakin saya." Alaska mendesah napas panjang. "Saya ke apartemen seberang ya buat urus kamu. Sekalian saya bawain obat-obatan flu yang lebih ampuh."
"Nggak ... jangan," tolak Btari lemah.
Terdengar erangan kesal di ujung sana, sementara Btari terbatuk-batuk di tempat. "Mbak Btari, saya tahu betapa superwoman-nya kamu, tapi sebagai tetangga saya nggak mungkin tega buat biarin tetangga saya yang sedang hamil sakit seorang diri. Tolong, Mbak, kali ini izinkan saya bantuin kamu setelah kamu yang selalu bantuin saya."
"Pak ... Alaska, benar, tapi—"
"Tapi kenapa, Mbak?" Alaska mulai terdengar jengkel. "Mbak, udah ya saya nggak mau kita berantem di telepon apalagi kondisi kamu lagi sakit. Saya ke seberang sekarang."
Entah kenapa suara Alaska yang terdengar kesal, tapi sangat mengkhawatirkannya itu sukses membuat Btari tersenyum kecil. "Pak, saya ... nggak melarang kamu ke sini. Masalahnya adalah ... sekujur badan saya sakit semua. Jadi, sangat kecil kemungkinan saya bisa turun dari tempat tidur hanya untuk bukain kamu pintu depan."
"Ah, sial!" maki Alaska lirih.
Selama beberapa saat panggilan terdengar hening. Btari mengira Alaska telah menutup teleponnya. Namun, suara pria itu akhirnya memecahkan kesunyian, "Kamu bertahan di sana ya, Mbak. Tunggu saya."
Panggilan diakhiri begitu saja bahkan sebelum sempat Btari merespons. Wanita itu menaruh ponselnya begitu saja di ranjang sebelah. Kemudian, kembali memejamkan mata.
Namun kali ini, ada sedikit euforia yang tumbuh dalam hatinya. Rasa hangat juga menyelubunginya. Dan hal itu sekali lagi berhasil mengembalikan kantuk Btari. Bedanya tidurnya saat ini adalah ada senyum terukir di wajah.
***
Surabaya, 6 Oktober 2022
Hai hai, kuharap cerita ini nggak makin absurd ya ges yaaaa. Semoga masih pada nungguin juga. Sebenernya udah bikin, tapi aku hapus lagi karena nggak sreg dan kutulis ulang hahaha.
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top