BEFUDDLES || 06

Anyeooonnggggg

3200 KATA, NIH. BISMILLAH 500 VOTE 500 KOMEN 😋

Komen "SEMANGAT"  disini 😚

"Done! Cantik banget, sih." Snowy berdecak kagum melihat Giselle yang tampak cantik dengan rambut gelombangnya yang di catok oleh Snowy. Tadi, saat selesai mandi, mereka berdua sepakat untuk saling bantu bersiap-siap.

Giselle tersipu. "Masih cantikkan kakak," katanya dengan sorot mata berbinar. "Makasih, ya, kak, udah mau catokin rambutku." Gadis itu mematut diri, tidak bisa dia pungkiri, dirinya memang terlihat cantik, tapi jika di sandingkan dengan Snowy begini, Giselle merasa kalah jauh.

Snowy menggeleng, dia menyimpan kedua telapak tangannya di pundak Giselle sembari menatap gadis itu lewat cermin. "Lebih cantik kamu, tapi karena kamu masih kecil, jadi wajahnya imut. Nanti kalau udah besar, dan bisa ngerawat diri, kamu pasti bakal lebih cantik dari ini," ujarnya tulus.

Giselle merasa pipinya panas bahkan mulai pegal karena terus-terusan senyum. "Ish! Pokoknya cantikkan Kak Snowy!"

"Terserah kamu aja," dengkus Snowy.

"Eh, kak, tapi kayaknya rambut aku di ikat aja, deh. Bahaya kalau di urai, pasti di tegur guru sama di nyinyirin kakak kelas," kata Giselle dengan bibir mengerucut.

"Iya, juga, ya. Kamu, 'kan, masih SMP." Snowy menggumam. Mereka tadi sempat mengobrol, saling melempar tanya mengenai banyak hal termasuk pendidikan mereka. "Ya udah, deh, sini."

Giselle tersenyum, dia menegakkan badan selagi Snowy mulai menyatukan helai demi helai surainya. "Kak, boleh nanya nggak?"

"Mm, tanya aja."

"Pas Abangku lihat kakak pertama kali, pasti dia nggak kedip ya saking terpesonanya?"

Snowy mendadak diam, satu ingatan masuk ke kepalanya. Terpesona apanya? Aghas bahkan sama sekali tidak akan meliriknya kalau saja Snowy tidak menghentikan motor cowok itu. Ck, mengingat bagaimana Aghas meliriknya dingin dan mengatainya sundel bolong membuat Snowy mencebik tanpa sadar.

"Eh? Aku salah tanya, ya?" Giselle memasang raut tak enak.

Snowy menggeleng. "Mm ... abang kamu waktu pertama kali liat kakak—"

"Pasti terpesona, lah, masa nggak." Giselle cekikikan.

Snowy nyengir garing. "I-iya terpesona, sampai nggak kedip terus mulutnya nganga," katanya berbohong. Snowy lalu memejamkan mata, berulang kali meminta maaf karena telah berbohong.

Ya Allah! Maafin Snowy! Sungguh Snowy tidak punya pilihan selain berbohong, atau dia akan malu karena ada cowok yang mengabaikannya!

"Udah aku duga!" Giselle bertepuk tangan. "Mana mungkin ada cowok yang nggak terpesona sama kakak!"

Ada, cong! Abang lu tuh! Snowy membatin, lalu memaksakan senyum.

"Kakak udah selesai, 'kan, kita turun sekarang?" ajak Giselle.

Keduanya lantas keluar dari kamar setelah membawa masing-masing ranselnya, di lantai bawah, tepatnya di ruang makan, sudah ada Aghas, Hazel juga Shaga yang duduk di kursi masing-masing.

Snowy melirik Aghas, cowok itu terlihat sangat rapi dengan seragam khas Saditantra nya. Rambut semu coklatnya yang sedikit gendrong, di biarkan berantakan begitu saja. Tapi alih-alih terlihat jamet, Aghas malah terlihat kece.

Gantengnya awur-awuran cuy!

"Morning," sapa Snowy dan Giselle bersamaan.

