BEFUDDLES || 26

Anyeeoongg

Kalian nungguin nggak?

2.5K komen lagi yaa buat update besok 🫶🏼🥰

***

SHAGA mendongak begitu Aghas menyodorkan amplop putih panjang padanya. Hatinya mendadak cemas, dia memasang raut tanya pada sang anak tetapi Aghas malah mengedikkan dagu sebagai kode agar Shaga membuka amplop tersebut.

Sambil berdecak, Shaga buka amplop tersebut. "Surat dari Sekolah?" gumamnya. Pria itu membuka lipatan surat tersebut, lantas membacanya dengan serius. "Papa di panggil ke sekolah kamu bang?!"

Aghas mengangguk, cowok itu menarik kursi untuk dia duduki. "Hari ini."

"Yes!" Shaga terlihat senang, alih-alih marah seperti orang tua pada umunya. Tidak heran sebenarnya, karena Papa nya ini memang anomali. "Akhirnya Papa di panggil juga ke Sekolah kamu. Kamu bikin ulah apa Ghas? Bolos? Ngerokok di sekolah? Sering terlambat? Apa nggak bayar uang iuran?"

"Aku nonjok orang."

"APA?!"

"Sampai sekarat."

"APAAAA?!!"

"Sekarang orangnya masih di Rumah sakit."

"APAAAAAAAAAAA?!"

Aghas mendengkus. "Bisa nggak reponsnya jangan apa dan apa?"

"HAH?"

Aghas mendelik. Amoun-ampun, Mamanya kok bisa menikah dengan orang begini?

"K-kamu tonjok siapa bang? Ah elah, Papa kan udah sering bilang, kamu jangan sampai berantem di sekolah. Bukannya apa-apa, ya, wajah kamu kan ganteng, aset itu. Kalau kena tonjok nanti gimana? Bisa hilang ke gante—"

"Aku nonjok orang yang bikin Snowy nangis."

"HAH?"

"Cowok itu maksa pengen jadi pacarnya Snowy."

"HAAAHH?!"

"Dia juga bikin tangan Snowy luka."

"HAH?!!!"

"Makanya aku tonjok."

"KENAPA?!"

Aghas berdecak. "Karena dia—"

"KENAPA CUMA TONJOK DOANG?! HARUSNYA KAMU BIKIN COWOK ITU MENINGGOY SEKALIAN!" Aghas melongo melihat perubahan raut Shaga. Yang tadinya senang karena hendak datang ke sekolah, lalu syok saat tahu alasannya, dan kini terlihat marah karena penjelasannya.

"Nggak ada yang boleh bikin Snowy nangis, apalagi luka. Dia juga kesayangan Papa setelah Mama kamu dan Giselle," ucap Shaga marah, pria itu lalu menatap Aghas, jadi bingung karena anaknya menatap tajam. "Apa?"

"Snowy punya aku."

Shaga mengerjap. "Hah?"

"Jangan jadiin Snowy kesayangan Papa, dia punyaku." Aghas memperjelas, tatapannya membidik tajam tak terima.

Shaga menyengir garing. "Ya kan, Papa anggap dia anak Papa sendiri. Wajar kan papa sayang—"

"Ma, Papa sayang cewek lain." Aghas menyela begitu Hazel datang. "Katanya dia punya cewek kesayangan lagi."

Shaga melotot. "Aghas, bener-bener lo yaa."

"Siapa memang cewek kesayangan kamu?" Hazel bertanya dengan alis terangkat.

"Yang, astaga—"

"Mana anak kesayangannya masih SMA," kata Aghas santai, dia bahkan mulai makan sarapannya.

"DIEM KAGAK LO!!" Shaga gerakan tangannya seperti hendak meninju Aghas. "Itu yang, Snowy. Kan, sejak dia tinggal di rumah ini, aku udah anggap dia kayak anak," jelasnya pada Hazel. "Jangan dengerin si onoh, suka ngomong yang nggak-nggak, deh."

"Oh Snowy." Hazel mengangguk-angguk. "Dia juga kesayangan Mama," lanjutnya dengan senyum hangat. Wanita itu lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan menu lain.

