BEFUDDLES || 08
Anyeeoonggg
Bab ini nggak di edit, jadi tolong tandai kalau ada typo 😭
Dengan langkah yang tidak buru-buru, Aghas yang masih menggendong Snowy di punggungnya, berjalan melewati selasar sekolah. Jam istirahat belum selesai, jadi kini mereka menjadi pusat perhatian separuh siswa-siswi yang tidak beristirahat di kantin.
Aghas menghela napas, bagus, bagus sekali. Selama bertahun-tahun dia selalu sembunyi dan berusaha tidak terlihat orang lain, kini malah dia sendiri yang menarik perhatian. Dan ini semua karena Snowy.
Omong-omong soal Snowy, gadis ceriwis itu tidak secerewet biasanya. Ketika mereka keluar dari gerbang kantin, saat itu juga Snowy mendadak diam. Aghas tidak tahu, apa yang terjadi pada Snowy, dia tidak tahu alasan gadis itu berdebat dengan mantannya, Aghas tidak tahu apa-apa mengenai gadis itu, Aghas hanya perlu membawa gadis itu pergi ketika menangis. Itu permintaan Snowy tadi pagi, dan Aghas lakukan karena sedikitnya, dia peduli.
"Kak!" Aghas menoleh ketika seorang gadis menegurnya. "Itu, kaki kak Snowy berdarah!" katanya menunjuk lantai yang Aghas lewati.
Aghas melirik lantai itu, tetesan darah ada di sana. Mulai dari gerbang kantin sampai terakhir tempat dia berdiri. "Kita ke UKS," putus Aghas.
Snowy tidak menjawab, gadis itu diam saja. Pikiranya melayang pada kejadian di kantin barusan, pada ucapan-ucapan yang Reifan katakan. Snowy tidak menyangka, orang yang selama ini menjadi alasannya untuk kuat, kini malah menyakitinya begitu hebat.
Di banding yang lain, Reifan adalah satu-satunya orang yang Snowy harap, tidak akan menyudutkannya atas kecelakaan itu. Reifan adalah satu-satunya orang yang Snowy harap, bisa menenangkannya di saat Snowy putus asa. Tapi kenyataannya jauh dari harapan, Reifan bahkan tanpa segan menyudutkannya dan terang-terangan mengatakan Snowy hampir membunuh seseorang.
"Dokter jaga lagi istirahat, biar gue yang ganti kasa." Ucapan Aghas itu membuat Snowy mengerjap, dia menatap sekitar dan baru sadar bahwa kini mereka ada di ruangan UKS.
"Apa?"
"Biar gue yang ganti kain kasa di kaki lo," ulang Aghas. Cowok itu berjongkok di bawah dengan satu lutut yang di tekuk. Sementara Snowy duduk di atas brankar dengan kaki tergantung ke bawah.
Snowy sedikit kaget ketika sebelah kakinya di tarik pelan lalu Aghas menyimpan kaki itu di atas lututnya. Beberapa tetes darah masih keluar dan mengeni celana seragam Aghas.
"Biar nanti sama Dok—"
"Diem." Aghas menahan kaki Snowy yang hendak menyingkir.
Snowy menurut, dia menatap keluar dan kembali melamun sementara Aghas mulai melepas lilitan kain kasa yang sudah basah oleh darah.
"Lo jalannya gimana, sampai darah bisa rembes gini?" tanya Aghas.
Snowy tidak menjawab, jadi Aghas memilih fokus untuk melepas kasa itu. Pelan-pelan, Aghas membersihkan sisa darah di area jahitannya, setelah selesai, Aghas lilit kaki itu dengan kain kasa yang baru. "Udah," beritahunya.
Tidak ada respons dari Snowy membuat Aghas akhirnya mendongak, dia dapati Snowy yang tengah kewalahan menyeka air matanya hingga pipi gadis itu merah karena sering terusap.
"Lo masih mau di sini?" Aghas bertanya selagi membereskan peralatan yang dia pakai lalu memasukkannya kembali ke laci. "Gue tinggal kalau lo masih mau di sini."
Snowy menatap Aghas dengan matanya yang masih berkaca-kaca. "Gue ... nggak licik, gue juga nggak pernah jahat. Gue cuma coba pertahanin apa yang milik gue," ucapnya mengeluarkan pembelaan dirinya sendiri yang seharusnya di katakan pada Reifan.
