#18 : That Look

I love you

But I don't really show you

I'd call you

But only if you want me too

(IV of Spades - Come Inside of My Heart)

***

"Gimana pendapat, Pak Alaska?"

Pertanyaan salah satu staff-nya di layar laptop sukses menyentak Alaska. Sekalipun tidak benar-benar mendengarkan sepanjang rapat, setidaknya masih ada beberapa poin yang pria itu dengar.

"Saya sih oke-oke aja. Nanti saya ngobrol dengan Pak Fathir dan bahas masalah penyesuasian anggaran terlebih setiap mari makin banyak yang kena." Alaska geleng-geleng. "Dan saya makin sedih karena setiap kali rapat anak keuangan berkurang satu-satu karena mulai flu. Kalian ... jaga diri baik-baik di sana."

"Siap, Pak!" teriak semua orang dengan kompak.

Setelahnya Alaska segera menutup rapat, lalu meminta semua orang fokus dengan kerjaan mereka di rumah masing-masing. Dan begitu pria itu berhasil menutup laptopnya, dia langsung merebahkan diri di karpet ruang tamunya.

Pagi ini tidak ada Btari. Tepat sebelum rapat, wanita itu mendadak minta izin untuk kontrol kandungan. Katanya sih dia lupa jadwalnya dan baru diingatkan alarm ponsel. Alaska sebagai atasan sekaligus orang yang menyukai Btari tidak mungkin menolak.

Masalahnya bukan terletak pada Btari yang izin mendadak, tapi ketidakhadiran wanita itu. Rasanya tidak lengkap tidak melihat Btari di sekitarnya ataupun di layar laptop karena Alaska sudah terbiasa.

"Gimana caranya bisa ke rumah sakit?" tanya Alaska pada dirinya sendiri.

Cukup lama merenung sambil menatap langit-langit, sebuah ide muncul di kepalanya. Segera saja Alaska meraih ponsel. Diutiknya benda itu untuk mencari nomor Btari dan dihubungi.

"Mbak, di mana?" todong Alaska. Diliriknya jam dinding di dekat ruang tamu. "Udah pukul 11 dan bentar lagi makan siang."

"Astaga!" Btari terdengar panik di ujung sana. "Saya belum sempat siapin makan siang. Terus ini kayaknya masih agak lama dipanggilnya, Pak."

"Saya lapar," ucap Alaska sedih. Bukan bermaksud membuat Btari terdesak atau buru-buru, tapi pria itu memang menyembunyikan udang di bawah batu. "Gimana dong?"

Selama beberapa saat terjadi keheningan di ujung sana. Alaska sengaja, dia menunggu ide Btari dulu. "Kalau saya pesankan makanan dari ojek lain aja nggak apa-apa kan, Pak? Kamu mau makan apa?"

"Kayaknya ide kamu nggak oke deh, Mbak." Alaska mulai memainkan permainan. "Saya samperin kamu aja setelah itu kita beli makan siang sama-sama terus makan di apartemen bareng. Paham sih kamu nggak seberapa suka makan masakan orang lain kecuali nasi goreng abang-abang dan kantin, tapi kan siang ini kamu nggak ada waktu buat masak. Jadi daripada nggak makan siang, mending beli dulu. Percaya sekali dengan orang lain nggak apa-apa kok, Mbak."

"Eh ... nggak usah samperin saya, Pak, nggak usah." Terdengar nada suara panik di ujung sana. "Saya, saya bisa beliin sekalian pas balik nanti. Kamu tinggal sebutin aja mau makan siang apa."

"Apa biaya taksi onlinenya nggak makin banyak, Mbak? Berhenti di restoran A terus pesan lagi buat balik apartemen? Apalagi sekarang kan diusahakan jangan bertemu orang banyak dulu karena ... virus."

"Iya sih ...," gumaman pelan Btari sukses membuat seringai di wajah Alaska. "Tapi kamu lagi kerja, Pak. Rapat juga."

"Tenang, tenang, semua aman. Rapat selesai dan kerjaan hari ini tinggal dikit lagi. Jadi, nggak apa-apa kalau jemput sama makan siang. Saya jemput, oke?"

Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. "Saya ... nggak bisa menolak kan, Pak?"

Senyum di wajah Alaska melebar. Dia berkata, "Ngapain ditolak, Mbak? Anggap aja kamu juga bantuin saya lepas dari belengu unit apartemen saya. Kira-kira setengah jam lagi saya sampai klinik langganan kamu ya."

Btari hanya membalas dengan ucapan terima kasih, sebelum panggilan berakhir.

Alaska sendiri langsung loncat dari karpet tempat dia berbaring. Kemudian, pria itu berjoget senang. Semakin hari Btari mulai semakin melunak. Bahkan ajakannya ini tidak ada penolakan tegas.

***

Sesuai dengan ucapannya, Alaska benar-benar sampai klinik tepat setengah jam setelahnya. Begitu berhasil memarkirkan mobil, pria itu bergegas turun. Btari tidak menjawab pesan ataupun teleponnya, Alaska berasumsi bahwa seniornya itu sedang dalam pemeriksaan di ruang dokter.

Alaska bergegas memasuki klinik khusus untuk ibu dan anak itu. Tidak sampai lima menit, dia berhasil sampai ke poli kandungan. Sesuai dugaannya, Btari tidak terlihat di mana-mana. Jadi, pria itu menunggu di salah satu kursi yang menghadap langsung pintu poli.

Cukup lama menunggu, pintu terbuka. Sosok Btari muncul dan Alaska pun berdiri. Pria itu bergegas mendekat. Dia langsung menyapa dengan senyum yang tersembunyi di balik masker, "Mbak. Pas banget."