"Tuh kan!" Shaga merasa menang, dia menatap Aghas pongah. "Kesayangan Papa juga Snowy tuuuuh."

Aghas mendengkus melihat kelakuan Papanya. "Jadi gimana? Papa bisa, kan, datang ke sekolah?"

"Bisa, sebelum ke kantor Papa ke Sekolah kamu dulu. Bareng aja, pakai mobil," usul Shaga.

"Aku di skors, tiga hari, jadi nggak ke sekolah."

"APA?!" Shaga kaget lagi, pria itu geleng-geleng kepala. "Ya udah nggak apa-apa."

Aghas hanya mengangguk menanggapinya.

"Berarti hari ini nggak sekolah?"

"Nggak."

"Oke, Snowy bisa bareng sama Pap—"

"Aku nggak sekolah ya, bukan berarti aku nggak anter dia," sela Aghas sebal. Nih bapak-bapak satu, ngeselin amat pagi-pagi.

Shaga menyeringai, menatap anaknya dengan binar geli. "Posesif amat bos."

"Harus. Banyak cowok gatel kayak papa soalnya."

Shaga tertawa. "Ente kadang-kadang, suka sekate-kate."

Mendengar suara derap langkah di lantai atas, Aghas sedikit menelengkan kepalanya. Dia lalu menatap Shaga penuh peringatan. "Snowy nggak tahu aku di skors karena nonjok orang, kalau dia tanya aku di skors karena apa, bilang aja ketahuan ngerokok."

"Kok gitu?" Shaga mengangkat alis bingung.

"Bawel. Udah bilang aja gitu."

Meskipun terlihat ogah-ogahan akhirnya Shaga mengangguk. Pria itu tersenyum begitu Snowy dan Giselle memasuki ruang makan. "Morning princess."

"Morning." Giselle menjawab sendirian.

Jadi Shaga menoleh pada Snowy. "Morning princess."

"Morning sugar daddy!" Snowy tersenyum lebar, belum sadar ada mata melotot membidiknya tajam. "Sarapan apa?"

"Sugar daddy?" Shaga membeo dengan mata menggerling jahil. "Jadi om punya panggilan ke sayangan?"

"Mm." Snowy mengangguk sambil menguyah anggur yang baru saja dia masukan ke mulut. "Panggilan sepesial buat Om."

Aghas memutar bola mata saat Shaga meliriknya dengan raut tengil.

"Morning Snowman." Snowy menyapa Aghas. "Belum pakai seragam?" gadis itu heran mendapati Aghas sudah mandi tetapi memakai pakaian rumah.

"Gue nggak sekolah."

"Kenapa?"

"Kena skors."

"Karena?"

Aghas berdeham. "Ketahuan ngerokok."

Snowy melotot. "Lo ngerokok?!"

"Mm." Aghas menjawab tak acuh, dia fokus makan.

"Dari kapan abang ngerokok?" Giselle keheranan.

"Dari barusan, sih, ngedadak." Shaga menanggapi.

"Dari barusan gimana?"

"Udah jangan di bahas." Aghas membalikan piring Snowy yang telungkup, lanjut mengambilkannya nasi goreng yang di taburi irisan daging sapi. "Makan, habisin."

"Suapin, ya? Gue sambil ngerjain tugas." Snowy membuka rusuh ranselnya, mengeluarkan buku latihan dari sana.

Aghas berdecak. "Kebiasaan."

"Hehehe." Snowy mulai mengerjakan tugas, sementara Aghas, walau sambil mengomel, cowok itu tetap menyuapi Snowy dengan telaten.

"Pakai daging Ghas, jangan wortel mulu." Snowy memprotes, menatap piring yang isinya nasi goreng daging sapi dan wortel. Tatapannya lalu berlabuh pada mangkuk kecil berisi sambal. "Itu sambal?"

Aghas mengangguk. "Wanna have a bite?"

"Pedes nggak?"

"Lumayan."

"Nggak ah, takut kalau ngomong jadi pedes kayak lo."

Shaga tertawa mendengar ucapan Snowy, sementara Aghas mendelik.

"Oh iya Om, aku tuh mau nanyain sesuatu."

"Tanya apa?"

"Om punya anak berapa?"

