#6
Trigger Warning: Chapter ini mengandung unsur kekerasan dan gore eksplisit yang tidak cocok bagi pembaca di bawah umur, dan mungkin beberapa orang.
Please, be wise.
***
Kathryn duduk di depan pintu tempat tinggal barunya sambil menimang-nimang botol pemberian wanita berambut keperakan itu, lalu tanpa pikir panjang segera meminumnya. Ia teringat pada anak-anak keluarga Winston yang masih tampak lugu. Dalam beberapa jam menjadi bagian dari makhluk tersebut, gadis itu paham jika tidak semua vampir pantas dianggap terkutuk. Andai saja Louis tahu tentang ini.
Louis, anak yang malang. Sejak kecil ia harus tersiksa oleh ambisi dan dendamnya sendiri. Jika dipikir-pikir, dia seolah memiliki dua sisi kepribadian yang berbeda. Sewaktu-waktu ia menjadi seperti anak kecil, di waktu lain sikapnya bagaikan seorang pria dewasa.
Kathryn teringat pada saat Louis harus memerankan tokoh seorang kesatria pada pentas drama sekolah. Dia dipaksa melepas kacamata untuk memaksimalkan penampilan, tetapi justru membuat ia menabrak properti di panggung pada adegan puncak. Siapa sangka, laki-laki itu melakukan improvisasi pada dialog penuh penghayatan. Sehingga membuat para penonton ramai memberikan tepuk tangan meriah.
Gadis itu segera menggeleng. Siapa yang akan percaya begitu saja dengan perjanjian kedua bangsa pada masa lalu yang lebih mirip dongeng. Benar kata Kritopher, keberadaan manusia bisa menjadi sebuah ancaman. Louis yang telah terbutakan oleh dendam akan membunuh semua vampir tanpa ampun, maka itu termasuk juga Kathryn.
“Hanya karena beberapa pengkhianat, manusia dan vampir harus terlibat konflik panjang,” geram Kathryn sambil memegang erat botol ramuan bening tersebut. Ia hendak masuk. Namun, sebuah suara letusan senjata dari arah rumah keluarga Winston membuatnya terkesiap.
Dia segera berlari menuju sumber suara. Kakinya lantas membeku melihat seorang anak perempuan berambut perak terkapar di antara semak dengan sebuah benda mirip anak panah menancap di dada. Tubuh anak itu terlentang dengan mulut terbuka serta darah yang menggenangi tanah.
Gadis itu mencoba untuk mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya, hingga kembali bertemu dengan mayat seorang lelaki dengan tubuh yang terbelah menjadi dua. Sementara kepalanya menghilang entah ke mana. Kathryn yang sudah telanjur lemas terduduk begitu saja dengan mata terbelalak.
“Tolong, jangan bunuh anak-anakku!” terdengar suara jeritan Mrs. Winston dari dalam rumah. Kathryn tersentak. Namun, ia hanya bergeming dengan napas terengah, sadar jika ia tak memiliki apa-apa untuk menolong wanita itu.
Sementara itu, Mrs. Winston memeluk erat putra kembarnya yang menangis ketakutan, menjaga dari para pemburu yang mengelilingi mereka bertiga. Jika jumlah mereka sebanyak itu, melawan jelas merupakan hal paling bodoh.
Beberapa pemburu tidak peduli dan terus menembaki Mrs. Winston yang mencoba menjadi perisai bagi anak-anaknya. Tubuhnya bertahan cukup lama, hingga sebuah tembakan menembus ubun-ubun.
Mrs. Winston merintih menahan sakit, mencoba tersenyum pada kedua anaknya. “Bertahanlah …, dan jadilah pahlawan. Ibu sayang kalian,” ia berucap dengan air mata yang tak tertahankan. Dia mencoba untuk memeluk mereka untuk terakhir kali. Namun, sebuah tembakan kembali terlepas dan menembus jantung.
Si kembar Winston saling berpegangan. Pupus sudah harapan terakhirnya melihat sang ibu tewas. Yang dapat kedua anak itu lakukan hanyalah menangis di detik-detik terakhir, sebelum para pemburu membunuh mereka dengan sebuah tembakan fatal.