"Morning!" Shaga membalas semangat, pria itu tersenyum lebar melihat Giselle dan Snowy yang terlihat segar dan cantik. "Ck, ck, ck, cantik sekali kalian berdua ini."

Hazel terkekeh melihat Shaga yang benar-benar menatap kagum. "Jadi aku udah nggak cantik, nih?"

"Cantiikkk dong! Kamu bahkan kelihatan lebih muda di banding mereka," kata Shaga. "Tapi jelas itu bohong."

Hazel mendengkus, lalu menatap Snowy dan Giselle bergantian. "Ayok duduk, kita sarapan."

Giselle mengangguk, dia duduk tepat di samping Hazel. Sementara Snowy melipir ke seberangnya, di mana ada Aghas duduk. "Gue duduk sini, ya?" tanya Snowy dengan senyum semenawan mungkin, gadis itu memundurkan kursi yang letaknya di samping Aghas.

Aghas tidak menjawab, jadi Snowy sudah ancang-ancang untuk duduk. "Kursi ini buat musang sama kijang," celetuk Aghas membuat bokong Snowy yang hampir menyentuh kursi berhenti.

Gadis itu tersenyum tertekan, sedikit pegal karena posisinya seperti penari jaipong yang sudah menekuk lutut sedikit hendak bergoyang. Encok, nih, encok!

"Lo bisa cari kursi lain," imbuh Aghas lagi tanpa repot-repot melirik Snowy.

Snowy membuang napas tak percaya. Dia tertawa hambar lalu menegakkan badan, dan menepuk-nepuk kursi yang hendak dia duduki seolah mengusir debu dari sana. "Sowry, ok, sowry?"

"Abang ih!" Giselle menegur kesal. "Gak apa-apa Kak Snow, duduk aja di situ."

"Musang sama Kijang udah on the way," balas Aghas sambil menunjuk dua kucing yang memang sedang menuruni tangga.

Snowy mengerucutkan bibir lalu menggeser posisinya ke sisi lain.

Dua kucing itu sampai di meja makan, Aghas membungkuk lalu memungutnya satu-satu dan menyimpannya di kursi. Snowy memutar bola mata. Baiklah, sepertinya dia kalah cantik dari si Musang dan Kijang.

"Ayok, kita sarapan sekarang," putus Shaga.

"Snowy, tante nggak tahu makanan favorit kamu, jadi tante masak seadanya aja," ucap Hazel.

"Makan, makan, ini mie terenak yang pernah om makan, jadi kamu wajib cobain." Shaga menggeser mangkuk besar berisi Mie buatan Hazel tepat ke hadapan Snowy. "Kamu nggak akan nyesel, dan bakal ketagihan."

"Oh, ya?" Snowy menatap Mie di depannya, harumnya seketika membangunkan selera makan gadis itu. "Dari wanginya aja udah enak. Boleh aku cobain?"

"Boleh-boleh, di abisin juga boleh," kata Giselle, gadis itu duduk manis sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. Tatapannya tidak lepas barang sedetikpun dari Snowy.

Shaga dan Hazel sontak saling tatap, merasa heran pada sikap Giselle karena biasanya gadis itu tidak pernah sehangat ini pada orang yanga baru dia kenal.

"Nak, kamu sehat, 'kan?" tanya Shaga khawatir. "Kamu ... nggak ke jedot pintu? Atau ketuker jiwa, 'kan?"

"Ya nggak, lah. Apaan, sih, Papa," decak Giselle, "Ayok, Kak. Makan!"

Shaga menyengir, lalu mulai mengisi alas Hazel dan dirinya sendiri. Kemudian di ikuti Aghas, cowok itu mengambil sedikit nasi, hendak mengambil mie namun terhenti karena Giselle menjerit. "Biar Kak Snowy duluan yang ambil!" katanya lengkap dengan delikan tajam.

Giselle kembali menatap Snowy, tersenyum manis gadis itu sambil berdiri. "Biar aku bantu ambil nasi sama mie nya."