"Dua." Shaga menjawab sambil melirik Giselle juga Aghas. "Kenapa?"

Snowy melirik Aghas, dan perasaan Aghas mulai tidak enak lagi.

Siaga 1

"Kita berangkat?" tawar Aghas. Cowok itu sudah berdiri bersiap menyeret gadis itu.

"Tapi kata Aghas, dia punya adik dua."

"Snowy—"

"Adik dua?" Shaga membeo. Pria itu menatap Aghas dari atas sampai bawah lalu menyeringai penuh arti. "Aaaahh gitu."

"Gitu gimana Om?"

"Kok kamu nanyanya begitu?" Shaga santai saja menanggapi.

"Soalnya kemarin pas di kamar, Ag—"

"Snowy."

"Pas di kamar apa?" Shaga sudah tidak bisa menahan tawa melihat Aghas kelabakan.

"Soalnya pas kemaren kita di kamar, Aghas bilang adeknya bang—"

"SNOWY! KITA BERANGKAT ATAU PUTUS?!" ancam Aghas.

Snowy terlonjak kaget, dia mengerjap lugu. "K-kenapa lo marah-marah?"

"Abang, nggak boleh bentak-bentak." Hazel menatap penuh peringatan.

Aghas melengos, pergi begitu saja meninggalkan dapur sementara Shaga sudah terbahak-bahak.

Snowy buru-buru merapikan buku, memasukannya ke ransel lalu pamit pada Shaga dan Hazel untuk mengejar Aghas.

"Aghas, kenapa lo marah-marah?" Snowy langsung menodongkan pertanyaan pada Aghas yang sedang mengeluarkan motor dari garasi. "Aghas, gue salah apa?" tanyanya khawatir sebab Aghas mengabaikannya.

"Aghas ... ngomong, dong." Gadis itu mendekati Aghas, menarik-narik ujung kaus cowok itu. "Ghas, gue salah ya, ya udah minta maaf."

Aghas menghela napas, menatap Snowy yang ternyata sudah berkaca-kaca. "Lo kenapa mewek?" tanyanya kaget.

"Gue nggak mau putus, baru juga sehari pacaran." Ya kali ngedeketinnya sampai banting harga diri, tapi pacaran cuma sehari.

"Siapa yang mau putus emang?"

"Tadi lo bilang gitu."

"Bohongan itu." Aghas membawa helm Snowy, lalu membantu memakaikannya.

"Terus kenapa lo marah? Apa gara-gara gue nanyain soal adek lo?"

"Mm."

"Kenapa lo marah? Gue, kan, cuma mau kenalan."

"Gue bohongan soal adek yang itu."

"Ih, lo tukang ngibul!" cecar Snowy.

Kepala Aghas pening karena gadis satu ini. "Iya gue tukang ngibul." Biarlah begitu, daripada dia harus menunjukkan adik kecilnya, takut Snowy kabur.

"Udah berhenti nangisnya. Tumbenan banget cengeng." Aghas seka pipi Snowy pelan-pelan. lalu mendongakkan kepala Snowy agar gadis itu menatapnya. Cowok itu terkekeh karena kepala Snowy tenggelam, helm itu ternyata terlalu besar.

Snowy masih cemberut saat dia menengadahkan sebelah tangan pada Aghas. "Minta uang, dong. Bekal aku habis, nggak berani minta Papi takut di suruh pulang. Mau minta Winter sama Summer, mereka pelit."

Aghas mendengkus geli, mengeluarkan dompetnya, dia berikan uang pada Snowy pecahan seratus ribu dua lembar. "Nih."

"Kebanyakan, lima puluh aja."

Aghas malah mengeluarkan uang merah itu satu lagi, menjejalkannya pada Snowy "Nih tiga ratus, sehari lima puluh ribu sampai hari Jum'at. Dua puluh lima ribu bayar uang kas kelas, dua puluh lima ribu lagi simpan buat foto copy atau beli ATK kalau perlu. Jangan di pake apapun, kalau di rumah mau jajan bilang gue."

Snowy nyengir, dia mencium uang itu dengan lebay sebelum kemudian menyimpannya di belakang ponsel yang tertutup softcase.

Aghas terkekeh. "Bilang apa?"

