#13 : Distance Between Us
I want to wake up next to you
I want to spend all my life with you and you alone
I want to be the one that you can lean on for the rest of your life
(Chris Andrian Yang - Until Death Do Us Part)
***
Harusnya bukan seperti ini cara Alaska memulai pagi. Tidak ada senyuman, tapi justru banyak melamun. Jantungnya juga berdebar tak keruan. Lingkar bawah mata yang menggelap karena kurang tidur. Dan terakhir adalah ingatan semalam berputar tanpa henti selayaknya kaset rusak di kepala.
"Pak Alaska udah lapar, kan? Kita mulai makan malam sekarang aja ya. Udah lama dan saya udah lelah banget. Terus ini ... nanti biar saya semua yang beresin. Anggap aja servis spesial karena saya berulang tahun."
Itu adalah kata-kata terpanjang paling akhir yang Btari ucapkan setelah ucapan tak terduga Alaska sehabis adegan tiup lilin. Otaknya padahal sudah melarang untuk tidak boleh meluncurkan kalimat bodoh. Namun kemarin malam, perpaduan cantiknya Btari, kerapuhan di balik sikap tangguh wanita itu sukses mengacaukan pertahanan Alaska.
Sesaat pria itu menghela napas dalam-dalam. Setelahnya dia kembali fokus untuk bekerja. Tidak lupa melatih senyum di cermin dekat pintu. Pikiran Alaska mungkin kacau, tapi dia tidak boleh menampakkannya.
Ketika pintu dibuka, Alaska seketika mengernyit kening. "Kok berat," gumamnya.
Mata pria itu memelotot saat mendapati dua buah tas bekal makanan tergantung di gagang pintu unit Alaska. Salah satunya yang berwarna biru tua sangatlah familier, tas makan yang kemarin pria itu bawa ke kantor.
Segera saja Alaska meraihnya. Ternyata sudah ada sticky note yang tertempel di sana. Tulisan tangan Btari yang sudah sering dia lihat dalam berkas-berkas kantor ada di sana.
Ini sarapan dan makan siang, Pak Alaska.
Hari ini saya berangkat lebih dulu.
Btari.
"Sialan!" maki Alaska begitu saja.
Pria itu mengerang putus asa. Dia tidak marah dengan Btari karena bersikap seperti ini, tapi Alaska marah pada dirinya sendiri.
Sebagai seorang istri yang baru ditinggal meninggal suami beberapa bulan, pasti tidak mudah bagi Btari untuk membuka hati untuk orang baru. Alaska harusnya tetap di sana, menahan diri agar tidak bertidak kejauhan lebih dulu. Namun mulutnya memang jarang bisa diajak kerja sama.
Jantung Alaska semakin berdebar dengan gila. Perasaan pria itu tidak tenang. Dia takut apa yang sudah dia milikinya dengan Btari kacau berkat satu kalimat bodohnya semalam.
***
Seperti orang kesetan, perjalanan 15 menit ditempuh hanya kurang dari sepuluh menit. Dengan kedua tangannya penuh menenteng dua tas makanan dan tas kerja. Langkah Alaska juga tergesa menuju lantai empat, ruangannya.
Biasanya Alaska dan Btari baru sampai kantor nyaris mendekati pukul delapan. Namun pagi ini, jam tangan masih menunjuk pukul tujuh lebih, tapi pria itu sudah dalam lift kantor. Kakinya terus mengetuk lantai lift dengan tidak sabaran. Rasanya cukup menyiksa.
Begitu dentingan lift terdengar, Alaska langsung berlari menuju area ruangannya. Dan ketika menemukan Btari sudah duduk di balik meja kerjanya, Alaska langsung bernapas lega. Dengan langkah tegap, pria itu mendekat.
"Mbak," sapa Alaska sampai menaruh dua tas makan di meja Btari. Agak ngos-ngosan, dia berbicara. "Kamu kenapa berangkat duluan sih? Seingat saya kamu nggak ada pekerjaan urgent yang harus dikerjakan pagi ini."
Btari mendongak. Sorot mata wanita itu tampak berbeda, sisanya Alaska tidak bisa menebak karena ekspresi Btari tertutup sempurna oleh maskernya. "Maaf, Pak. Tapi ini pekerjaan saya, jadi saya tahu benar mana yang sudah dan belum saya kerjakan serta mana yang buru-buru dikumpulin dan tidak."
Alaska mendesah napas panjang, lalu mengangguk. "Saya paham, tapi pas mbak bilang berangkat sendiri saya jadi khawatir. Gimanapun saya merasa sangat bertanggung jawab dengan keselamatan Mbak Btari. Biasanya kita sarapan dan berangkat kerja bersama, kalau ada satu hari saya melewatkan itu dan ternyata hari itu sesuatu yang tidak terduga terjadi ke Mbak Btari, saya bisa gila."
"Saya baik-baik aja, Pak."
"Saya tahu dan saya bersyukur karena itu," balas Alaska.
