BEFUDDLES || 07
Haaaai
Makasih 500 vote dan 700 komennya lhoo 🥰
Happy reading! 🤗
AGHAS membelokkan motornya ke lahan parkir khusus siswa, dia menatap malas pada sebagian cewek yang berkerumun di salah satu tempat tampak menatapnya penasaran. Aghas tidak suka menjadi pusat perhatian, dia pun sudah bersikap biasa saja dan selalu berusaha agar tidak banyak terlihat oleh orang lain, dia bahkan memakai helm full face untuk menutup wajahnya.
Bukan hanya helm, Aghas pun tidak pernah lupa memakai masker atau buff untuk menutup sebagian wajahnya. tetapi entah mengapa, para cewek-cewek itu selalu saja menatap kearahnya. Aghas risi, tidak nyaman rasanya jika di perhatikan lama-lama oleh beberapa orang. Dia bukan tipe manusia yang murah senyum dan gampang menyapa, jadi dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi cewek-cewek yang menatapnya dan kemudian menyapa, rasanya lebih baik jika mereka mengabaikannya saja, namun harapan Aghas tidak pernah terjadi.
"Wooaahh!" decakkan kagum mulai terdengar ketika Aghas membuka helmnya, masih dengan wajah tertutup buff, cowok itu kemudian turun dari motor dan melenggang begitu saja dari area parkir.
Getaran dari ponselnya untuk ke sekian kali, membuat cowok berambut gondrong itu berhenti. Ada satu panggilan dari kontak yang ia namai My Angel. Segera Aghas menggeser tombol hijau ke kanan. "Halo?" sapa Aghas sembari menurunkan buff dari wajahnya.
"Abang." Hazel dengan suara tenangnya menyapa.
"Iya, Mam?"
"Abang kok usil banget, Snowy di tinggalin."
Aghas memutar bola mata. Snowy lagi, Snowy lagi.
"Dia lama." Aghas berasalan.
"Lama-lama mata lo juling!" Aghas terkaget mendengar suara Giselle.
"Lo, ya, sekarang?" sindirnya.
Giselle terdengar mencebik. "Abang, tuh, kenapa, sih? Jahat banget ninggalin kak Snowy! Dia kan lagi sakit!"
"Sakit apa? Dia masih cerewet gitu."
"Heh, yang sakit kakinya! Bukan mulutnya!" Shaga kini mulai ikut-ikutan mencecar. "Jangan gitu, lah, bang."
Aghas menghela napas, heran melihat tingkah keluarganya yang begitu terbuka dan seketika lengket kepada si Salju.
"Bang, Mama nggak mau tahu, pulang sekolah, abang harus sama Snowy. Abang ngerti?" See? Mama nya yang biasanya sulit sekali di dekati bahkan ikut-ikutan memihak Snowy. "Abang."
"Mm, iya, nanti aku bawa pulang."
"Jangan lupa minta maaf!" Giselle memperingati.
"Mm."
"Ya udah, Mama matiin, ya? Ini lagi di jalan sebentar lagi sampai di depan sekolah Abang."
"Iya."
Panggilan itu berakhir, Aghas berjalan sedikit agak ke depan, sehingga memudahkannya untuk melihat ke arah gerbang. Benar saja ada mobil putih milik Shaga berhenti di sana, tak lama kemudian, Hazel keluar di ikuti Snowy dan juga Giselle.
Snowy terlihat memeluk Giselle sebelum kemudian memeluk Hazel dan sepertinya pamit untuk ke area sekolah. Aghas masih diam, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Cowok itu perhatikan Snowy yang berjalan angkuh walau kakinya pincang. Tangannya terlipat di dada sementara wajahnya sedikit terlihat menyebalkan dengan dagu terangkat tinggi.
Aghas mendengkus tanpa sadar. Dasar bocil.
Snowy sudah semakin dekat, dan Aghas sudah bersiap-siap mengumpulkan energi demi menghadapi gadis cerewet itu. Aghas yakin, Snowy akan langsung menyemburnya dengan berbagai umpatan mengingat tadi gadis itu begitu brutal menonjok-nonjok udara.
Aghas berdeham. Sudah membuka mulut untuk bicara namun ternyata Snowy melenggang begitu saja. Gadis itu melewatinya tanpa sedikitpun melirik padanya. Aghas memutar bola mata karena itu.
