Shadows of Bliss

"Ku dengar punggungmu sakit kemarin," sahut Irene.

"Sudah aku bilang, kita seharusnya memanggil ambulan saja. Bagaimana jika tulangmu ikut patah karena membawaku seperti ini?" lanjutnya.

Pak Nam melengkungkan senyumnya mendengarkan Irene yang sedari tadi terus mengoceh dibelakangnya sepanjang jalan.

"Tidak ada yang patah, jangan khawatir. Punggungku juga bahkan masih kuat jika harus sambil berlari," jawabnya.

"Tetap saja,"

Irene berdecak sebal, ia juga khawatir karena bagaimana pun pak Nam sudah cukup tua dan dirinya juga bukan anak kecil lagi seperti dulu.

Sejenak terdiam, Irene menyandarkan kepalanya sambil menatap kakinya yang tergantung, kemudian kembali bersuara,

"Lalu bagaimana dengan kakiku? Menurutmu apa masih bisa dipakai?" tanya Irene sambil mengayun-ayunkan kakinya.

"Bagaimana jika aku harus menggunakan kursi roda setelah ini?" tanya nya lagi dengan cemas.

"Bukankah itu berlebihan? Kamu hanya terjatuh dan tertimpa oleh seorang gadis kecil, kurasa tidak akan separah itu," sahut pak Nam.

Tertimpa oleh seorang anak kecil itu bukanlah hal yang besar, namun gadis ini tetap menganggap dirinya baru saja mengalami kecelakaan tragis.

"Berlebihan apanya? Sakit sekali tahu." tukas Irene.

"Sekarang pasti sakit sekali, tapi akan sembuh nanti." jawab pak Nam tenang.

"Nanti? Nanti aku pasti sudah lupa caranya berjalan."

Pak Nam kembali menghela nafasnya, lelah menanggapi gadis ini, "Bibi Choi akan mengajarimu lagi nanti."

"Dia mungkin akan menyeret ku lagi." decak sebal Irene sebelum mulutnya benar benar berhenti bicara.

Karena sesaat setelah itu, keduanya tiba dan mulai memasuki halaman rumah.

"Nyonya Bae sedang berkunjung rupanya," sahut pak Nam menyadari adanya sebuah mobil yang tampak tak asing terparkir di sana.

Irene mengangkat kepalanya dengan raut wajah yang langsung berubah, "Kenapa dia datang ke rumahku?" cibirnya tak suka.

Irene kesal karena neneknya seringkali datang mengunjungi rumahnya. Bukan tanpa alasan ia tidak menyukai wanita paruh baya yang bisa dikatakan sudah cukup tua itu, Irene tak suka karena dia sangat menyebalkan.

"Turunkan aku di sini saja," sahut Irene pada Pak Nam saat mereka sudah hampir sampai di depan pintu utama.

"A-"

"Hati hati," pak Nam segera menahannya saat Irene hampir saja terjatuh karena kakinya yang tidak seimbang.

Irene berpegangan pada pak Nam menggunakan satu tangan, gadis itu berkali-kali berdecak sebal sambil merapikan pakaiannya yang cukup kotor karena terjatuh di taman tadi. Rasa kesalnya jadi berlipat-lipat karena sekarang dia harus bertemu dengan orang yang tidak ia sukai dengan penampilannya yang seperti ini. Irene menghela nafasnya kesal sebelum memutuskan untuk masuk.

Semua mata tertuju ke arahnya begitu pak Nam membuka pintu utama sambil menuntunnya yang kesulitan berjalan. Irene memalingkan wajahnya dari semua orang yang ada terutama dari sang ayah dan wanita tua yang sedang duduk disana dan menatapnya sekarang.

"Irene?" sang ayah cukup terkejut melihat keadaan putrinya.

Pakaian gadis itu sedikit kotor dengan beberapa luka di bagian lengan dan kakinya. Gadis itu juga terlihat sedikit kesakitan.

"Ada apa denganmu?"