Keheningan kembali menguasai mereka. Btari yang lebih dulu membuang muka lebih dulu, kemudian fokus dengan komputernya dan mengetik sesuatu entah apa.
"Kamu udah makan, Mbak?" tanya Alaska. Pria itu mencoba untuk membuat Btari berbicara.
"Udah."
"Kamu tadi naik apa ke kantor, Mbak?"
"Ojol."
Mata Alaska memelotot. "Mbak, harusnya kamu naik mobil bareng saya. Kamu itu lagi hamil, jadi harusnya dikurangi naik motornya. Apalagi kamu kan kenal sama ojek onlinenya. Gimana kalau dia nyetirnya ugal-ugalan atau paling parah bawa virus?"
Btari hanya mengangguk. "Iya, Pak."
"Kamu jangan iya iya aja, Mbak. Besok-besok nggak usah pake gaya-gayangan berangkat kerja duluan. Kalau kamu butuh berangkat pagi, saya bisa skip sarapan dan saya nggak masalah kita langsung di kantor."
Lagi dan lagi Btari hanya menjawab, "Iya, Pak."
Rasanya Alaska sudah siap meledak. Sosok Btari yang dingin di awal pertemuan mereka kembali hadir dan itu cukup menyebalkan..
"Mbak—"
"Pak Alaska, Bu Btari, kok udah datang?"
Hingga suara lain yang terdengar sukses menghentikan protesan Alaska di ujung bibir. Pria itu berbalik. Tahu-tahu saja Anya berdiri di depannya. Tangannya mengulurkan gelas kertas.
"Kemarin saya lihat cokelat panas yang saya belikan nggak diminum, jadi saya asumsikan kalau Pak Alaska nggak suka cokelat. Jadi, saya bawakan Americano atau kalau Bapak nggak suka pahit saya ada Cappucino yang belum saya minum."
Alaska mendesah napas panjang. Pria itu meraih Americano yang disodorkan Anya. "Kopi pahit. Oke. Terima kasih, Anya. Tapi lain kali kamu nggak perlu repot-repot bawain karena biasanya saya sudah minum kopi di rumah."
Setelahnya Alaska memilih masuk ruangannya. Agak keras pria itu menutup pintu ruangannya. Dia kesal, tapi tidak mungkin marah-marah di depan Anya dan mungkin anak kantornya.
***
Bukannya rapat, Alaska malah asyik menatap lekat-lekat Btari. Wanita itu tengah diskusi penting dengan Fathir dalam ruangan Alaska. Padahal jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi tidak ada tanda-tanda obrolan berhenti.
Sepanjang hari ini, Alaska terus-menerus mencoba berbicara dengan Btari. Namun, wanita itu seperti punya banyak alasan untuk menghindarinya. Entah ke kamar mandi, ada urusan di pantri, dan lain sebagainya. Btari juga menyuruh Anya yang menemani Alaska rapat sepanjang hari ini. Sayangnya untuk rapat bersama Fathir, wanita itu tidak bisa menghindar.
"Pak Alaska, semuanya baik-baik aja?" Seketika Alaska tersentak mendengar suara Fathir. Kepala cabangnya itu menatapnya lekat dengan kening berkerut. "Anda dari tadi diam dan melihat kami tanpa merespons."
Alaska meringis di balik maskernya. Pria itu menegakkan duduknya sambil mencari alasan untuk diucapkan. "Saya baik-baik aja, Pak. Hanya memilih untuk diam dan mendengarkan."
"Kalau gitu saya mau tanya, kenapa budget perusahaan bulan ini naik cukup banyak dari bulan lalu?" Fathir mendorong proposal di meja dekatnya menuju meja di depan Alaska. "Selain Anya, perusahaan kita nggak lagi merekrut pegawai baru. Justru kita malah kehilangan pegawai berkat covid yang semakin hari semakin banyak yang terinfeksi."
Btari sudah siap menjawab, tapi Alaska menggeleng. Pria itu memberi isyarat untuk membiarkan Alaska menjawan pertanyaan Fathir.
"Karena semakin hari semakin banyak yang terinfeksi. Setiap bulan kita selalu mengantisipasi karyawan untuk melakukan swab test, tapi kita semua tahu test itu tidaklah akurat hasilnya. Kemudian, beberapa orang yang sakit kami paksa untuk melakukan tes PCR yang lebih akurat, tapi itu butuh biaya besar karena sekali tes bisa jutaan. Jadi, saya dan Bu Btari mencoba untuk bernego dengan memberikan subsidi untuk melakukan tes itu. Kemudian, untuk penambahan alat-alat yang menunjang protokol kesehatan. Terakhir tentu karena peningkatan harga tes swab yang butuh kita terus lakukan setiap sebulan sekali, Pak Fathir."
Fathir manggut-manggut. "Tapi budget sebanyak ini apakah aman, Pak Alaska? Saya nggak mau kita royal, tapi kesehatan keuangan terganggu. Dan terpenting, cadangan kas kita nggak boleh kosong."