Snowy tersenyum licik ketika berhasil melewati Aghas, dia sengaja mengabaikan cowok itu sebagai bentuk balas dendam karena beberapa kali di abaikan dan di tinggalkan. Masih dengan senyum miring, Snowy menunduk dan sedikit menoleh ke belakang. Aghas pasti kesal, pikirnya.
Namun, harapan itu pupus ketika Snowy melihat Aghas malah berjalan ke arah gerbang. Cowok itu ... mengabaikannya lagi?!
"AGHAS!" jerit Snowy dongkol. Gadis itu berbalik badan, memasang wajah galak sementara bibirnya mengerucut.
Aghas memutar badan menghadap Snowy. "Apa?"
Apa cowok itu bilang?
"Minta maaf!" titah Snowy.
Aghas mendengkus, lalu berjalan ke arah Snowy. Baiklah, atas permintaan Giselle, dia harus rela mengatakan maaf. "Sor—"
"Nggak gue sorryin!" Snowy mengatakan itu sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Ya udah."
Snowy langsung menoleh lagi pada Aghas. "Lo! lo tuh ya." Gadis itu jadi gemas sendiri, rasanya ingin menjambak rambut Aghas yang kini bergerak acak tertiup angin.
"Gue nggak salah." Aghas mengedikkan bahu. "Lo aja yang gampang ketipu. Kayak bocil."
Bibir Snowy berkedut-kedut, baru saja gadis itu ingin mengatakan sesuatu namun Aghas segera berbalik badan dan mulai melangkah. "Dia tuh anak siapa sebenernya?!" jeritnya kesal. "AGHAS LO HARUS TES DNA NANTI! KAYAKNYA LO BUKAN ANAK TANTE HAZEL SAMA OM SHAGA!"
Aghas abai saja, cowok itu berjalan sambil memakai airpods pada telinga. di langkah ke sepuluh yang dia ambil, Aghas berpapasan dengan seorang cowok, walau tidak terlalu jelas tapi Aghas bisa melihat, orang itu sempat meliriknya cukup lama.
"Princess!" karena belum sempat memutar lagu, jadi Aghas masih bisa mendengar cowok itu berseru.
"Win!" Suara dari Snowy pun turut terdengar olehnya.
"Kaki lo masih sakit?"
"Heem."
"Gue gendong."
"Oke!" Snowy menyetujui dengan senang.
Langkah Aghas terhenti, tanpa mau menoleh ke belakang cowok itu mendengkus, dia kemudian menyalakan sebuah lagu dengan volume besar dan meneruskan langkahnya menuju keluar gerbang.
***
"Beb, lo tahu nggak di kelas si Sahara ada anak baru?" Sherin yang baru saja datang langsung bertanya heboh. Gadis itu duduk di meja kantin yang sudah biasa Snowy gunakan.
Kini mereka ada di jam istirahat pertama, Snowy dan Stasia sudah berada di kantin terlebih dahulu karena mereka berada di kelas yang sama, yakni kelas XI IPA 4. Sherin berada di kelas IPA 3, sementaraa Sahara di IPA 2.
"Oh ya? Lumayan banyak ya murid pindahan di semester dua," komentar Snowy tidak begitu peduli. gadis itu tengah fokus menonton Video dari girl band yang baru saja melaunchingkan album baru.
"Nggak banyak, kok. Cuma satu perasaan." Sherin menyahut. "Cowok, guaaaantteeeeng bangeedddd."
"Masa?" kini Stasia yang menyahut tapi tanpa nada penasaran. Gadis bahkan tidak melirik sama sekali.
Antusias Sherin lenyap begitu saja, dia mendelik pada dua temannya itu. "Ya, ya, ya, gue paham. Menurut kalian berdua nggak ada yang lebih ganteng dari Reifan sama Winter, 'kan?" tanyanya menatap Snowy dan Stasia bergantian. "Cih, yang satu udah jadi mantan, yang satu ngejar-ngejar nggak pernah di anggap, masih aja ngebucin."
"Heh! Sekate-kate lu!" Snowy menendang kaki Sherin di bawah meja, kemudian menyimpan ponselnya di meja. "Tuh, dia nih yang masih bucin walaupun di cuekin," kekeh Snowy menunjuk Stasia dengan dagu.
