BEFUDDLES || 03

"Buah belimbing, buah pepaya. Nggak mungkin, gue gak percaya." Sherin, salah satu teman Snowy berpantun, menanggapi ucapan Snowy sebelumnya yang mengatakan bahwa dia putus dengan Reifan. Mereka sedang melakukan panggilan telepon, bersama Sahara dan juga Stasia, teman dekat Snowy.

"Beneran, gue putus sama dia." Snowy berdecak, dia menyimpan ponsel di kasur sementara tangan sibuk melepas satu persatu kancing kemeja seragamnya. Dia baru saja pulang dari rumah tante Hazel setelah kalah berdebat dengan Aghas.

"Kue tar, pake ketan. Ntar juga balikan." Sherin berpantun lagi, kali ini Sahara dan Stasia terkekeh mendengar itu sementara Snowy memutar bola mata sebal. "Heh, satu Saditantra juga nggak akan percaya kalau lo putus sama Reifan, Snow. Lo bucin gitu sama dia, mana mau putus."

Snowy meringis mendengar ejekan itu. Iya, mungkin Snowy yang dulu tidak mungkin mau berpisah dengan Reifan. Kalaupun putus, mungkin dalam waktu satu jam, mereka akan kembali balikan.

"Udah, deh. Kalau emang putusnya buat balikan besok, lo mending kagak usah kasih tahu kita. Percuma, paling besok juga balikan." Sahara menimpali.

"Kali ini nggak akan balikan," kata Snowy membuat percakapan mereka hening beberapa detik. "Bener-bener udahan." Lanjutnya lagi dengan helaan napas panjang.

Mendengar itu, Stasia bertanya. "Kali ini gegara apa emang putusnya? Berantem gegara Liona lagi?" tebaknya.

"Gue ... capek." Snowy tersenyum masam mengucapkannya. "Udah bener-bener capek buat pertahanin dia."

"Snow..." Sahara menjadi iba mendengar suara lesu dari teman dekatnya itu. "Lo hebat, udah mau bertahan sama dia selama ini. Mungkin awal-awal putus bakal sakit banget buat lo, tapi nggak apa-apa, seiring waktu berajalan lo pasti sembuh, kok."

"Sebenernya putus dari dia, nggak sesakit itu, Sa," ujar Snowy, gadis itu kini duduk di kursi meja belajar, mengamati figura yang terletak di meja. Foto dengannya dengan Reifan. "Tapi, agak berat karena udah banyak kenangan yang kita berdua sulam. Gimapapun, gue sama dia udah tiga tahun bareng-bareng, banyak kenangan manis yang mungkin nggak mudah gue lupain."

"Nggak usah di lupain, bakal susah. Cukup nggak di ingat-ingat aja, Snow. Isi hari-hari lo selanjutnya dengan banyak kegiatan, cari sesuatu yang bikin lo senang. Dan kita, bakal selalu temenin lo, kita bakal nempel sama lo, ngerecokin lo sampai lo nggak punya waktu buat inget-inget si Reifan," kata Sherin menggebu.

"Snow, kalau boleh jujur, gue seneng banget denger lo putus sama si Rei," aku Stasia. "Nggak, gue nggak benci sama Reifan. Tapi gue benci, lihat lo sedih gegara dia. Cewek secantik lo, harusnya banyak senyum. Lo pantas buat di bahagiain."

"Mm! Gue setuju sama Stasia. Jadi, lo jangan pernah nyesel, ya, putus dari Rei. Jangan pernah mau balikan juga! Tunjukin sama si Reifan, kalau lo lebih bahagia setelah putus dari dia."

"Iya ... iya ... udahlah, gue mau mandi dulu. Baru pulang, nih, lengket banget badan." Telepon group itu di akhiri oleh Snowy. Lantas dia bergegas menuju kamar mandi.

Setengah jam Snowy habiskan waktu untuk mandi, dia keluar dengan keadaan lebih segar. Perutnya berbunyi, minta di isi, bertepatan dengan di ketuknya pintu kamar dan suara sang Mami menyusul berikutnya.