"Makasih, Snowman." Snowy memeluk Aghas.

Gemas, Aghas guncang kepala Snowy yang berhelm. "ESFSYWHDILEJFI GEMES BANGET!"

Snowy tertawa, meronta minta di lepaskan.

Kasihan juga, takut kepalanya copot jadi Aghas lepaskan. "Gue nggak ada di sekolah, lo baik-baik, kalau ada apa-apa telepon gue. Ngerti little lady?"

***

Snowy memasuki area sekolah dan seketika semua tatapan murid tertuju padanya. Dia sudah biasa menjadi pusat perhatian, tetapi kali ini, Snowy sedikit tidak nyaman karena tatapan mereka di sertai bisikan-bisikan.

Mencoba abai dan terus berjalan, Snowy memilih menggunakan jalan selasar kelas. Tetapi sama saja, bisikan-bisikan itu terus terdengar walau samar. Sambil bersedekap tangan dan mengangkat dagu tinggi, Snowy berbalik badan, menatap kumpulan cewek yang langsung menutup mulut kala mata Snowy mengintai tajam.

"Apa yang lagi kalian omongin?" todongnya. "Gue ada di sini, jangan ngomong di belakang!" cecarnya, namun kumpulan cewek itu hanya diam, menundukkan kepala dalam-dalam.

Snowy berdecih sambil memutar badan, hendak melangkah namun kakinya terpaku saat melihat Liona, Sherin, Stasia juga Shara berjalan berbarengan. Keempat cewek itu terlihat sedang berbincang dan sesekali tertawa entah karena apa. Terlihat sangat akrab sekali.

Snowy tersenyum miring, gadis itu berjalan lurus berlawanan arah dengan mereka. Saat sudah berhadapan, dengan segaja gadis itu menerobos ke tengah, menyenggol bahu Sherin juga Stasia sampai kedua gadis itu meringis.

"Ups, sorry." Snowy tersenyum menyebalkan, lalu dengan terang-terangan membersihkan kedua bahunya secara bergantian. "Aaah baju gue, kotor deh senggolan sama penghianat."

"Maksud lo—"

"Yah betul, maksud gue kalian." Snowy menjentikkan jari, menatap Sherin, Stasia dan Sahara. "Peng.hi.a.nat."

Sherin terkekeh jijik. "Kalau ngehianatin temen yang suka godain pacar temennya, mungkin nggak masalah."

"Ckckck, lo masih percaya kalau gue mau rebut Adit? Sorry, tapi gue kesinggung banget. Adit bukan selera gue. Gue udah punya Aghas, ngapain mungut cowok kayak Adit." Snowy tersenyum senang melihat wajah Sherin memerah kesal. "Ah, kalian belum tahu memang? Yang chat Adit itu bukan gue, tapi ... si anak pembantu."

Liona terdiam, menatap Snowy dengan mata polosnya.

"Kalian nggak percaya? Gue punya buktinya." Snowy mengeluarkan ponsel, dia menelepon Winter. "Win, gue di selasar kelas gedung kiri. Lo ke sini, bawa handphone si babu."

Melihat Snowy yang tampak percaya diri, mereka jadi yakin kalau gadis itu mempunyai bukti. Terlebih, melihat Liona yang diam saja, sepertinya tuduhan Snowy memang benar.

Suasana sedikit memanas walau tidak ada percakapan selama beberapa detik, sebelum kemudian Sherin terkekeh lagi. "Gue udah nggak peduli juga, sih, soal orang yang DM Adit," katanya. "Kalaupun Liona orangnya, gue nggak masalah. Justru gue mau berterima kasih, karena dia, gue jadi tahu bahwa Adit bukan cowok yang baik."

Snowy menatap tak percaya, sementara Liona menundukkan kepala, diam-diam tersenyum miring.

"Nggak masalah?" Snowy membeo. "Lo udah tahu Liona orang yang DM Adit, dan lo bilang nggak masalah?"

"Lo budeg? Sherin tadi udah bilang nggak masalah!" sentak Stasia.

"Terus kenapa lo masih marah sama gue?" Walau Snowy terlihat kuat, namun nyatanya hatinya terluka. Dia merasakan sakit ketika melihat posisinya di ganti oleh Liona. "Kenapa kalian jauhin gue, padahal gue nggak salah?"