Stasia nyengir saja menanggapinya. "Eh, si Sahara, mana?"
"Ke perpus dulu katanya, di suruh kembaliin buku paket," jawab Sherin. "Eh tapi gue serius, nih si anak baru ganteng pooolll anjir! Langsung ke basmi tuh murid-murid burik yang sok ganteng. Lo harus liat Snow!" Sherin mengeluarkan ponselnya, dia memperlihatkannya pada Snowy. "Tuh lihat!"
"Liatnya kayak gimana bege! Ini yang lo foto punggungnya!"
Sherin mencebik. "Ih, lihat sama lo! Sama mata kanan, mata kiri, mata-mata! Walau dari belakang, masih aja keliatan ganteng. Punggungnya lebar, tadi gue hampir khilap mau nemplok."
Snowy memutar bola mata, lalu merebut ponsel Sherin. Dia perhatikan foto tersebut, dan merasa familier dengan postur tubuh cowok itu. Beberapa detik kemudian Snowy baru ingat. "Ini si Aghas!" katanya sambil menghapus foto tersebut.
Sherin syok, tidak terima. Foto yang susah payah dia ambil, terhapus begitu saja. "Kok, lo hapus, sih?!" jeritnya sambil merebut ponselnya kembali.
Snowy berdeham. "Ngambil foto orang tanpa ijin, bisa kena tindak pidana."
"Ih, lebay, banget!" cibir Sherin. "Snowy aah! Balikin fotonya! Lo harus tahu perjuangan gue ambil foto ini tuh berat banget! gue harus ngendap-ngendap tadi."
"Mana gue peduli. "Snowy mengedikkan bahu.
Stasia tertawa melihat wajah Sherin tertekuk. "Lecek amat muka lo kayak uang kembalin dari pasar."
"Tau ah, sebel gue." Sherin manyun.
"Eh tapi, kok, lo tahu, sih, namanya Aghas?" tanya Stasia.
Snowy mengibaskan rambut panjangnya ke belakang lalu memasang wajah pongah. "Tahu, dong. Dia tetanggaan sama gue."
"Dih, ngadi-ngadi lo," cibir Sherin. "Tetanggaan gimana, rumah di sebelah lo udah pada isi, ya."
"Dih, emang bukan rumah sebelah. Rumah seberang, wlee."
"Yang bener?"
"Heem, gue bahkan nginap di rumah dia semalem," ungkap Snowy membuat Sherin dan Stasia melotot. "Kaget, kan, lo berdua? Sama HAHA!"
"Snow, jangan bercanda!"
"Kagak, elah. Gue serius."
"Kok bisa nginep di sana?" Stasia bingung. Nih, anak agak-agak kayaknya. Bisa-bisanya nginap di rumah tetangga baru?!
"Gue kan semalem kabur dari rumah, ya udah gue kabur ke rumah dia. Hemat, nggak perlu ngeongkos." Snowy menjawab santai lalu menyesap susu dingin pesanannya.
"Nggak percaya gue," decak Sherin. "Lo nginap di rumah kita-kita aja kagak mau, nginap di rumah Reifan yang lo bucinin aja nggak mau, masa tetiba nginep di rumah orang asing?"
Snowy terdiam. Benar juga, kenapa dia mau nginap di rumah Aghas, ya?
Gadis itu megedikkan bahu lagi. "Karena rumahnya bagus, kali?" tanyanya pada diri sendiri. "Atau karena Aghas nya ganteng? Bisa jadi."
Stasia dan Sherin saling tatap. "Lo bilang apa tadi?" tanya mereka bersamaan.
Snowy menoleh, mengkerut kening sebentar mengingat ucapannya barusan. "Karena Aghas ganteng?" tanyanya semakin membuat kedua temannya syok. "Kenapa lo pada mangap-mangat kayak ikan?"
"Snow! Lo baru aja bilang ganteng sama orang!" jerit Sherin.
"Ya terus? Harusnya gue bilang ganteng sama siapa? Sama flora dan fauna, gitu?"
"Bukan gitu maksud Sherin! Nih, ya, sebelumnya lo nggak pernah kasih pujian sama orang lain! Bahkan lo nggak pernah bilang Reifan ganteng!" jelas Stasia.