"Masuk, Mam!"

Arunika, wanita yang tidak lagi muda namun kecantikan masih ada padanya, masuk dengan seulas senyum hangat. "Kak, ayok makan malam, Mami udah selesai masak."

Snowy mengangguk, dia memeluk lengan Arunika dan keluar dari kamarnya. "Mami yang masak? Kenapa?

"Heem. Nggak kenapa-napa, sih. Lagi pengen aja masak."

"Gitu? Masak apa memang?"

"Soto Bandung, kesukaan Kakak." Arunika menatap putrinya sayang, senyumnya belum luntur dan semakin melebar kala melihat mata Snowy berbinar.

"Waw! Thank you, Mam!" pelukan di lengan, Snowy rapatkan semakin erat.

Arunika mengangguk. "Kak..." wanita itu menahan langkah kaki mereka di undakkan tangga terakhir.

"Mm?" Snowy menjawab tanpa mau menatap mata sang Mami.

"Lihat Mami," desaknya, dan Arunika berhasil membuat Snowy menatapnya. Wanita itu mengusap pipi sang putri pelan-pelan. "Apapun yang bikin kakak sedih hari ini, semoga cepet ilang setelah kakak makan, ya?"

Snowy mengangguk, terharu atas perhatian Maminya. Padahal, dia belum mengatakan apa-apa, tapi Arunika selalu peka. Ikatan batin Ibu dan anak, memang tidak bisa di remehkan.

"Maaf, kakak bikin Mami khawatir," bisik Snowy.

"Mm, Mami maafin, tapi janji ya, kalau udah siap kakak harus cerita sama Mami."

"Iya." Snowy menyetujuinya dengan senyum lebar.

Mereka melanjutkan langkah menuju ruang makan yang bersisian dengan dapur, seluruh anggota kelurga sudah siap di kursinya masing-masing. Ada Papinya, Radhit. Winter dan Summer, juga Erlan dan Erhan.

"Princess!" Radhit berseru. "Sini, nak."

Snowy mendekat, dan mendengkus kala Papinya dengan tak sabar menarik lengan dan langsung memeluknya. "Papi ih! Lepas!" pelukan Radhit terlalu erat, Snowy rasa dia bisa mati jika berlama-lama ada di pelukan sang Papi. "Papi!!!"

Radhit mendecak, berat hati melepas pelukan dari sang anak. "Papi belum peluk kamu seharian, tadi pergi pagi-pagi banget, gak sempat lihat kamu, Nak. Kangen banget, di kantor seharian mikirin anak gadis Papi."

"Lebay banget." Snowy mencebik geli.

"Eh, Liona? Sini, Nak." Suara Arunika membuat Snowy menoleh ke belakang, ada Liona yang diam di sana, dan entah mengapa menatap Snowy dan Radhit dengan mata yang sendu.

"Li, sini." Summer menepuk kursi di sisinya, tempat duduk Liona saat makan semenjak gadis itu tinggal di kediaman Hengkara.

Liona mengangguk, gadis itu berjalan anggun menuju tempat duduknya.

"Lo kenapa? Kayak yang sedih?" tanya Summer. Seluruh mata kini tertuju pada Liona, tak terkecuali Snowy.

Liona menggeleng kepala dengan senyum lemah. "Nggak kenapa-napa. Den. Cuma keinget Papaku aja," jelasnya. "Lihat tuan Radhit peluk Non Snowy barusan, jadi kangen Papa. Biasanya Papa juga peluk gitu," lanjutnya. Liona tampak menahan tangis.

Arunika dan Radhit saling tatap sementara Snowy memutar bola mata.

Winter diam saja, mulai mengambil nasi ke alasnya sementara Summer segera mengelus punggung Liona. "Lo boleh anggap Papi kita sebagai Papi lo, iya, 'kan?" tanyanya selagi menatap seluruh keluarga dan berhenti lama menatap Snowy.

Radhit tersenyum samar, tidak menanggapi. Dan Arunika hanya diam.