Kathryn yang menyaksikan momen tersebut spontan memekik. Hal itu menyebabkan perhatian pemburu tertuju berpindah. Ia segera mengambil langkah seribu, berniat sembunyi di dalam rumah. Salah satu anak tangga hampir saja membuatnya terpeleset. Melihat apa yang terjadi pada keluarga Winston membuat dia tidak tahu harus berbuat apa selain lari.
Derap langkah para pemburu yang menerobos masuk membuat Kathryn semakin panik. Terlebih saat terdengar teriakan salah seorang yang berdiri paling belakang. Perhatian mereka seketika berpindah pada orang tersebut yang kini jatuh dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, hingga organ dalamnya tercecer di lantai.
Setelah tampak pucat pasi memandang mayat rekannya, dengan penasaran mereka mengangkat wajah. Terlihat sosok lelaki berwajah dingin dengan sebilah pedang berlumuran darah. Kathryn yang sudah sampai di lantai paling atas kembali demi memuaskan rasa ingin tahu. “Kris?”
Belasan pemburu serempak mengeluarkan senjata, beberapa di antaranya bahkan memiliki pedang laser yang sebelumnya digunakan untuk membantai keluarga Winston. Kristopher berdecih, dengan kecepatan angin ia menghindari serangan membabi buta pemburu yang hanya menang jumlah, lalu memotong anggota tubuh mereka yang lengah.
Dengan insting berburunya, Kristopher dapat merasakan keberadaan orang yang mencoba menyerang dari belakang, memukulnya hingga terpental ke sudut ruangan. Lelaki itu tidak kehilangan konsentrasi. Ia menebas kepala mereka yang menyerang dari arah lain.
Hanya dalam hitungan detik, ruang tamu sudah dipenuhi mayat serta potongan tubuh. Sayangnya, sebuah tembakan tanpa sengaja mengenai pipinya beberapa detik kemudian. Kristopher mengeraskan rahang, menghindari tembakan selanjutnya.
Tanpa diketahui si penembak, ia sudah berada di belakang menikamkan pedangnya hingga menembus dada lawan. Tanpa keraguan sedikit pun, ia mnggerakkan pedang ke atas hingga tubuh orang itu terbelah hingga kepala.
Kristopher menghela napas panjang. Tanpa berpikir dua kali menjilat darah di tangannya hingga bersih. “Bisa-bisanya aku menyia-nyiakan banyak makanan hari ini,” gumamnya sebal melihat lantai rumahnya yang digenangi darah.
Ia menoleh ke sudut ruangan. Satu orang pemburu yang ia pukul tampaknya masih hidup. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berjongkok di depannya sambil tersenyum memamerkan taringnya. “Terima kasih sudah datang ke area terlarang, dan menjadi mangsaku,” ujarnya.
Teriakan si pemburu menggema ke seluruh ruangan. Kathryn yang sedari tadi menyaksikan pertarungan lewat tangga terbelalak melihat Kristopher yang membersihkan darah yang berlepotan di mulut. “Kathryn? Maaf, kau harus melihat pertarunganku.”
Kathryn menggeleng. Usai melihat sekejam apa perbuatan mereka kepada vampir, ia tidak bisa bersimpati kepada pemburu yang menemui nasib akhir yang mengerikan di tangan Kristopher. “Lukamu … bagaimana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah pipi.
“Ah, tidak usah khawatir. Aku lula bilang kalau tubuh kita bisa melakukan regenerasi dengan cepat.” Laki-laki itu menyeka bercak darah di wajah, hingga terlihat pipinya yang sudah kembali seperti semula. Kathryn termenung, baru mengerti alasan mengapa tidak ada bekas luka gigitan di lehernya waktu itu.
Dia memasukkan kembali pedang tersebut ke sarungnya, meletakkannya di punggung. “Kita harus segera pergi, Kathryn.” Kristopher menarik lengan gadis itu keluar rumah. Hujan turun dengan deras hingga noda darah di pakaiannya luntur.
“Alat yang dipasang di tubuh pemburu akan memberi sinyal kepada rekan mereka ketika sudah tidak ada lagi denyut jantung. Dengan kata lain, pemburu lain akan segera datang kemari.”
Ia melirik lawan bicaranya dengan wajah serius. “Tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati.” Kathryn menundukkan kepala seraya berusaha keras menyamai langkah lelaki itu.
Baginya, semua ini terlalu cepat.
*
18 Juni 2021, 19:14 WITA.
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment-nya. 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top