Berbeda dari sang ayah yang mengkhawatirkannya, sang nenek hanya menatapnya heran tanpa sedikitpun rasa khawatir. Dan Irene hanya diam enggan menjawab. Gadis itu hanya meliriknya secara tajam melalui sudut matanya.

"Aku mau ke kamarku sekarang," sahut Irene pada pak Nam dan dibalas oleh anggukkan.

"Irene terjatuh saat berada ditaman," ucap Pak Nam singkat. "Sekarang lukanya harus segera diobati."

Setelah itu Pak Nam menatap kearah bibi Choi yang berdiri tak jauh dari mereka dan mengisyaratkan agar dia segera membawa Irene karena mereka pun tahu gadis itu tidak nyaman karena keberadaan sang nenek disini. Dan nampaknya juga tidak ada sedikitpun kekhawatiran dari wanita tua itu terhadap cucunya sendiri.

Irene pergi berlalu begitu saja melewati mereka dengan kakinya yang kesulitan berjalan bersama bibi Choi yang menuntun tangannya.

"Lihatlah sikapnya begitu angkuh. Dia persis seperti ibunya."

Irene menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan sang nenek, "Diam lah, bahkan nenek tidak mengenalnya," tukas Irene tanpa membalikan tubuhnya.

"Tenanglah," bisik bibi Choi.

Ia khawatir karena kedua orang ini tidak akan berhenti jika sudah berdebat.

Nenek Irene mengerutkan keningnya tak menyangka bahwa Irene akan menjawab perkataannya,

"Bukankah tidak pantas berbicara seperti itu padaku? Kamu seharusnya menghormati orang yang lebih tua," sahutnya marah.

"Sifat ini pasti turun dari ibunya." gumamnya.

Irene memutar lehernya dan menatapnya tanpa ragu, "Berhentilah menyebut ibuku dan sadarlah bahwa nenek yang tidak pantas untuk dihormati. Pergilah dari sini sekarang juga, aku sudah muak melihatmu."

"Irene," peringat sang ayah.

Tidak ada bentakan atau penegasan ketika sang ayah memperingatinya, pria itu bahkan hanya memanggil namanya dengan nada rendah. Dia tidak mungkin membentak putri semata wayangnya.

Irene menatap ayahnya kemudian melirik wanita itu, "Kenapa? Bukankah begitu cara dia mengusir ibuku dulu? Kurasa bahkan lebih buruk."

Setelah itu tidak ada lagi yang bersuara. Irene melepas pandangannya lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka bersama pak Nam dan bibi Choi.

Bibi Choi terus menggenggam erat tangan Irene sambil memapahnya dan pak Nam berjalan mengikuti mereka dibelakang. Pak Nam mengantar mereka sampai ke depan kamar untuk memastikan bibi Choi tidak kesulitan saat membawa Irene ke kamarnya dan Irene juga baik baik saja.

Sesampainya disana, raut wajah Irene berubah menjadi datar namun tidak seperti biasanya. Tatapan kosong matanya membuat pak Nam dan bibi Choi merasa sedih saat melihatnya. Mereka tahu, meski gadis ini penuh dengan emosi, namun Irene selalu merasa sedih ketika itu menyangkut tentang ibunya.

Bibi Choi menghela nafasnya, "Kalau begitu aku akan mengobatinya sekarang." ucapnya lalu merangkul Irene masuk ke dalam.

Pak Nam hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan tempat setelah pintu itu tertutup.

-

Sedari tadi Irene hanya diam saja tak bersuara ketika bibi Choi mengobati lukanya. Padahal biasanya gadis ini tidak pernah berhenti mengoceh dan ribut sekali ketika bersamanya.

"Tadi katanya sakit sekali." ujar bibi Choi berusaha memecah keheningan sambil membersihkan luka pada lengan Irene.

Namun gadis itu masih diam saja tidak menjawab, dan bibi Choi hanya bisa menghela nafasnya sedih.

Pertikaian dibawah tadi membuat pikiran Irene melayang dan kembali mengingat semua kejadian buruk yang menimpanya dimasa lalu.