"Gara-gara Snowy lo jadi kehilangan sosok Papa, so, kita nggak keberatan buat berbagi Papi sama lo," lanjut Summer mengungkit hal sensitif bagi Snowy. "Lo nggak keberatan, kan, kalau Papi peluk Liona juga?"

Snowy menarik salah satu sudut bibirnya keatas, mengulas senyum tipis yang miring. "Gue bahkan udah nggak keberatan ngelepas Reifan demi dia. Gue udah kehilangan lo dan Winter juga, kalau sekarang harus berbagi Papi sama Mami, gue nggak keberatan. Karena gue ... udah nggak mau peduli." Dia mengatakannya dengan tenang.

"Princess!" Radhit dan Arunika berseru serempak, hendak menahan Snowy yang beranjak.

"Aku nggak apa-apa, mau ke dapur sebentar." Dengan kepalan tangan erat di sisi badan, Snowy sempatkan melirik Liona yang menundukkan kepala sebelum kemudian benar-benar melangkah menuju dapur.

Radhit hendak menyusul, namun Arunika menahannya. "Biarin Snowy tenang dulu, baru bicara." Pria itu mengangguk atas ucapan sang istri.

Winter menghela napas sementara Summer berdecih pelan. "Dia lagi berperan layaknya korban."

Liona yang semula menunduk, mulai bergerak, dia memundurkan kursi lalu berdiri. "A-aku permisi ke belakang dulu," pamitnya.

Sementara di dapur, Snowy baru saja menuangkan air dingin pada gelas tinggi. Dia butuh menenangkan diri setelah emosinya hampir tersulut oleh ucapan Summer. Gadis itu hendak meneguk air tersebut, namun, derap langkah kaki yang mendekat padanya membuat tangan Snwoy berhenti di udara.

Liona datang dengan langkah ragu, jemari-jemari gadis itu memilin piyama yang dia kenakan. Tatapannya lugu, sedikit takut saat akhirnya matanya dan mata Snowy beradu. "Non," sapanya.

Snowy menatap jengah, gadis itu enggan menanggapi. Sambil membawa gelasnya, Snowy melangkah maju. Ingin keluar dari dapur namun Liona menghalanginya tepat di pintu. "Minggir."

Liona menelan ludahnya susah payah, jemarinya kini meremas piyama erat-erat. "Non, putus sama Reifan?" tanyanya.

Jemari Snowy yang memeluk gelas, dia eratkan diam-diam. Tatapan gadis itu datar, senyumnya dingin. "Masih perlu gue jawab?" tanyanya retoris.

Liona menunduk dalam-dalam, dan Snowy sungguh muak melihatnya. Dia cukup tersinggung, Liona bersikap seolah-olah Snowy ini adalah manusia jahat dan menyeramkan yang membuat gadis itu ketakutan. "Minggir!" kali ini dia tidak tahan untuk tidak membentak.

Meskipun ketakutan, Liona tetap bertahan menghalangi jalan. "Non, aku mohon, jangan putusin Reifan. Kalau non putus sama dia gara-gara aku, aku ... aku...."

"Lo senang, 'kan?" sela Snowy dengan senyum remeh. "Tapi sorry, kalau ini buat lo kecewa. Alasan utama gue putusin Reifan, bukan karena lo. Tapi karena dia, nggak layak dapat cewek sebaik gue, paham?"

Snowy selesai dengan kalimatnya, dia melangkah lagi, tapi Liona menghalangi. Snowy tidak habis akal, dia bergeser ke kiri, tapi lagi-lagi Liona menghalangi. Terus begitu sampai-sampai Snowy tidak lagi bisa menahan emosi. "Mau lo apa sebenernya?!"

Liona terperanjat mendengar bentakkan itu. "Aku mau non balikan sama Reaifan. Aku ... aku ... nggak mau jadi alasan kalian putus."

"Atas dasar apa lo bisa ngatur-ngatur gue, hah?!" Snowy mengetatkan rahang, maju selangkah dengan tatapan berapi-api. Liona mundur ketakutan.