Snowy diam, berpikir. "Iya gitu?"
Kedua temannya langsung melengos.
"Lo suka kayaknya sama si Bagas!" simpul Sherin.
"Aghas, woi!" Stasia mengoreksi Sherin. "Heem, kayaknya lo suka Snow."
Snowy menopang dagu lalu diam saja tidak menjawab sampai akhirnya mata gadis itu menemukan seseorang yang baru saja memasuki area kantin. Snowy refleks bersiul.
Sherin dan Stasia sontak ikut menoleh, dan terkesima melihat Aghas yang berjalan di temani beberapa orang yang mereka kenali. "Itu, anak barunya?" tanya Stasia. Sherin mengangguk membenarkan. "Ganteng woi! Gue pepet kali—aww!" Stasia meringis karena kepalanya di lempari permen lolipop.
Snowy mendelik. "Pupat pepet, satu aja belum bisa lo luluhin," cibirnya.
"Iya juga, sih." Stasia lesu. "Mana si Aghas keliatan jutek berkali lipat dari abang lo."
"Heem, bukan cuma jutek, tuh bibirnya pedes amat kalau udah nyindir," timpal Snowy. Dia perhatikan Aghas yang sama sekali tidak meliriknya. Cowok itu berjalan menuju meja paling ujung, bergabung dengan beberapa kakak kelas yang cukup terkenal di sekolah.
Sementara di tempatnya Aghas yang baru saja duduk langsung di tepuk bahunya oleh Raffi, teman kelasnya. "Lo di lihatin, tuh," kata Raffi memberi tahu. "Sama anak-anak dance."
Aghas menoleh sebentar, ada Snowy di sana dengan dua temannya yang lain. Dia saling tatap dengan gadis itu untuk beberapa detik, lalu Aghas putuskan pandangan mereka ketika Snowy mengedip-ngedip kan sebelah mata kearahnya. Gadis itu, kelilipan?
"Yang di tengah, yang paling cantik namanya Snowy. Dia cewek paling terkenal di sini, bahkan di sekolah lain. Agak sombong, sih. Dingin, dingin, gitu. Sedingin salju, persis namanya," kekeh Raffi.
Diam-diam Aghas memutar bola mata. Apa kata Raffi? Snowy sombong? Dingin? Mana ada! Cewek itu centil dan cerewet!
Terus apa katanya, Snowy paling cantik? Raffi belum saja melihat Snowy yang ingusan, tidur berantakan, dan jangan lupakan giginya yang tersangkut cabe dan seledri. Mengingat itu, Aghas jadi mendengkus geli.
"Nah terus, di sisi kiri Snowy itu Stasia, di sisi kanan Sherin. group dance mereka sebenernya ada empat orang, satu lagi Sahara, bendahara di kelas kita," jelas Raffi.
Aghas diam saja enggan menanggapi, lagipula dia tidak tertarik dan tidak peduli.
"Eh, gue denger, Snowy putus ya sama cowoknya?" tanya Dezan, cowok yang duduk di kelas XII.
"Menurut gosip, sih, gitu. Makanya si Snowy kemaren mewek."
"Haduh, sayang banget cewek secantik dia harus mewek gegara cowok modelan si Reifan," decak Dezan. "Putusnya gegara si Liona itu, ya?"
"Katanya, sih, iya." Raffi mengangguk.
"Padahal, lebih unggul si Snowy daripada si Liona, buta kali ya si Reifan."
"Iya kali, buta." Raffi mengangguk lagi.
"Udeh, udeh, ngapain lo berdua ngurusin percintaan orang lain. Nih, makan dulu, ngegosip butuh tenaga, kali." Bang Imam, pemilik kedai nasi goreng datang membawa pesanan mereka.
Aghas mengembuskan napa lega karena akhirnya pergosipan itu selesai. Namun, baru saja cowok itu hendak memasukan sendok berisi nasi ke mulutnya, niat itu urung karena seluruh pengunjung kantin mendadak berbisik-bisik.
"Drama di mulai," celetuk Dezan, cowok itu mengedikkan dagu ke arah meja Snowy.
Penasaran, Aghas ikut menoleh., dia melihat ada seorang cowok yang menghampiri Snowy di temani seorang gadis.