Aghas diam saja, berdiri di depan Snowy dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Memerhatikan tangan gadis itu yang mencengkeram erat roknya.
"Gue emang manja, tapi bukan berarti gue nggak bisa mandiri. Gue nggak cengeng, gue bisa kuat, bisa tegar selama yang nyakitin gue itu orang asing, tapi ... mana bisa gue tetep kuat sedangkan yang nyakitin gue itu orang terdekat dan keluarga gue sendiri."
Snowy menunduk, detik berikutnya rok gadis itu di hujani tetesan air yang jatuh dari mata. "Gue ... gue bukan pembunuh," ucapnya lirih namun masih bisa Aghas dengar. "Gue juga sayang sama om Argus. Gue juga takut kehilangan dia. Di banding yang lain, gue yang paling ingin lihat dia sehat. Om Argus udah gue anggap Papa gue sendiri, mana mungkin gue sengaja bikin dia celaka."
"Kalau gitu, teriak di depan wajah mereka, bilang kalau lo nggak seperti yang mereka pikirin. Jangan malah nangis di sini."
Snowy mendongak, lalu tersenyum getir. "Mereka tahu, kalau gue nggak bermaksud bikin Om Argus celaka. Tapi mereka tetap salahin gue. Gue emang salah, gue sadar kok kesalahan gue. Gue udah coba minta maaf, tapi mereka tetep ngejauhin gue.
Gue bahkan udah mulai nyerah, gue udah rela kalau mereka mau pergi dari gue. Tapi kenapa, mereka masih nyakitin gue kayak gini?"
Aghas menghela napas, dia merasa kasihan melihat Snowy yang menangis sampai kesusahan mengatur napas. Cowok itu merogoh saku celananya, mengeluarkan sapu tangan hitam dari sana dan memberikannya pada Snowy. "Ini bersih, pake."
Snowy menggeleng. "Bisa pakai tangan, kok," katanya sambil menyeka air mata di pipi.
Aghas memutar bola mata, lalu maju mendekat. "Bukan buat air mata. Ini buat hidung lo."
"Hidung gue kenapa?"
"Ingusan," kata Aghas. "Banyak lagi," imbuhnya lagi menunjuk hidung Snowy.
Snowy mendadak kesal. "Terus aja teruuussss nyinyirin gue! gue lagi nangis, lo hibur kek, peluk kek, bukan malah nunjuk-nunjuk ingus."
Aghas menggaruk belakang lehernya. "Gue nggak maksud nyinyir, gue cuma bicara jujur sama apa yang gue lihat."
"Ya tapi jangan blakblakan juga kali." Snowy mengomel, dengan kekesalannya dia merebut sapu tangan milik Aghas lalu menggunakannya untuk mengeluarkan ingus sebanyak-banyaknya di kain tersebut. "Nih, makasih!" Snowy menyodorkan sapu tangan itu.
Aghas menggeleng, bergidik jijik. "Buang aja."
Snowy mendelik, lalu sungguhan membuang sapu tangan itu ke tong sampah dengan cara di lempar. "Gendong lagi, gue mau ke kelas."
Aghas tidak membantah, melihat kaki Snowy yang bengkak membuatnya jadi tidak tega kalau harus membiarkan gadis itu berjalan. Cowok itu kemudian berbalik badan membelakangin Snowy dan sedikit membungkuk agar gadis itu mudah menaiki punggungnya.
Snowy tersenyum, hendak naik ke punggung Aghas namun seseorang terlebih dahulu menyingkap gorden sebagai penyekat tiap bilik di ruangan itu. "Snowy."
Winter datang dengan wajah terlihat khawatir, cowok itu menatap Snowy yang entah kenapa malah menyengir sebelum kemudian menatap Aghas.
Aghas sedikit mengekerut kening melihat kedatangan Winter, dia ingat, cowok itu adalah cowok yang tadi pagi menggendong Snowy. Aghas berdeham, lalu menegakkan badan dan menjauh dari Snowy.
"Eh? Gak jadi gendong gue?" Snowy protes.