"Non, a-aku cuma nggak mau kalian putus," kata Liona. "Aku bakal bicara sama Reifan buat jaga jarak dari aku. Aku nggak akan lagi minta bantuan Reifan, aku bakal suruh Reifan buat selalu utamain non daripada aku."

Snowy terkekeh sinis, egonya sedikit tersentil. Apakah dia semenyedihkan itu di mata Liona sampai-sampai gadis itu berani bicara seperti ini?

"Gue udah nggak butuh Reifan. Silakan lo pungut kalau lo mau." Snowy enggan berlama-lama lagi di sini, dia menyenggol bahu Liona untuk bisa keluar dari dapur.

Namun yang tidak Snowy duga adalah Liona yang seketika bersujud di bawahnya kakinya, "Non aku mohon!" Snowy terperanjat, sampai gelas di tangannya jatuh mengenai kepala Liona sebelum kemudian turun ke lantai dan pecah berserakan.

"Liona— aw!" Snowy meringis, perih merasakan telapak kakinya tertusuk pecahan kaca. Barusan, dia hendak menyingkirkan kaki yang di peluk Liona, tapi malah membuat kakinya yang lain menginjak pecahan kaca tanpa sengaja.

"Non!" Liona terkejut melihat darah segar keluar dari bawah kaki Snowy. "Non aku—"

"SNOWY!" Summer berteriak menggelegar. "APA YANG LO LAKUIN?!" Lelaki itu marah saat melihat tangan Liona terluka dan berdarah. "Liona!" Summer terpogoh-pogoh mendekat pada Liona.

Snowy menunduk, mendapati Liona yang tengah meringis menahan sakit karena telapak tangannya tertusuk pecahan kaca. Tapi, tunggu, kapan Liona terluka? Snowy ingat, gadis itu masih baik-baik saja sebelum Summer datang.

"Den, aku bisa berdiri sendiri," ucap Liona saat Summer membantunya berdiri.

"Lo kenapa bisa luka gini?" Summer geram melihat banyaknya darah di lantai. "Kita ke Rumah Sakit," putusnya.

"Ada apa ini?" Radhit datang bersama Arunika, keduanya terbelalak melihat banyaknya darah mengotori lantai. "Liona, kamu kenapa?"

"Anu tuan, aku...."

"Snowy sengaja jatuhin gelas, Pi." Summer menyela, menatap Snowy tajam. "Aku lihat, gelas itu jatuh kena kepala Liona sampai pecah, dan sekarang bikin tangannya luka."

"Den, nggak gitu—"

"Jangan bela dia, Li!" geram Summer. "Biarin Papi dan Mami tahu kelakuan si princess ini." Snowy terkekeh sinis mendengar itu. "Lo tuh, kenapa, sih, kasar banget sama Liona?"

"Den, Non Snowy nggak salah apa-apa. Aku yang salah." Liona terisak tangis.

"Udah, Li. Jangan bela dia terus, lo pikir gue nggak lihat tadi lo sujud di kaki dia?" tanya Summer. "Lo keterlaluan Snowy."

"Princess, ada apa sebenernya? Kenapa ini?" tanya Arunika.

"Aku nggak ngapa-ngapain, Mam. Aku cuma mau keluar dari dapur tapi dia terus halangin jalan aku," ungkap Snowy sesingkat mungkin. Gadis itu lalu diam merasakan kakinya yang berdenyut sakit.

Summer berdecih. "Nggak mungkin Liona sujud-sujud di kaki lo kalau emang nggak ada apa-apa. Li, kenapa sebenernya? Lebih baik lo yang cerita."

Liona diam saja, masih sesenggukan dan sesekali meringis sakit.

Radhit mengela napas. "Udah, kita bicarain nanti. Sekarang bawa Liona ke klinik, kayaknya luka di tangannya cukup dalam, harus di jahit."

Summer mengangguk. "Ayok, gue anter."

Liona menengadah, membuat air matanya meleleh. "Nyonya, apa bisa anter juga?" tanyanya pada Arunika. "Aku ... takut di jahit soalnya."

