#10 : Babysitter
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
(Coldplay - Fix You)
***
Baru saja akan menyuapkan nasi sotonya, tiba-tiba ponsel Btari bergetar. Dengan cepat dia memasukan sendoknya ke mulut, kemudian baru meraih ponsel yang berada di saku blazer warna magentanya. Seketika wanita itu mengerutkan alis saat menemukan panggilan dari nomor asing.
Bukannya langsung menjawab, Btari memilih untuk menaruh ponsel. Dibiarkannya benda itu terus berdering hingga panggilannya mati. Jika nomor itu menelepon lagi, maka baru akan dia angkat karena artinya panggilan ini penting bukannya penipuan atau orang iseng.
Jadi, saat nomor asing itu menelepon untuk kedua kalinya, Btari mau tak mau mengangkatnya. Begitu selesai meminum air mineral terdekat, telepon pun dia jawab.
"Halo," sapa Btari. Matanya jelalatan memperhatikan kafetaria kantornya yang cukup sepi siang ini.
"Benar ini nomor Btari Parmadita?"
Suara wanita di ujung sana kembali membuat Btari mengerutkan kening. Sambil mengangguk, dia menjawab, "Benar. Ini siapa?"
"Hai, Btari, perkenalkan saya Aileen Maheswari."
Sesaat Btari termenung. Dia mencoba mencerna nama yang tidak asing di kepalanya. Hingga sosok penyanyi terkenal yang sekarang adalah istri CEO perusahaannya, Facayu, muncul di kepala membuat Btari tanpa sadar memekik.
"Maaf, maaf," ucap Btari pada Aileen karena teriakannya, sekaligus kepada beberapa pasang mata yang menoleh kepadanya.
Dengan suara lebih rendah, Btari kembali bersuara, "Ini ... Aileen Maheswari penyanyi itu? Indonesian Sweetheart? Istri Pak Arsan, CEO Facayu?"
Terdengar kekehan di ujung sana. "Kayaknya gelar Indonesian Sweetheart udah nggak cocok lagi buat saya, Btari. Umur saya udah 30 tahun ke atas dan punya dua anak. Panggil aja sebagaimana kamu panggil istri Arsan."
"I ... iya, Bu Aileen." Btari agak tergagap. Bagaimanapun Aileen selain dihormati sebagai istri bosnya, tapi wanita yang pernah menyandang gelar Indonesia Sweetheart adalah penyanyi idola Btari. "Ada yang bisa saya bantu, Bu Aileen?"
"Iya, saya butuh bantuan kamu, Btari." Aileen terkekeh di ujung sana. "Hanya saja sebelum itu saya mau kasih tahu kalau saya menelepon bukan sebagai istri Arsan, tapi kakaknya Alaska. Kamu kan yang ditunjuk sebagai pembimbing Alaska, Btari?"
Sekali lagi Btari menganggukan kepala lambat-lambat. Namun, sadar Aileen tidak melihatnya, dia segera menjawab, "Betul, Bu Aileen, saya ditunjuk sebagai pembimbing Pak Alaska."
"Gimana kinerja adik saya selama di kantor? Saya nggak bisa tanya ke Arsan ataupun Alaska karena mereka selalu kasih jawaban yang bikin saya tenang. Padahal saya tahu pasti nggak mudah ya bimbing Alaska, bagaimanapun adik saya itu belum punya pengalaman yang cukup untuk jadi seorang manajer keuangan."
Ucapan Aileen yang lembut dan penuh perhatian untuk Alaska menciptakan senyum di bibir Btari. Tidak menyangka bahwa idolanya ternyata sangat memedulikan adik prianya satu-satunya. Bahkan sampai rela menelepon dirinya yang hanya butiran jasjus di tengah makan siang.
Sesaat Btari termenung. Dia mencoba untuk mengingat bagaimana pekerjaan Alaska beberapa minggu terakhir.
"Kalau udah ditelepon langsung begini saya rasa, Bu Aileen, pasti ingin mendengarkan langsung jawaban jujur dari saya, kan?" tanya Btari yang dibalas iya cepat dari Aileen. Wanita itu menerangkan, "Sejujurnya Pak Alaska sudah cukup siap untuk dilepaskan sendirian menjadi manajer keuangan. Beliau cukup cepat memahami penjelasan-penjelasan saya. Nggak pernah mengeluh juga kalau saya kasih beban tugas sekalipun posisinya saya bawahan Pak Alaska. Hanya saja memang beberapa hal harus saya pantau lagi karena untuk memastikan bahwa semua benar-benar tidak ada cacar."