"Eh? Nggak us—"

"Udah, nggak apa-apa." Giselle mengibaskan tangan di udara, dengan cekatan dia mengisi piring Snowy cukup banyak. "Selamat makan!"

Snowy nyengir, dia menerima alas piring yang di berikan Giselle. Usai berdo'a, Snowy segera mencicipi mie itu. "Mm! Enak banget!" serunya. Snowy tidak berbohong, apa yang di katakan Shaga ternyata benar, selama hampir tujuh belas tahun hidup, Snowy baru merasakan mie seenak buatan Hazel.

"Enak, 'kan?" Giselle kembali menopang dagu dan menatap Snowy dengan senyum.

Hazel berkedip-kedip, merinding sendiri melihat Giselle yang berbinar-binar menatap Snowy. "Dek...."

"Iya, Mam?"

"Makan, dek."

"Iya, nanti. Lagi liatin Kak Snowy makan dulu."

Shaga berdecak. "Snowy, kayaknya kamu punya fans berat mulai hari ini."

Snowy terkekeh-kekeh saja menanggapinya.

Sementara Aghas geleng-geleng kepala, dan hal itu tertangkap jelas oleh sang adik. "Ngapain abang geleng-geleng kepala begitu?"

Aghas hanya berkedip, sedikit mengedikkan bahu, kemudian fokus makan.

Giselle mendengkus. "Sok cool banget, sih. Abang pikir adek nggak tahu, kalau abang juga demen sama kak Snowy?"

"Eh?" Snowy syok sementara wajah datar Aghas mulai berubah rautnya menjadi bingung.

"Cih, masih aja pura-pura jutek." Giselle berdecih.

"Apa?" tanya Aghas. Dia melirik Giselle dan Snowy bergantian.

Snowy mengedikkan bahu.

"Halah, abang juga suka, 'kan, sama kak Snow? Abang terpesona, 'kan?"

Aghas mengernyit sementara Snowy mulai tidak enak hati. Nih bocil nggak akan ngomong yang nggak-nggak, kan?!

"Ngaku aja, deh!" desak Giselle.

"Udah, dek, udah." Snowy melerai, melirik Aghas sungkan.

"Nggak, kak! Ini abang emang suka gengsian orangnya," gemas Giselle. "Abang hayoh ngaku!"

Snowy mulai tertekan, tunggu, ini si Geselle suruh abangnya ngaku apaan?

Seakan sadar dengan sikap tertekan Snowy, Aghas melirik gadis itu. Hanya diam menatapnya sementara yang di tatap, berusaha tenang dan mulai menyendok makanannya lagi.

Benar! Lebih baik dia makan saja!

"Ngaku apa?" akhirnya Aghas bertanya.

Giselle melirik Snowy dengan mesem-mesem. "Waktu pertama kali abang lihat Kak Snowy, abang terpesona sampai nggak kedip. Mana mulutnya nganga," ungkap Giselle membuat Snowy melotot. "Iya, kan, kak Snowy? Tadi kakak yang cerita sendiri loh, abang jangan ngelak!"

Snowy terbatuk, makanan yang sedang dia telan hampir tersembur keluar. Giselle yang berada tepat di seberang gadis itu, segera menggeser gelas berisi air. "Kak?! Minum-minum."

Snowy menolak dengan gerakan tangan, dia memundurkan kursi lalu berdiri. "Om tante, aku permisi ke belakang dulu." Gadis itu kabur, lari terbirit-birit tanpa peduli kakinya yang sedang sakit.

Sepanjang dia berjalan, tidak ada hentinya Snowy mengutuk Giselle. Bocil itu, bisa-bisanya mengungkapkan kebohongan Snowy, mana di depan Aghas pula!

"Kampreeett, kampreeettt." Snowy masuk ke dalam kamar mandi, di depan wastafle berkaca, dia mematut diri. Kulit putihnya memerah, bukan karena tersedak, tetapi karena malu.

"Aaahhh! Gue harus taruh muka gue di mana nanti kalau ketemu Aghas?" rengeknya frustasi.

Lima menit Snowy mengurung diri di kamar mandi, setelah di rasa tenang, gadis itu keluar sambil mengembuskan napas.