Arunika gamang, dia menatap Snowy yang juga menatapnya lalu kembali menatap Liona. "Maaf, ya, Li. Kayaknya tante nggak bisa antar," ucapnya penuh sesal.

Summer yang sadar bahwa Arunika menolak mengantar karena Snowy, seketika kesal. "Lo bener-bener egois, Snow."

"Den, nggak apa-apa. Maaf ya nyonya kalau aku lancang barusan, aku cuma takut, biasanya ... biasanya ada Papa yang nemenin tapi sekarang...."

Snowy berdecih jijik mendengar itu. "Kalau Papi sama Mami mau anter dia, silakan. Aku nggak keberetan," ucapnya. Snowy lalu melangkah, mati-matian menahan ringisan sakit ketika pecahan kaca menusuk telapak kakinya semakin dalam.

Radhit dan Arunika saling tatap, lalu detik berikutnya terkesiap saat sadar bahwa kaki Snowy juga terluka, mereka melihat ada jejak darah pada lantai yang Snowy lewati.

"Kakak! Kaki kamu!" Arunika berteriak khawatir.

Summer ikut terkejut. "Snowy..." lirihnya, lelaki itu membeku melihat darah yang tidak berhenti keluar dari bawah kaki adiknya. "Kaki lo...."

"Princess, kita ke rumah sakit." Radhit mendekat, pria itu lalu berjongkok, hendak membopongnya namun Snowy menolak. "Snowy, jangan keras kepala!"

"Jangan peduliin aku, kalian urus aja Liona. Dia berhak dapat perhatian kalian karena Papa nya nggak ada. Ya, kan, Liona?" Snowy tersenyum dingin.

"Kak..." Arunika berseru lirih.

"Aku nggak apa-apa, Mi. please, biarin aku sendiri."

"Tapi—" Arunika tidak melanjutkan kalimatnya ketika Radhit menggeleng kepala. "Ya udah kalau gitu, biar abang Winter yang antar kamu ke Rumah Sakit."

Snowy tidak menjawab, gadis itu melanjutkan langkah dengan kaki pincang. Sampai di meja makan, Snowy di sambut Winter yang menatapnya khawatir. "Snowy."

"Bantu gue cabut ini," ujar Snowy, dia duduk di kursi lalu menjulurkan kakinya pada Winter. "Cabut pecahan kaca itu, Win."

Winter mengangguk dengan wajah datar andalannya. "Teriak kalau sakit."

Snowy mengangguk, lalu menarik napas panjang sebelum kemudian melipat bibir ke dalam. Di hitungan ke tiga, Winter berhasil melepas pecahan itu dan darah segar keluar lebih banyak dari sebelumnya.

"Gue anter ke Rumah sakit." Winter berjongkok di depan Snowy, memberikan punggungnya untuk di naiki. "Gue gendong."

Snowy menurut saja, naik ke punggung Winter dengan mudah. Lelaki itu langsung berjalan menuju keluar rumah, di teras, Winter turunkan Snowy dan mendudukannya di sofa. "Tunggu, gue ke garasi bawa mobil."

Snowy mengangguk lagi, sementara Winter bergegas ke garasi. Gadis itu diam mengamati rumah di seberangnya, rumah Aghas. Dan kebetulan sekali, ada Aghas yang baru saja membuka pagar rumahnya.

Melihat itu Snowy sontak berdiri, meskipun kakinya pincang, meskipun dia berjalan tanpa alas kaki, Snowy tidak berhenti melangkah untuk keluar dari rumah dan berjalan menuju rumah Aghas.

"Hei!" Snowy menyapa ketika Agash hendak menaiki motornya.

Agash mengkerut kening, meneliti gadis di depannya. Snowy tampak kacau sekali. cowok itu menatap dari atas kepala, sampai akhirnya berhenti di kaki. Di detik itu Agash sadar, kaki Snowy terluka.

Snowy semakin mendekat, dia berhenti tepat di depan motor Aghas. "Aghas, apa boleh gue nginep di rumah lo?"

*** 

21 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top