Tok' tok' tok'

Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian keduanya. Tak lama kemudian papan kayu berwarna putih itu terbuka dan menunjukan seorang pria berdiri diambang sana menatap ke arah mereka.

Irene menatap sang ayah sebentar lalu kembali melepaskan pandangannya ketika pria itu berjalan mendekat kearahnya. Melihat itu, bibi Choi memutuskan untuk menghentikan kegiatannya lalu berdiri dan meninggalkan ruangan setelah membungkuk sopan.

Tuan Bae menghela nafas saat melihat beberapa luka dan lebam pada putrinya. Ia duduk disampingnya kemudian mengulurkan lengan untuk menggenggam tangan mungil milik Irene dan mengusapnya lembut.

"Gwenchana?"

Irene hanya mengangguk kecil menatap lukanya yang sebenarnya terasa sakit dan hampir membuatnya menangis, namun ia lupa akan hal itu karena ada hal lain yang lebih menyakitkan dan membuat dadanya terasa sesak setelah pertikaian kecil tadi.

"Appa minta maaf."

"Kenapa?" Irene menatap sang ayah ketika pria itu mengatakan permintaan maafnya.

"Perkataan nenek tadi pasti menyakiti mu. Appa minta maaf atas itu." sahutnya.

Irene masih menatapnya, "Aku tidak akan menerimanya sampai dia mengatakannya sendiri. Jika tidak, aku tidak akan pernah memaafkannya."

Sang ayah hanya terdiam mendengar perkataan putrinya. Ia tahu Irene mengatakannya karena gadis itu pun tahu sang nenek tidak akan pernah mau melakukannya.

"Lagi pula aku sangat membencinya." sahut Irene

"Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu juga membenci appa?" tanya sang ayah

Tidak menutup kemungkinan putrinya juga ikut membenci dirinya. Hubungan mereka juga tidak begitu baik dan banyak hal lain yang bisa menjadi alasan putrinya untuk membenci dirinya.

Irene hanya meliriknya tanpa mengatakan apapun, jujur saja sampai saat ini ia tidak yakin apakah dirinya membenci sang ayah atau tidak.

Irene menghela nafasnya, "Aku tidak ingin mengatakan apapun. Appa bisa keluar sekarang, aku ingin istirahat."

Meski pria itu sudah siap dan akan menerima fakta jika putrinya juga membencinya, tetapi, ada sesuatu yang menyengat hati ketika ia melihat tanggapan sang putri yang menolak untuk menjawab pertanyaannya.

Pria itu mengangguk, lalu segera beranjak dari duduknya. "Baiklah kalau begitu, beri tahu appa jika kamu membutuhkan sesuatu." sahutnya sebelum melangkahkan kakinya keluar.

-

Saat ini hari sudah gelap, Irene berbaring diatas tempat tidurnya sambil menatap kosong ke arah jendela yang masih terbuka lebar. Angin berhembus menerpa tirai dan berhasil menyapu wajahnya dengan lembut.

Wajah cantik itu hanya tersinari oleh cahaya dari luar sana karena ia sudah mematikan semua lampu yang ada didalam kamarnya.

Ini sudah hampir larut dan dirinya sama sekali tidak mengantuk. Sedari tadi gadis ini hanya melamun dan larut dalam pikirannya sendiri. Ia bahkan sampai melupakan semua rasa sakit pada tubuhnya.

Suara rintikan hujan akhirnya berhasil menyadarkan Irene dari lamunannya. Gadis itu menatap air yang turun semakin deras diluar sana, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk meraih sebuah benda kecil yang tak jauh darinya, benda itu adalah sebuah boneka yang memiliki tombol. Ia menekan tombol itu dan tak lama kemudian dirinya dapat mendengar pintu kamarnya terbuka.

"Ada apa?"

Irene berbalik dan menatap bibi Choi yang sudah berdiri disana. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah jendela.

"Jendela nya terbuka, aku kedinginan tapi aku tidak bisa berjalan untuk menutupnya." sahutnya.