Aghas mengedikkan bahu. "Minta gendong sama cowok lo aja," katanya melirik Winter.
Snowy mengerjap bingung sementara Winter tidak memberikan respons, cowok itu mendekat dan berdiri di posisi Aghas tadi. "Ayok, cowok lo udah datang, gendong sama cowok lo aja," ucapnya sambil membungkuk.
Aghas melengos, hendak pergi dari sana namun Snowy menahannya.
"Lo jangan pergi, kenalan dulu. Ini Winter," katanya. "Winter, ini Aghas."
Aghas dan Winter saling tatap, dan kemudian saling diam.
Puluhan detik terlewati, Snowy masih menanti kedua cowok itu untuk berkenalan dan berjabat tangan seperti orang berkenalan pada umunya, namun agaknya itu adalah harapan sia-sia karena baik Aghas maupun Winter, masih saling tatap dalam diam.
Snowy melirik dua cowok itu bergantian lalu berdeham. "Apa ... kalian kenalan lewat telepati?"
***
Giselle
Janlup pulang kak snow
P
P
P
bles
My Angel
Bang, pulang sama Snowy ya
Papa
Anak orang jangan di tinggal lagi
Klo kamu pulang tanpa Snowy
Bakal ada perang ke tiga di rumah
***
Aghas mendengkus membaca tiga pesan dari keluarganya itu, lalu kembali menyakui ponselnya. Dia melanjutkan langkahnya menuju kelas setelah keluar dari kantin di jam istirahat keduanya.
Sedang fokus menatap ke depan, Aghas sedikit tersentak ketika mendengar suara benda terjatuh, menoleh ke belakang Aghas dapati seorang gadis yang wajahnya tertutup tumpukan buku paket di tangannya. Aghas menatap ke bawah, ada dua buku paket yang kemungkinannya terjatuh.
"Hei, apa ada orang?" Gadis itu bersuara. "M-maaf bisa tolong ambilkan buku yang jatuh itu? Terus simpan di tumpukan paling atas."
Aghas toleh kanan kiri, dan tidak menemukan siapapun di sana karena bel masuk sudah berbunyi dua menit lalu. Cowok itu terpaksa membungkuk dan memungut dua buku tersebut lalu menyimpannya di tumpukan teratas.
"Makasih, ya," ucap gadis itu. Suaranya lembut sedikit mendayu. "Tangan aku lagi luka, jadi agak kesusahan bawa buku sebanyak ini."
Aghas melirik tangannya, dan benar, tangan gadis itu terlilit kasa. Tanpa mau peduli, Aghas membalik badan dan melanjutkan langkah. Tetapi, baru tiga langkah dia ambil, suara di belakang kembali menahan kakinya.
Aghas menoleh, kali ini buku-buku itu jatuh cukup banyak membuat wajah si gadis terlihat. "Tanganku belum kuat ternyata," ringis gadis itu. "Apa kamu buru-buru? Bisa tolong bantu aku?"
"Ke mana?"
"Ke kelas sebelah, kelas IPA 2, deket kok." Gadis itu menunjuk kelas Aghas.
"Biar gue aja." Aghas kembali memungut buku-buku itu dan menumpuknya di tangan sendiri. "Simpen di tumpukan paling atas," kata cowok itu melirik sisa buku yang masih di pegang gadis tersebut.
"Eh? Nggak usah, biar aku aja yang pegang." Gadis itu tersenyum sampai matanya melengkung.
Aghas tidak memberikan respons dan mulai berjalan. Dia tidak bermaksud menolong, hanya saja karena mereka satu arah, Aghas pikir tidak masalah membawakan buku-buku itu.
"Kamu anak baru, ya?" tanya gadis itu lagi, dan Aghas enggan menjawab. "Mm, aku di kelas IPA 1 ngomong-ngomong. Kalau kamu?"
"Dua."
"Mm? IPA 2?" Aghas mengangguk kali ini.
"Namaku Liona, nama kam—" Liona berhenti bicara saat Aghas menghentikan langkah, gadis itu tersenyum sungkan saat Aghas meliriknya dingin. "Maaf—"
Aghas kembali berjalan dengan langkah lebar, mengabaikan gadis itu sampai akhirnya mereka sampai di kelas IPA 2. Aghas langsung masuk, menyimpan buku paket itu di meja guru lantas pergi menuju bangkunya.