Belum seluruhnya napas Snowy keluar, gadis itu terpaksa menghentikannya ketika Aghas berjalan ke arahnya. Cowok itu menyimpan kedua tangannya di saku, langkah demi langkahnya terlihat percaya diri, berbanding terbalik dengan Snowy yang mendadak menciut!

Aghas sampai di depan Snowy, jaraknya hanya dua jengkal saja, Snowy jadi kerepotan mengatur napas juga debar jantungnya yang mendadak cepat. Woy! Gimana ini?!

"Napas," kata Aghas.

Snowy membuang napas lalu berdeham, dia mundur selangkah ke belakang sampai punggungnya menyentuh pintu kamar mandi yang tertutup. Walau kepala Snowy terdongak, tapi mata gadis itu malah berkeliaran ke mana-mana.

Aghas diam menatapnya, kemudian mengeluarkan satu tangannya hanya untuk menyimpannya di dinding, persis di sisi wajah Snowy membuat gadis itu terkurung. Mata Aghas meneliti wajah gadis itu, dari alis, mata, turun ke hidung dan berhenti di bibir.

Cowok itu mendengkus karena bibir Snowy bergerak-gerak seolah sedang membisikkan sebuah doa.

"Terpesona? Mata gue nggak kedip-kedip? Mulut sampai nganga-nganga?" tanya Aghas jelas menyindir. "Gue nggak ingat, kapan gue terpesona sampai segitunya."

"P-pas waktu pertama kali ketemu," cicit Snowy.

"Mm, pas lo mewek sampe ingusan?"

Snowy melotot, dia mendorong kesal dada Aghas. "J-jangan sampai lo kasih tahu yang sebenernya!" kata Snowy. "G-gue nggak bermaksud bohong. Tapi adek lo nyimpulin sendiri, jadi ya ... ya gue iyain aja."

"Aaah, jadi, lo yang bohong tapi adek gue yang salah?"

Snowy mendesis sampai giginya terlihat. "Bukan itu maksud gue!"

Aghas melengos, lalu menarik tangannya dari dinding kemudian berlalu begitu saja masuk ke kamar mandi.

Snowy menggunakan kesempatan itu untuk pergi, baru saja satu langkah Snoowy ambil, Aghas kembali keluar sambil berseru. "Salju!"

Snowy membalik badan, lalu melotot dan cepat-cepat menangkap benda yang Aghas lempar ke arahnya. "Tusuk gigi?" tanyanya heran.

Aghas berdeham, dia menunjuk gigi Snowy dengan dagunya. "Bersihin, ada cabe sama seledri nyangkut."

***

Pukul enam lebih lima belas menit, Reifan sudah berada di gerbang rumah Snowy. Menstandarkan motornya, Reifan lantas turun sambil melepas helm. Dia simpan helm itu di spion kemudian tangannya merogoh saku celana seragam untuk mengambil ponsel.

Reifan membuka message, dia menghela napas saat pesannya pada Snowy belum juga di baca. Padahal, sejak kemarin malam dia mengirim chat, pagi ini juga dia mengirim chat dan mengatakan akan menjemput gadis itu untuk berangkat bersama, namun tumben sekali Snowy belum membalasnya.

"Gue samperin langsung aja, mungkin dia lagi jual mahal," gumam Reifan mendengkus geli. Dia sudah tahu kelakuan kekasihnya itu, Snowy itu manja, sedikit kekanakan dan mudah merajuk, gadis itu kadang jual mahal agar Reifan membujuk lebih lama.

Reifan hendak menggeser gerbang rumah Snowy, namun sebuah tangan yang terbalut kasa lebih dulu menggesernya dari dalam, Reifan mengernyit saat melihat Liona lah pemilik tangan itu. "Rei," sapanya.

Reifan tidak menjawab, fokus pada tangan gadis itu. "Tangan kamu kenapa, Li?"

"Aaah ini, nggak sengaja kena pecahan kaca kemarin."