Bibi Choi menghela nafasnya, "Tidak usah beralasan, kamu selalu memintaku untuk melakukannya." ucapnya.

"Lagi pula siapa yang membiarkan jendelanya terbuka saat malam hari?"

"Bukankah ahjumma yang membukanya tadi? Katanya aku butuh udara untuk bernafas?" timpal Irene.

Bibi Choi tak menghiraukannya dan hanya berjalan untuk menutup jendela dan juga tirainya. Gadis itu seperti biasa selalu menimpali semua perkataannya bahkan disaat dirinya sedang merasa sedih seperti sekarang.

Bibi Choi tahu, tapi hanya berpura pura dan ikut bersikap seperti biasanya karena ia sudah cukup sedih melihat Irene yang hanya diam tadi. Dan berpura pura tidak peduli seperti ini adalah satu satunya cara agar Irene mau berbicara padanya. Karena gadis itu tidak akan bicara ketika seseorang mengasihaninya.

"Aku sudah menutupnya, sekarang tidurlah." Bibi Choi menarik selimut tebal yang masih terlipat rapi dan menyelimuti gadis mungil yang berbaring sendirian diatas tempat tidur yang sangat besar itu.

Ia berencana meninggalkan ruangan setalah dirinya menyelimuti gadis yang merepotkan ini, namun tiba tiba saja tangan mungil itu menggenggam tangannya ketika ia hendak pergi.

"Aku tidak bisa tidur, temani aku disini." sahut Irene menatapnya.

Ia tahu permintaan gadis ini tidak pernah bisa ditolak. Jadi bibi Choi hanya mengangguk kemudian duduk ditepi tempat tidur milik Irene.

"Tidurlah, aku disini." sahutnya sambil menggenggam tangannya disaat tangan lainnya merapikan anak anak rambut milik Irene yang sedikit berantakan.

"Tetaplah disini, jangan pergi saat aku sudah tertidur." sahut Irene menggenggam erat tangan bibi Choi tapi wanita itu hanya terus membenahi rambutnya.

Raut wajahnya langsung berubah karena bibi Choi tidak menjawabnya, "Kau selalu saja begitu."

Irene melepaskan genggamannya dan kembali mengacak rambutnya yang sudah dirapikan oleh bibi Choi dengan sengaja karena merasa kesal.

Bibi Choi menghela nafas melihatnya, ia ikut berdecak sebal, "Baiklah, aku akan tetap disini. Cepat tidur, kalau tidak aku akan pergi." tukasnya sembari memposisikan dirinya disamping gadis muda cantik yang menyebalkan itu.

Irene kembali berdecak sebal mendengarnya, namun gadis itu segera berangsur masuk kedalam dekapannya ketika bibi Choi sudah berada disampingnya. "Arraseo!"

Irene benar benar memejamkan matanya sambil memeluk erat bibi Choi agar dia tidak pergi setelah dirinya tertidur. Bibi Choi tersenyum melihatnya, gadis ini menyebalkan tapi juga sangat manis disaat yang bersamaan.

Ia bersyukur Irene tidak berubah sepenuhnya karena ia masih bisa melihat sisi Irene yang sebenarnya. Ia tidak bohong jika Irene adalah seorang anak manis yang memiliki hati yang sangat lembut, karena ia memang begitu sejak kecil.

Bibi Choi mengulurkan tangannya untuk kembali merapikan anak anak rambut yang sengaja Irene acak karena kesal setelah dirinya merapikannya tadi. Ia mengusap pipi nya lembut. Melihat wajah damainya seperti ini, membuat dirinya ikut sedih ketika ada seseorang yang membuat gadis ini terluka.

Bibi Choi tidak peduli seberapa menyebalkan gadis ini ketika merengek dan meminta ini itu padanya selama ia tidak melihat gadis ini bersedih.

-

Ini dari chapter pertama kelihatan ga karakter setiap tokohnya kaya gimana? Tolong kasih tau yaa 🙇🏻‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top