Liona yang ikut masuk, menyimpan buku sisanya di meja. "Nai, ini buku paket Bu Verlita, ya. Beliau nggak masuk hari ini, ada tugas mencatat halaman 202. Terus, kerjain latihannya dan di kumpulkan di meja seudah abis pelajarannya nanti," ucap gadis itu pada Ketua Murid.
Liona lalu menyapukan pandangan, mencari keberadaan Aghas. Cowok itu ternyata duduk di bangku paling belakang, langkah Liona terarah ke sana. Gadis itu melangkah anggun, menarik perhatian siswi di kelas itu.
Liona melirik bagde name Aghas, lalu mengusung senyum. "Aghastya, makasih, ya udah bantuin ak—"
"Pergi. Gue nggak maksud bantu lo." Aghas menjawab tanpa mau menoleh, cowok itu sibuk memasang airpods di telinganya lalu memainkan ponsel.
Liona berdeham, dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, gadis itu akhirnya keluar dari kelas Aghas ditemani tawa mengejek dari beberapa siswi di sana. Tidak ada yang tahu bahwa senyum Liona lenyap begitu dia melewati pintu kelas itu.
Sesampainya di kelas IPA 1, Liona duduk di bangkunya, ada Tari teman sebangkunya yang menatap heran gadis itu. "Kenapa?" tanyanya.
Liona tidak menjawab, dia merogoh saku ranselnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Dia membuka intagram, jempolnya lari ke kolom mencari dan mengetik di sana.
Tari mengintip, lalu mengernyit. "Aghastya? Siapa, tuh?"
Liona abai lagi, gadis itu fokus memerhatikan satu persatu akun bernama Aghas, beberapa saat kemudian senyumnya terbit ketika mendapatkan akun Aghas. "Aghastya Mahatama," gumamnya sambil menekan follow.
"Siapa, Li?"
Liona melirik Tari, lalu tersenyum miring. "Orang yang kayaknya harus aku rebut."
Tari menghela napas. "Nggak cukup kamu rebut Reifan dan keluarganya?"
Tawa remeh Liona mengudara. "Belum cukup Tar, gara-gara dia Papa ku sekarang koma. Jauh sebelum itu, dia juga sering rebut barang punyaku. Yang aku lakuin sekarang, belum ada apa-apanya di banding yang dia lakuin dulu."
Liona masih ingat rasa sakitnya, saat mereka kecil. Snowy selalu merebut mainan miliknya. Mainan yang Papa nya belikan, tetapi Snowy menginginkannya. Liona masih ingat rasa sakit itu, saat melihat Papanya lebih menyayangi Snowy, Papanya bahkan meminta Liona untuk berbagi apapun miliknya dengan Snowy.
Snowy itu licik, dia selalu menginginkan barang Liona. Tetapi Snowy sendiri tidak pernah mau berbagi barangnya dengan Liona. Sementara Liona harus terus menerus mengalah untuk Snowy, harus terus menerus memberikan barang miliknya.
Tidak ada yang pernah memikirkan bagaimana sedihnya Liona saat itu, Papa nya selalu mengatakan bahwa Liona harus mengalah karena Snowy majikannya. Reifan, Summer, Winter, teman masa kecilnya pun selalu mengutamakan Snowy. Mereka melakukan apapun agar Snowy senang, tanpa peduli ada Liona yang menangis di atas kebahagiaan Snowy.
Liona iri, Snowy di kelilingi banyak orang yang menyayanginya. Liona hanya punya satu Papa, tetapi lagi-lagi Snowy merebut perhatian Papa nya. Liona kesepian, dia sendirian, dan hanya ada banyak kebencian yang menemaninya.
Liona mengenggam erat ponselnya, menyalurkan berbabagi rasa sakit ke sana. Mengingat masa lalu kecilnya memang selalu berhasil membuatnya terluka. "Dia harus rasain apa yang aku rasain dulu, Tar. Sedih, kecewa, kesepian, sendirian, dan terbuang ... dia harus ngerasain semuanya."
***
30 November 2022.
Jangan lupa, tag instagram aku @destharan kalau kalian share bab ini :*
Papaaayy...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top