"Kok bisa?" Reifan mengambil tangan itu, mengamatinya dengan teliti. "Di jahit ini, lukanya dalam?"

Liona mengangguk dengan senyum lembut. "Kemarin Non Snowy nggak sengaja pecahin gelas, kena kepala aku, tapi malah jadi tangan yang luka," jelasnya dengan tawa renyah.

"Snowy?" tanya Reifan. "Kok bisa?"

"Nggak sengaja." Liona meringis.

Reifan mengangguk, namun sedikit tidak percaya. Selain manja, kekanakan dan suka merajuk, Snowy juga gadis yang cemburuan. Dan jika perempuan dalam keadaan cemburu, banyak hal bisa ia lakukan. Seperti contoh, Snowy menjadi berbicara kasar pada Liona, dan itu membuktikan bahwa bisa saja Snowy melukai Lioana dengan sengaja.

"Mm, sebenernya kemarin gara-gara aku Rei."

"Maksudnya?"

"Kemarin aku ada bicara sama Non Snowy." Liona menjeda lalu menunduk. "Aku minta sama Non Snowy supaya nggak putusin kamu, karena aku tahu, kamu bakal sedih banget."

Reifan menghela napas. "Kamu ga seharusnya bicara gitu."

"Aku cuma nggak enak dan ngerasa bersalah aja. Gara-gara aku, kalian berantem terus putus." Liona mengutarakan alasannya.

"Nggak, bukan karena kamu. Ini Snowy nya aja yang sedikit kekanakan dan cemburu berlebihan," kata Reifan dengan helaan napas lelah. "Terus, gimana ceritanya bisa jadi luka begini?" tanya Reifan, cowok itu masih memegang tangan Liona.

Liona menunduk, seketika merona merasakan tangan besar Reifan membalut tangan kecilnya. "Aku sedikit maksa buat bicara, dan sempet halangi jalan Non Snowy. Mungkin, karena kesal, Non Snowy pecahin gelasnya."

"Kata kamu tadi sempat kena kepala?"

Liona mengangguk. "Soalnya pas itu aku lagi sujud di kaki Non Snowy, jadi gelasnya jatuh ke kepala aku duluan sebelum jatuh ke lantai."

Reifan mengetatkan rahang mendengar itu. "Kamu sampai sujud di kaki dia?"

"Eh?" Liona mendongak, tampak kebingungan sesaat. "M-maksud aku—"

"Jujur aja." Reifan menggeram.

Liona mengangguk. "Aku lihat kaki non Snowy hampir kena pecahan kaca, jadi aku ambil pecahan kaca itu, eh taunya malah tangan aku yang luka. Ceroboh emang."

Reifan menatap tangan Liona lagi kali ini dengan rasa bersalah bersarang di dada, "Maaf gara-gara aku dan Snowy kamu jadi luka gini."

"Eh nggak, kok. Justru aku yang minta maaf, gegara aku kalian jadi sering berantem sampai-sampai Non Snowy bilang kamu nggak layak buat cewek sebaik dia."

"Apa?"

Liona mengerjap lagi. "Rei—"

Reifan melengos tak percaya, dia tersenyum getir. "Jadi aku nggak layak buat dia," gumamnya.

"Mm, kamu ke sini mau jemput Non Snowy?" tanya Liona mengalihkan pembicaraan.

Reifan mengangguk. "Ada yang harus aku bicarain sama dia."

"Tapi, Non Snowy keluar dari rumah semalam. Sampai sekarang belum pulang?"

"Apa?"

Liona mengangguk. "Gara-gara gelas pecah kemarin, Den Summer sama Non Snowy sedikit debat. Non Snowy marah karena Mami sama Papinya lebih perhatiin aku karena tangan aku emang lagi luka. Rei, aku semakin ngerasa bersalah, Non Snowy pasti keluar dari rumahnya karena aku. Aku jadi ngerasa nggak pantas buat tinggal di sini lagi. apalagi pas Non Snowy keluar kemarin, Tuan sama Nyonya jadi sedikit dingin ke aku."