"Gue udah bilang di UKS. Berteman sama lo tuh sulit, Snow. Lo terlalu cantik, terlalu punya segalanya, gue dan yang lain ngerasa kecil kalau bareng sama lo," ucap Sherin.

"Gue juga takut temenan sama lo." Sahara buka suara. "Mahes kayaknya juga suka sama lo, jadi gue nggak mau ambil risiko. Gue takut Mahes ninggalin gue kayak Adir ninggalin Sherin."

"Tapi itu bukan salah gue." Snowy berujar pelan. "Kalau gue punya kendali, gue nggak akan biarin cowok kalian ngelirik gue."

"Mm, kita tahu, itu bukan salah lo. makanya, kita lebih memilih ngejauh dari lo."

Snowy terkekeh hambar mendengar ucapan Sherin itu. "Gue masih nggak nyangka, ternyata ada manusia macam kalian di dunia ini. Iri sama teman dekat kalian sendiri."

"Macam kita?" Sahara membeo. "Terus lo sendiri gimana? Teman dekat?" kekeh Sahara. "Lo nggak pernah anggap kita sedekat itu, Snow."

"Maksud lo?"

"Lo sembunyiin sesuatu dari kita!" sembur Stasia, gadis itu terlihat kecewa. "Lo nggak cerita kalau lo kecelakaan sama bokapnya Liona yang sekarang koma."

Snowy sontak melirik Liona yang masih diam saja, lalu tatapannya kembali pada ketiga gadis yang dulu menjadi temannya. "Gue belum siap cerita. Bukan nggak mau cerita."

"Lo nggak percaya sama kita," sangkal Sherin. "Lo nggak pernah anggap kita sahabat, makanya lo nggak cerita. Well, nggak apa-apa, kita ngerti kok. Princess kayak lo, mana mungkin anggap kita teman dekat."

"Kalian seenaknya bikin kesimpulan sendiri, tanpa mau nanya alasannya sama gue," ucap Snowy, matanya yang kecewa dan terluka kini tidak bisa di sembunyikan lagi. "Alasan gue nggak cerita kalian itu karena gue takut."

Liona, Sherin, Stasia dan Sahara terdiam, menatap Snowy yang terlihat rapuh dengan mata berkaca-kaca. "Gue takut kalian jauhin gue kayak Reifan dan Summer. Gue takut kalian salahin gue atas kecelakaan itu. Gue takut kalian pergi, gue sayang sama kalian, gue nggak bisa kehilangan salah satu di antara kalian. Itu alasannya."

Liona menahan tawa, sementara Sherin, Stasia dan Sahara tertegun mendengar suara Snowy yang terdengar tulus. "Kenapa lo—"

"Tapi sekarang...." Snowy menyeka air matanya, dia menatap ketiga temannya dengan tatapan asing. "Gue nggak takut lagi kehilangan penghianat seperti kalian. Gue bersyukur, dengan adanya masalah ini, gue jadi tahu, ternyata kalian itu orang jahat."

Sherin tersneyum miring. "Bagus kalau gitu, mulai sekarang anggap kita nggak pernah kenal. Lagian kita juga nggak sudi temanan sama manusia sialan kayak lo."

"Bener. Kita nggak usah temenan sama manusia sial. Sekarang baru bokap Liona yang terluka, kita nggak tahu, siapa lagi ke depannya yang bakal kena sial karena temenan sama dia." Stasia tertawa mengejek, menatap Snowy remeh.

"Oh, ya... karena kita sekarang jadi orang asing, gue rasa nggak akan enak kalau kita masih dalam satu lingkaran," ucap Sahara, dia merogoh saku pinggir ranselnya, mengeluarkan sebuah kunci dari sana. "Ini kunci basecamp anak dance, lo pegang, mulai detik ini gue, Sherin dan Stasia keluar."

Snowy menatap kosong kunci itu, diam-diam mengepalkan tangan kuat sampai kuku jarinya melukai telapak tangan.

"Ngapain kita yang keluar?" Sherin merebut kunnci itu. "Lo aja yang keluar, Snow. Kita nggak butuh lo lagi."