Terdengar helaan napas di ujung sana. "Syukurlah. Saya senang mendengarnya, Btari."
Hening sesaat, sebelum akhirnya Aileen kembali bersuara, "Saya juga butuh bantuan kamu lagi, Btari. Bisa?"
Sekali lagi alis Btari berkerut. Perasaan wanita itu mendadak tidak tenang. Jantungnya berdebar menanti apa yang Aileen maksud. "Kalau saya boleh tau bantuan apa ya, Bu?"
"Kamu kan pembimbing Alaska sekaligus tetangga dia kan, Btari?" Btari mengiakan pertanyaan Aileen. "Bisa nggak kamu bantuin saya untuk urus makan Alaska tiga kali sehari? Saya cukup nggak tenang pandemi ini kalau biarin dia makan seenaknya, jadi saya mau minta tolong kamu buat masakin Alaska juga. Saya juga sudah hitung-hitung semuanya, sepuluh juta per bulan untuk tenanga kamu. Sementara belanja bahan makanan ditanggung Alaska. Bagaimana?"
"Sepulu juta ...." Btari mengulang kata-kata itu. Sebuah nominal uang akan selalu terdengar lebih dulu di telinga daripada sisanya.
"Iya, Btari. Kamu ... bersedia, kan? Sebenarnya kalau kamu merasa kurang boleh kok bilang. Saya selalu berusaha kasih yang terbaik untuk Alaska, jadi berapapun saya pasti usahakan untuk adik saya."
Btari menelan ludah banyak-banyak. Jika dia bisa menjadi tukang masak Alaska selama beberapa bulan sebelum dia lahiran, itu biaya yang sangat cukup untuk pasca lahirannya.
Hanya saja mulutnya dengan sialan berkata, "Boleh nggak saya pikir-pikir dulu, Bu Aileen?"
"Tentu saja. Kamu bisa telepon saya di nomor ini, Btari. Saya tunggu kabar baiknya."
Begitu panggilan Aileen ditutup, Btari masih mematung di tempat. Kepalanya mencoba memikirkan untung rugi menjadi tukang masak Alaska dengan gaji fantastis itu.
Seketika Btari tersentak. Aileen tidak mungkin tahu-tahu menelepon di saat dia sedang butuh-butuhnya uang tambahan ini kalau Alaska tidak memberitahu. Dan kenapa bosnya itu sampai melakukan hal seperti ini padanya?
***
"Pak Alaska," panggil Btari begitu mereka keluar lift, lalu memasuki lorong menuju unit mereka.
Alaska yang tampak cuek hanya membalas dengan gumaman pelan. Pria itu bersikap seolah tidak ada yang salah.
Berbeda dengan Btari, wanita itu penasaran luar biasa dengan sikap atasannya itu. Dia ingin tahu alasan di balik Alaska melakukan ini semua.
Sayangnya, karena posisi mereka bekerja dan cukup sibuk sepanjang siang hingga sore membuat Btari menahan diri untuk bertanya. Bahkan saat di mobil, wanita itu seperti cukup kelelahan hingga lupa bertanya. Dan sekarang, sebelum mereka pulang ke unit masing-masing adalah waktu yang sempurna untuk Btari mendapatkan jawaban dari banyaknya pertanyaan dalam kepalanya.
"Pak Alaska!" panggil Btari sekali lagi. Dengan gemas wanita itu menarik lengan Alaska sebelum pria itu menyentuh pintu unitnya.
Alaska menoleh. Keningnya berkerut. "Kenapa, Mbak?"
"Pak Alaska cerita masalah saya ke Bu Aileen, ya? Sampai-sampai Bu Aileen telepon saya. Kamu mau bantuin saya lewat tangan Bu Aileen, Pak?" todong Btari. Dia sudah terlalu lelah hanya untuk berbasa-basi.