Lagi-lagi Reifan menghela napas. "Nggak usah kamu pikirn dan nggak usah ngerasa bersalah. Kayaknya Snowy emang sengaja kabur buat cari perhatian kelurganya, dia emang sedikit licik dan egois," ucapnya. "Ya udah, karena aku udah di sini, lebih baik kamu bareng aku aja, Snowy juga nggak ada."

"Eh? Aku naik angkot aja, Rei."

Reifan mendecak, tangan Liona yang sedang dia pegang berubah menjadi genggaman. "Ayok bareng aja. Ngapain naik angkot hambur ongkos, lagian kita searah."

Liona tersenyum lalu mengangguk. Reifan menggiringnya menuju motor lalu membantu Liona memakai helm yang dia bawa. "Eh ini helm Non Snowy, nanti Non Snowy marah."

"Nggak akan, nanti biar aku yang ngomong," kata Reifan.

Akhirnya Liona naik ke motor besar itu, dia melingkarkan tangannya pada pinggang Reifan dan motor mulai melaju.

Meninggalkan Summer yang sedari awal ada di balik gerbang tertutup itu. Cowok berparas tampan itu tersenyum sedih, lalu menghela napas. Summer hendak menaiki motornya saat Winter datang dan menatapnya tajam.

Summer melengos. "Ngapain lo?" tanyanya.

Winter tersenyum remeh. "Lo cemburu lihat Liona sama Reifan?"

"Ngaco lo." Summer mengelak.

Winter mengangguk-angguk. "Nggak perlu jawaban dari lo juga, sih."

Cowok itu lalu memakai helm fullface nya, lantas naik motor nya sendiri yang berada di samping Summer. Sorot mata Winter masih dingin saat dia melirik kembarannya itu. "Gue cuma mau titip pesan aja. Jangan karena lo suka sama Liona, lo jadi nyakitin Snowy. Jangan karena lo ingin di notice Liona, lo berlagak jadi pahlawan dan bela dia ketimbang Snowy. Jangan karena perasaan konyol lo itu, Snowy jadi kambing hitamnya. Summer, buka mata lo, Snowy nggak sejahat itu. Coba lo sadar, Snowy itu adik lo sendiri, sementara Liona, cuma babu buat kita."

***

"Kata tante Hazel, gue bareng sama lo," ucap Snowy saat Aghas sedang memakai sepatu di teras luar. "Boleh, 'kan?"

Aghas diam saja membuat Snowy mendengkus. "Gue nggak bisa pakai sepatu hari ini, nggak bisa ikut latihan dance juga, padahal tiga minggu lagi ada lomba," ujarnya tiba-tiba sambil menghela napas berlebihan.

Aghas masih diam saja.

Snowy mendecak lalu ikut duduk di samping cowok itu. "Sebenernya gue males buat ke sekolah, tapi karena berangkatnya bareng sama lo, gue jadi semangat."

Aghas tetap diam.

Snowy mendelik. "Pasti di sekolah nanti gue di tuduh yang nggak-nggak lagi sama mereka. Gue sedih sebenernya tiap kali mereka lihat gue kayak lihat orang jahat."

Aghas setia dengan diam.

Snowy mengerucutkan bibirnya. "Aghas, kalau nanti lo lihat gue diem atau misal gue mewek di depan banyak orang. Tolong, ya, bawa gue lari, soalnya kaki gue lagi sakit. Gue nggak bisa lari sendiri," katanya lagi sambil menunduk memerhatikan kakinya.

Kali ini, gerakan tangan Aghas yang sedang mengikat sepatu berhenti sesaat.

"Aghas?" Snowy menoleh pada Aghas, dia menatap Aghas lama. Cowok itu semakin ganteng saja kalau di lihat dari samping. "Ghaas."

Kali ini Aghas menoleh, tapi tidak mengatakan apapun.

"Lo tahu nggak, ada orang kena azab gegara nggak pernah mau ngobrol? Gue dengar mulutnya tetiba berubah jadi moncong babi."

Aghas memutar bola mata, Snowy tersenyum geli. Gadis itu memajukan wajahnya sampai ujung hidung mereka hampir bersentuhan. "Kalau mau ketawa, ketawa aja. Lo pasti tambah ganteng kalau ketawa."