Sementara di tempatnya duduk, Snowy mulai menarik napas panjang, bersiap untuk berdebat ke sekian kali dengan Reifan karena Liona.
"Snow—"
"Kenapa?" Snowy berdiri dari duduknya. "Mau nuduh gue yang udah lukain tangan selingkuhan lo?" todongnya. Gadis itu mengatakannya dingin, namun sebenarnya hati Snowy terluka melihat Reifan yang menatapnya marah.
"Bagus kalau kamu ngaku duluan." Reifan mendesis. "Minta maaf sama Liona," titahnya.
Snowy tertawa hambar. "Minta maaf lo bilang?"
"Udah seharusnya kamu minta maaf, Snowy." Reifan masih mencoba menahan amarahnya.
"Kenapa harus gue? Dia yang lukain tangannya sendiri. Iya, 'kan, Liona?" tanya Snowy, dia melirik Liona yang hanya diam saja menundukkan kepala. "Lho? Kok diam aja, bicara dong. Atau lo berniat fitnah gue, ya? Makanya bikin Reifan salah paham."
Liona mendongak, langsung menggeleng. "Rei ... aku, 'kan, udah bilang. Tanganku luka karena nggak sengaja, aku ceroboh, bukan gegara Non Snowy, kok."
"Tapi kalau kamu nggak mecahin gelas, dia nggak akan luka!" Reifan hilang kesabaran. "Apa susahnya minta maaf?! Itupun karena kesalahan kamu sendiri!!"
Snowy yang di bentak, sedikit terkesiap. "Gue nggak sengaja jatohin gelas, dan itupun karena dia ngehalangin jalan gue!"
"Aah, ngehalangin gimana? Sujud di kaki kamu?" tanya Reifan dengan senyum kecewa.
Snowy menatap Liona. "Lo bener-bener pengarang cerita yang hebat, ya, Liona. Baguslah, ada kemajuan dikit dari babu jadi tukang drama."
"SNOWY!" Reifan membentak lagi, lebih keras, dan itu berhasil membuat Snowy ketakutan. Snowy adalah gadis yang di besarkan penuh kasih sayang, dia di manja dan di perlakukan baik oleh orang tuanya. Tidak pernah sekalipun Radhit dan Arunika memarahi atau berbicara dengan nada tinggi padanya.
Dan sekarang, Reifan membentaknya dengan mudah? Di depan umum pula.
"Kalau nggak ada Liona, mungkin kaki kamu yang luka sekarang!" lanjut Reifan masih dengan nada tinggi. "Harusnya kamu berterima kas—"
Melihat Snowy yang terdiam sementara mata gadis itu mulai di lapisi air, membuat Reifan mengusap wajahnya gusar. "Princess— aku nggak bermaksud—"
"Apa ini yang di namain masih sayang sama gue? Nggak mau putus dari gue?" Snowy berdecih bertepatan dengan air matanya yang turun. Gadis itu cepat-cepat menyekanya dengan kasar. "Lo bahkan nggak nanya dulu sama gue gimana kejadian sebenernya. Lo bahkan nggak nanya kabar gue. Lo bahkan...." Snowy menjeda, membuang napas melalui mulut. "Lo bahkan nggak peduli kalau gue juga ikut luka."
Seketika Reifan menatap Liona. Gadis itu tampak terkejut. "Kaki non juga luka? Maaf, aku ceroboh sampai nggak bisa jagain kaki non. Aku juga nggak fokus karena kepala ku pusing kena gelas dan kelamaan sujud di kaki non," katanya. "Tapi ... apa kaki non luka seudah aku ketusuk pecahan kaca atau sebelum?"
Reifan menatap Snowy. "Kamu nggak mungkin sengaja bikin kaki kamu luka supaya nggak di salahin, kan?" tanya cowok itu curiga. "Atau, kamu pura-pura luka?"
Snowy terkekeh getir. "Selicik itu, ya, gue di mata lo?"
Reifan terdiam, tidak membantah tidak juga mengiyakan.
"Kaki gue luka sebelum Liona, terserah lo mau percaya atau nggak. Dan gue ... nggak akan pernah sengaja bikin luka cuma buat di kasihani." Snowy mentatap Liona penuh arti. "Gue nggak semenyedihkan itu, Rei. Gue masih sanggup berdiri sendiri tanpa dukungan dari lo ataupun keluarga gue." Gadis itu selesai bicara, lalu menggeser badan keluar dari area meja. "Gue duluan."