"Semua sudah kami perhitungkan, Pak." Alaska mengetuk permukaan proposal. "Saya nggak akan ajukan budget ini kalau saya sendiri nggak memperhitungkan semuanya seperti pembayaran hutang perusahaan, investasi, dan tentu dana kas kita. Jadi, saya rasa budget ini masih dibilang masuk akal."
"Oke." Fathir mengangguk. "Saya akan ajukan ke pusat kalau begitu. Kalau pusat oke, dana bisa langsung turun."
Setelahnya rapat pun berakhir dan Fathir langsung beranjak dari ruangan Alaska. Ketika menyadari Btari juga berniat melakukan hal yang sama, Alaska langsung mencekal lengan wanita itu.
"Mbak, bisa nggak sih kita bicara?"
"Pak, tolong lepasin tangan saya," ucap Btari lirih, tapi tegas. Mata wanita itu tampak menyala dengan ekspresi geram. "Ini udah lewat jam pulang kerja, jadi saya mau pulang. Karena saya masih harus masak makan malam untuk seseorang, sebelum saya bisa istirahat."
Alaska mengangguk. "Tunggu saya, kita pulang bareng."
"Nggak usah, Pak!" Btari menyentak pegangan tangan Alaska. "Saya lagi ingin naik ojek online dan saya yakin aman. Selamat sore."
Kali ini Alaska kembali kesal. Pria itu ikut berdiri dan sekali lagi mencekal lengan Btari. "Mbak, kamu tahu nggak sih cara kamu menghindari saya ini terlalu kentara?"
Btari menoleh. Dia mengangguk. "Saya memang sengaja terlihat seperti itu karena saya nggak mau kasih harapan pada siapa pun terutama bapak. Hubungan kita profesional. Titik."
"Semalam saya salah ngomong ya, Mbak? Karena saya bilang kalau saya mau temenin kamu ulang tahun setiap tahunnya?" tanya Alaska yang dibalas anggukan kepala Btari. "Kamu tahu kan Mbak, nemenin kamu ulang tahun setiap tahun itu punya makna ganda. Saya bisa temenin kamu dalam bentuk hubungan apa aja, teman sekantor, atasan dan bawahan, tetangga, dan mungkin pasangan."
"Oke." Btari menarik napas dalam. "Dan hubungan apa yang Pak Alaska inginkan saat itu?"
Alaska terdiam. Jawaban sudah ada di ujung mulutnya. Ada keraguan yang menyelimutinya. Namun, pria itu sadar, dia tidak mau merumitkan masalah dengan tetap diam atau berpura-pura semuanya normal. Lagian sudah telanjur terucap, maka dia teruskan saja.
"Saya mau temenin Mbak Btari sebagai pasangan kamu."
"Pak!" Btari memelotot. "Tolonglah, Pak, jangan bikin rumit keadaan. Perasaan apa pun yang kamu rasakan ke saya lupakan aja, Pak, karena saya nggak mau itu ikut campur dan membuat rumit kehidupan profesional kita. Saya ... belum bisa membuka hati saya dan mungkin nggak akan pernah bisa."
Sekali lagi Btari mencoba menyentak tangannya dari cekalan Alaska. Tapi pria itu mentetatkan pegangannya. "Saya nggak maksa kamu buka hati sekarang, Mbak. Tapi saya hanya minta kamu buat membiarkan saya berada di sekitar kamu, jadi teman kamu. Untuk saat ini itu cukup bagi saya."
"Nggak ada yang namanya cukup jadi teman kalau salah satu berharap lebih, Pak Alaska." Wajah Btari mulai memerah. "Pak Alaska, kita profesional aja ya. Makan malam kamu nanti saya antar ke rumah, jadi kamu nggak perlu datang. Tolong lepaskan pegangan kamu karena tangan saya udah merah. Sakit!"
Kata sakit yang Btari ucapkan sukses membuat Alaska melepaskan pegangannya. Pria itu terdiam di tempat, membiarkan Btari pergi begitu saja.
Dan saat Alaska ditinggal sendirian, pria itu langsung kembali terduduk. Dulu saat bersama Nisaka, pria itu menyerah karena Nisaka lebih memilih menikahi mantan suaminya. Sekarang Btari tidak mungkin melakukan hal yang sama dengan Nisaka, jadi Alaska tidak akan menyerah membuka sedikit demi sedikit hati Btari yang sudah tertutup rapat.
***
Surabaya, 11 September 2022
Hai hai, saya nggak sempet ngedit, jadi kalau ada typo atau salah input nama tolong colek saya ya biar saya benerin hehe. Terima kasih juga untuk kamu karena sudah baca kisah ini sampai BAB ini, semoga nggak bosen ya ges!
Kira-kira rencana ajaib apalagi yang Alaska lakukan demi menarik perhatian Mbak Btari-nya?
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top