"Pak, udah lama nunggu?"

Alaska menggeleng. Mereka saling bertatapan. Namun sindiran ibu-ibu di sekitar yang menyuruh untuk segera pergi karena katanya terlalu romantis membuat Alaska dan Btari mau tak mau menyingkir.

Keduanya tak lagi berbicara hingga mereka masuk mobil. Alaska sendiri sebenarnya tertarik dengan buku yang Btari pegang sejak tadi. Pria itu tahu apa isi buku itu, perjalanan panjang janin dalam kandungan Btari.

Pada akhirnya, Alaska hanya bisa bertanya langsung, "Jadi ... ibu dan bayi sehat kan, Mbak?"

"Sehat," jawab Btari. Alaska melirik ternyata wanita itu sedang mengangguk seraya menatap luar jendela. "Terkadang saya iri banget lihat ibu-ibu lain yang datang periksa sama pasangan atau paling tidak orang tua mereka. Jujur, saya nggak pernah bayangin hamil seorang diri. Bahkan harus bertanggung jawab untuk kehidupan saya dan anak saya ke depannya. Rasanya ... lelah."

Tangan Alaska tahu-tahu saja bergerak meraih tangan Btari untuk digenggam. Sambil membagi fokusnya dengan jalanan dan Btari, pria itu berkata, "Saya tahu kamu lelah, Mbak, tapi kamu hebat sudah melalui beberapa bulan ini dengan luar biasa. Tapi, saya harap kamu nggak pernah merasa sendirian lagi ya, Mbak. Sekalipun saya ... tetangga kamu, saya juga rekan kerja kamu, jadi saya akan berusaha menemani kamu."

Btari menoleh. Walaupun separuh wajahnya tertutup masker, tapi Alaska tahu wanita itu tengah tersenyum padanya. "Terima kasih."

Setelahnya Btari menarik tangan. Wanita itu berdehem. "Kamu mau makan siang apa? Karena saya ngikut kamu."

"Loh ... saya yang harusnya ikut kamu." Alaska mendengkus geli. "Mbak, saya kan bisa makan apa aja, tapi kamu lagi hamil jadi kamu pasti punya keinginan makan apa atau punya kondisi khusus masalah makanan. Jadi, saya ikut kamu."

Tidak ada bantahan karena Btari langsung manggut-manggut. Wanita itu termenung sesaat, sebelum akhirnya berkata, "Kayaknya ... ayam cepat saji enak. Saya pengen itu. Cuma kalau kamu mau yang lain nggak apa-apa, Pak."

"Oke. Di depan kita drive thru ayam cepat saji ya. Kebetulan sudah lama nggak makan itu, jadi saya mau."

Keduanya tak lagi berbicara karena restoran cepat saji tahu-tahu saja sudah di depan mata. Ketika Btari menyebutkan pesanannya, maka Alaska akan memesan dua kali lebih banyak. Dan tahu-tahu saja ratusan ribu dihabiskan dalam sekali pesanan untuk dua orang.

"Banyak banget!" ucap Btari takjub ketika Alaska mengambil pesanan mereka.

"Saya bisa habisin semua, Mbak. Tenang."

Begitu semua pesana sudah berada di mobil, Alaska bergegas menjalankan mobil kembali. Pria itu melirik jam tangan. Masih tersisa cukup untuk makan siang di luar. Itulah mengapa Alaska membelokkan mobil menuju sebuah taman yang berada di dekat apartemen.

"Pak, kok malah ke sini sih? Ngapain?" tanya Btari. Ekspresi bingungnya terpasang.

Tahu-tahu saja Alaska membuka kaitan seat belt Btari. Dilepasnya maker seraya berkata, "Kita makan siang di sini. Enak kan ... sambil lihat danau buatan dan angsa-angsa yang main di sana."

"Tapi ... kenapa?"

Alaska menatap Btari lekat-lekat. "Karena sekarang pandemi, Mbak. Makan di tempat sulit, tapi makan di rumah bosan. Kalau kita piknik keluar jam segini pasti panas banget. Jadi, saya kepikiran makan di mobil juga bisa kayak piknik. Udah jangan kebanyakan mikir mending langsung makan."

Dengan cekatan Alaska mengambil dua paket makanan untuk dirinya dan Btari. Dibukanya kompartemen di tengah kursi depan untuk mengambil tisu basah.

"Sini tangannya," ucap Alaska. Tanpa permisi dia meraih tangan Btari untuk diusap dengan tisu basah. "Nah, at least ada tisu basah, jadi nggak kotor-kotor banget."

Kemudian, fokus pria itu pindah ke dirinya sendiri. Barulah dia menyantap makanan.

Saat kepalanya mendongak untuk memperhatikan Btari, seketika Alaska terkejut. Tahu-tahu saja Btari tengah menatapnya lekat-lekat. Ekspresi wanita itu tidak terbaca.

"Mbak." Panggilan Alaska yang pelan itu sukses menyentak Btari. "Kalau kamu lihatin saya kayak gitu, saya bisa benar-benar suka sama kamu."

Mata Btari melebar, sebelum akhirnya membuang muka. Alaska sendiri tersenyum kecut. Sepertinya perjuangannya membuka hati Btari akan sangat panjang.

***

Surabaya, 1 Oktober 2022

Hai hai, seperti biasa kalau ada typo atau kalimat aneh maaf ya belum sempet ngedit hehehe. Terima kasih sudah membaca dan menunggu kisah Btari dan Alaska.

Love,

Desy Miladiana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top