"Snowy, aku belum selesai bicara." Reifan menahan pergelangan tangan Snowy namun segera gadis itu tepis. "Princess...."
"Gue selesai sama lo. bener-bener selesai, jadi nggak ada yang perlu di bicarain lagi. lo urus Liona sesuai keinginan lo dan jangan cari gue lagi."
Reifan menunduk, lalu terkekeh sinis. "Kenapa? Kamu nggak mau lihat aku lagi? karena aku nggak layak buat cewek sebaik kamu?"
Lagi, Snowy melirik Liona. "Siapa yang bilang? Liona?"
"Kamu nggak perlu tahu siapa yang bilang."
Snowy mengangguk. "Baguslah kalau dia yang bilang, karena gue nggak tega kalau harus bilang langsung sama lo," katanya. "Lo emang nggak layak buat gue, Rei. Cowok kayak lo, nggak pantas dapat kesetiaan dan kesabaran dari gue. Bener kata temen-temen gue, lo emang udah seharusnya selevel sama babu."
Reifan mengepalkan tangan, egonya tersentil karena di rendahkan begini. Cowok itu lalu mengukir senyum miring. "Lo bener, gue emang seharusnya sama Liona. Dia cantik, baik, nggak licik kayak seseorang yang gue kenal. Dia mandiri, kuat, tegar, nggak manja kayak seseorang. Dan ini yang paling penting." Reifan mendekat pada Snowy yang mematung, lalu berbicara lirih. "Liona bukan orang yang bisa bikin orang lain celaka sampai koma, gue bersyukur karena nggak harus terlibat lagi sama orang yang hampir aja ngebunuh ker—"
"Salju!" teriakan dari seseorang membuat Snowy yang hendak menangis, menjadi mendongakkan wajah. Ada Aghas yang berjalan ke arahnya dengan langkah tenang. Cowok itu menatap Reifan sebentar sebelum kemudian berhenti tepat di depan Snowy. "Apa sekarang waktunya buat lari?" tanyanya berbisik.
Snowy terdiam sesaat lalu refleks tertawa saat mengingat ucapannya tadi pagi.
Aghas, kalau nanti lo lihat gue diem atau misal gue mewek di depan banyak orang. Tolong, ya, bawa gue lari, soalnya kaki gue lagi sakit. Gue nggak bisa lari sendiri.
Jadi, Aghas mendengarkannya?
"Salju."
"Hmm, sekarang," jawab Snowy. Gadis itu berjinjit lalu berbisik di telinga Aghas. "Tapi kaki gue berdarah lagi, jadi nggak bisa lari, gimana kalau lo gendong aja?"
Aghas mendengkus, tanpa bantahan cowok itu berjongkok dan Snowy langsung menaiki punggung lebarnya. "Lo harus bayar mahal, Salju," bisik Aghas sebelum kemudian cowok itu berdiri.
"Nggak masalah, gue rela keluarin semua uang gue biar bisa di gendong lo tiap hari," kata Snowy dengan kekehan.
Aghas mendengkus, dia menoleh ke samping, lalu sedikit terkejut karena wajah Snowy mendadak ada di depannya. Gadis itu tersenyum. "Makasih, Aghas."
"Salju?"
"Mm?"
"Apa bisa wajah lo sedikit mundur?" pinta Aghas.
"Kenapa? Lo salting?" tebak Snowy.
"Nggak, napas lo, bau mie."
"AGHHAASSS!" jerit Snowy kesal, dia memukul bahu Aghas. "Perasaan gue nggak ada cantik-cantiknya di mata lo," dumel gadis itu yang di tanggapi kekehan kecil oleh Aghas.
Kemudian Aghas mulai berjalan meninggalkan kantin, meninggalkan Reifan yang hatinya mendadak panas, juga meninggal Liona yang untuk ke sekian kalinya merasa iri terhadap Snowy.
***
27 Nov 2022
Share bab ini, dan tag ke akun instagram aku @destharan:)
Ini AGHAS yang kadang nggak ngerti kenapa ada manusia macem Snowy di dunia ini 👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top