"Bu Aileen ...." Alaska malah menggumamkan nama kakaknya. "Ini yang kamu bicarakan Aileen kakak saya?"
Btari mengangguk cepat. "Iya, siapa lagi Aileen yang harus saya bahas ke kamu kalau bukan Bu Aileen, istri Pak Arsan, CEO Facayu."
"Ah ...." Alaska manggut-manggut. "Saya nggak cerita masalah kamu ke kakak saya, Mbak. Kenapa dia telepon kamu?"
Btari mulai kesal. Sikap Alaska yang seolah tidak tahu apa-apa cukup menggemaskan. Jika memang pria itu berniat membantu dengan perantara kakaknya, bilang saja. Setidaknya agar Btari tahu maksud terselubung apa yang Alaska lakukan.
Sabar, sabar! Btari mendesah napas panjang. Kemudian, dia mulai memberitahukan isi obrolan tadi pelan-pelan. "Tiba-tiba aja Bu Aileen suruh saya untuk masakin kamu tiga kali sehari, Pak Alaska. Saya rasa nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api. Semalam saya curhat masalah butuh babysitter untuk anak saya setelah lahir dan siang ini mendadak saya disuruh jadi babysitter kamu. Jadi, saya asumsikan kalau ini ulah Pak Alaska."
Alaska mendesah napas panjang. Kemudian menggeleng. "Saya nggak cerita masalah kamu ke kakak saya, Mbak Btari. Semalam saat saya telepon kakak saya, well, saya memang minta kakak saya untuk kirim orang yang mau bikinin saya makanan tiga kali sehari karena saya males ribet aja. Terus nama kamu pop up di kepala karena kebetulan kamu tetangga sekaligus rekan kerja saya. Nggak tahunya kakak saya beneran telepon kamu."
"Jadi, kamu bener-bener bantuin saya secara nggak langsung, Pak?" tanya Btari sekali lagi. "Apa untungnya bantuin saya, Pak?"
"Bisa dibilang iya saya bantuin kamu, bisa dibilang enggak juga, Mbak." Alaska terkekeh. "Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya butuh orang yang mau masakin saya kalau bisa sekalian bangunin saya deh karena kadang suara alarm nggak kedengaran. Jadi, sebenarnya saya menolong diri sendiri, Mbak Btari."
"Bapak tahu kan kalau saya hamil?"
Alaska mengangguk. "Dan saya rasa masak lebih banyak masih bisa mbak tangani daripada harus cari pekerjaan lain yang mungkin beban kerjanya lebih gila daripada memasak. Anggap aja ini rejeki tambahan sebelum kamu lahiran. Tapi, kalau kamu nggak mau juga saya nggak bisa maksa, Mbak. Semua ada di tanganmu."
Kata demi kata Alaska coba Btari cerna. Alasan pria itu juga cukup masuk akal dalam kepalanya, intinya adalah keuntungan dua pihak.
"Jadi, gimana, Mbak Btari? Bersedia jadi babysitter saya?"
Tiba-tiba saja Alaska mengulurkan tangan. Sesaat Btari menatap tangan itu lekat-lekat, lalu menatap pria di hadapannya. Cukup lama hingga membuat Alaska kembali memanggilnya.
"Baiklah," jawab Btari seraya membalas jabat tangan Alaska. "Saya bersedia jadi babysitter anda, Pak Alaska. Mulai besok hingga saya akan melahirkan. Bagimana?"
"Setuju!"
Keduanya terkekeh bersamaan. Dan tangan mereka terus berjabat tangan erat dan lama. Saking lamanya, sampai kedua tangan itu seolah-olah memiliki perekat kuat yang sulit dilepaskan.
***
Surabaya, 1 September 2022
Selamat bulan September. Semoga banyak berita baik di bulan ini ya. Btw, karena weekend ini cukup sibuk, jadi saya nggak janji update di hari minggu ya. Terus ini nggak aku edit, jadi kuharap dimaklumin kalau ada salah-salah kalimat atau typo bertebaran ya!
Terima kasih untuk kamu juga yang sudah baca cerita ini sampai bab ini. Love you to the moon and back yey!
Kira-kira ada yang nyangka nggak sih kalau endingnya Btari malah diminta tolong jadi babysitternya Alaska? haha
Love,
Desy Miladiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top