Stasia menyenggol sikut Sherin. "Ih jangan gitu, kasihan dia udah nggak ada teman. Nggak apa-apa, kasihin aja anak dance ke dia. Kasihan tau Rin." Stasia rebut kunci itu dari Sherin lalu mengulurkannya pada Snowy. "Nih, ambil."

Snowy menatap ketiganya geram, hendak mengambil kunci tersebut namun Stasia dengan sengaja menjatuhkannya. "Ups, sorry. Tangan gue kayaknya nggak mau sentuhan sama manusia sialan," ucap Stasia.

"Mmpppt." Liona menahan tawa sementara Sherin dan Sahara sudah terang-terangan terkekeh.

Dengan ujung sepatunya, Sherin mendorong kunci yang tergeletak di bawah. "Tuh, bawa."

Snowy membungkuk, hendak mengambil kunci tersebut namun sesorang lebih dulu mengambilnya dengan cara mencubit kunci itu jijik. "Princess, jangan pernah membungkuk di depan pembantu."

Snowy mendongakkan wajah, tersenyum pada Hazel yang kini membantunya menegakkan badan.

Hazel ambil kunci itu lalu melemparnya pada wajah Sherin membuat gadis itu terkesiap. "Eh sorry, itu wajah ya? Kirain tong sampah. Buriiikk sekali."

Snowy menahan tawa, melirik ke empat orang di depannya yang diam saja.

Hazel merangkul Snowy hangat, menatap tanpa emosi keempat gadis di depannya. "Ini yang tiga orang ini manusia bukan sih?" tanyanya menatap Sherin, Stasia juga Sahara.

"Menurut tante?"

"Kirain tante mereka lalat, soalnya ngerubungin tai," ucap Hazel melirik Liona dengan senyum miring.

Keempatnya diam saja walau sedang di hina, membuat Snowy tertawa.

"Oh iya." Snowy membuka saku ransel yang agak besar di bagian depan. Gadis itu mengeluarkan dua kertas berwarna kuning. "Nih, kartu iuran sekolah kalian," ucapnya pada Sherin juga Stasia. "Karena kita udah nggak temenan, gue nggak mau bayarin kalian lagi."

Hal itu sontak membuat Sherin dan Stasia kaget, karena setahu mereka, biaya sekolah di tanggung beasiswa.

Snowy menatap keduanya dengan rasa bersalah. "Ah gue minta maaf, sebenarnya kalian nggak dapat beasiswa. Itu cuma karangan gue aja. Selama ini Papi gue yang bayarin sekolah kalian. Kalian kan nggak mampu, tapi dulu karena gue sayang kalian, gue diam-diam bantu kalian karena kasian. Tapi sekarang, kayaknya udah nggak perlu, kalian bisa minta tolong aja sama Liona buat bayarin," jelasnya dengan senyum remeh.

Lutut Sherin lemas seketika, begitu juga dengan Stasia. Mereka mendadak ketakutan saat menyadari satu hal, bahwa Snowy bukanlah lawan tanding mereka.

"Ckckck, kamu kok bantuin manusia bodoh buat sekolah, sih," decak Hazel. "Sayang banget uangnya kebuang sia-sia."

"Mm, aku juga nyesel, tan. Nggak nyangka mereka bisa sebodoh itu sampai bisa terhasut sama anak babu. Jauhin temen dekatnya hanya karena omong kosong Liona. " Snowy melirik Liona dengan senyum kemenangan.

Hazel tertawa renyah. "Nggak aneh sih, emang susah meyakinkan lalat bahwa bunga lebih indah daripada, sampah." Wanita itu menekan kata sampah sambil melirik Liona. "Ah salah, bukan sampah, tapi tai."

Snowy dan Hazel tersenyum miring sebelum kemudian keduanya berbalik badan dan berjalan sambil saling merangkul. Meninggalkan Liona, Sherin, Stasia juga Sahara yang harga dirinya di injak habis-habisan.

"Aku pastiin, besok dia bakal dapat pembalasan setimpal karena udah berani hina kalian."

***
SPAM SNOWY DI SINI ☃️

SPAM SNOWMAN DI SINI⛄️

PAPAAAYY 😚

15 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top