Aghas berdiri lalu menunduk menatap Snowy. "Lo tahu, ada cewek kena azab karena ngomong terus?"

"Oh ya? Gimana, tuh?"

"Gue dengar giginya di penuhin cabe sama seledri."

Snowy melotot. Aghas sialan! Cowok itu sedang menyindirnya.

Gadis itu hendak memukul Aghas, namun cowok itu lebih dulu menghindar. Dia kemudian melipir ke garasi, mengeluarkan motor besarnya dari sana.

"Iiihh Aghas! Jangan pake motor itu!" Snowy memprotes.

Aghas mengedikkan bahu lalu memakai helm full facenya. Snowy berdecak kagum dalam hati, bagaimana bisa Aghas tetap terlihat ganteng padahal hanya matanya saja yang terlihat?

Aghas mendecak karena Snowy malah mesem-mesem, cowok itu menatap Snowy lalu melirik ke jok belakang, sebagai kode agar gadis itu segera naik.

"Ghas, pakai yang matic aja. Gue lihat ada vespa di garasi."

Aghas menggeleng.

"Ghas, ih. Punggung gue sakit kalau naik motor begitu, encok gue. Terus ini, kaki gue sakit, gabisa naik kalau motornya tinggi begitu."

Aghas menghela napas lalu membuka helmnya. "Bawa kunci motor Vespa di dalam."

Snowy mengangguk semangat, kemudian berlari kecil dengan kaki pincangnya. Setelah Snowy masuk rumah, Aghas langsung memakai helmnya kembali dan tancap gas menuju sekolah.

Snowy yang malang dia tinggalkan.

Sementara di dalam rumah, Snowy mendekati Hazel dan Shaga yang masih di meja makan. "Tante, kata Aghas minta kunci motor Vespa."

"Okay, tunggu sebentar." Hazel pergi sementara Snowy masih berdiri mengamati Shaga yang sedang makan gorengan dengan rakus.

"Enak om?" tanya Snowy dengan senyum geli.

Shaga mengangguk. "Hau? Hihang hoeng."

Snowy melongo, bahasa apa tuh?

"Gimana Om?"

"Ihi hihang hoeng, ehak. Hohain."

Snowy berkedip-kedip tak mengerti, dia lalu mendekat dan mengamati piring yang Shaga pegang. Ada pisang goreng di sana yang terlihat masih panas. "OOOHHH! Pisang goreng."

Shaga mengangguk. "Hih hohain."

Snowy tertawa ngakak, "Udah om, makan aja makan."

Shaga mengacungkan jempol lalu makan lagi gorengan itu di saat bersamaan Hazel datang membawa sebuah kunci. "Ini sayang."

"Makasih tante. Aku berangkat dulu, yaa? Bye!"

"Hahi-hahi!" teriak Shaga membuat Hazel tertawa.

Snowy mengacungkan jempol, dengan semangat empat lima dan senyum senang, dia berlari kecil menuju keluar "Agh—eh? Aghas?!" Gadis itu berteriak karena tidak menemukan Aghas di tempat semula.

"Cari den Aghas, non?" wanita paruh baya muncul dari garasi. Dia adalah mbak yang membantu Hazel membereskan rumah.

Snowy menangguk. "Iya, mbak. Ke mana, ya?"

"Baru aja berangkat," kata mbak menunjuk gerbang yang terbuka.

Snowy melotot, gadis itu berjalan keluar dari gerbang dan benar saja, Aghas sudah pergi dengan motornya. "AAAGGHHHHHAASSSS JABINGAANNN!" teriak Snowy keras.

Sangat keras sampai-sampai Aghas bisa mendenarnya walau samar.

Aghas melirik spion, cowok itu mengulum senyum melihat Snowy yang sedang menonjok-nonjok udara. Aghas geleng kepala. "Ck, salju, saljuu."

*** 

Share bab ini dan tag aku di intagram @destharan kalau kalian suka :)

Papaaaaayyy...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top